JAVASATU.COM- Pemerintah mengakui adanya kerawanan konflik kepentingan dalam penyusunan Undang-Undang Pemilu jika sepenuhnya diserahkan kepada kekuatan politik di parlemen. Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Prof. Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bahwa norma hukum yang seharusnya menjamin kedaulatan rakyat kerap kali “dipelintir” hanya untuk melayani kekuasaan.

Pernyataan tersebut disampaikan Yusril saat membuka Seminar Nasional “Transformasi Demokrasi Melalui Kodifikasi UU Pemilu” yang digelar Perludem di Jakarta, 3 Desember 2025. Dalam pidato panjangnya, pakar hukum tata negara ini menyoroti urgensi reformasi hukum pemilu untuk menyongsong Indonesia Emas 2045.
Bahaya “Jeruk Makan Jeruk” dalam Regulasi
Yusril memberikan penilaian jujur mengenai kondisi demokrasi Indonesia yang tidak berjalan dalam garis lurus, melainkan penuh liku. Ia mengingatkan bahwa undang-undang pemilu adalah pagar konstitusional. Jika pagar ini dibuat oleh pihak yang justru ingin melanggarnya, demokrasi bisa kehilangan maknanya.
“Norma-norma itu diciptakan oleh para politisi yang punya kepentingan yang beragam, maka norma-norma yang dirumuskan itu kadang-kadang rawan dilihat dari sudut keadilan,” ujar Yusril.
Ia menekankan bahwa pertarungan politik yang keras dalam penyusunan undang-undang terjadi karena setiap pihak membawa kepentingan politiknya sendiri. Akibatnya, aturan main yang dihasilkan seringkali tidak memberikan hak yang sama bagi semua partisipan.
Karena alasan itulah, Yusril menegaskan bahwa pemerintah tidak memandang inisiatif reformasi dari masyarakat sipil (civil society) sebagai ancaman. Sebaliknya, masukan dari akademisi dan aktivis yang “tidak mempunyai kepentingan langsung terhadap pemilu” dinilai lebih jernih dan sangat dibutuhkan.
Pesan Prabowo: Penguasa Butuh Kritik
Dalam kesempatan tersebut, Yusril juga menyampaikan pesan Presiden Prabowo Subianto terkait pentingnya pengawasan publik. Ia menyebut bahwa orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan mudah sekali terlena oleh rutinitas dan kehilangan sensitivitas hati nurani.
“Presiden Prabowo Subianto berkali-kali mengatakan jangan pernah berhenti untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah,” ungkap Yusril. Hal ini diperlukan agar kebijakan pemerintah tetap berpijak pada aspirasi nyata masyarakat, bukan sekadar logika mempertahankan kekuasaan.
Belajar dari Hukum Fikih hingga Napoleon
Sebagai solusi atas carut-marut regulasi pemilu yang tersebar di banyak undang-undang, Yusril mendukung gagasan Kodifikasi Hukum Pemilu. Ia menarik analogi menarik dari sejarah hukum Islam dan Eropa.
Yusril mencontohkan bagaimana ahli Fikih di masa lalu berhasil melakukan kodifikasi hukum Islam secara sistematis, mulai dari bab bersuci (air) hingga pidana (jinayat). Sistematika yang rapi inilah yang kemudian menginspirasi Napoleon Bonaparte untuk menyusun Code Napoleon (Kode Sipil Prancis), yang kelak diadopsi oleh Belanda dan mempengaruhi hukum Indonesia.
“Mungkinkah semua kita kodifikasikan atau kita biarkan lepas seperti itu saja?” tanya Yusril retoris. Ia menantang masyarakat sipil untuk menyusun draf kodifikasi tersebut, apakah akan disatukan dalam tingkat undang-undang atau hingga peraturan teknis di bawahnya.
Bingung Putusan MK dan Mentalitas “Juklak”
Urgensi kodifikasi ini semakin mendesak karena pemerintah sendiri mengaku bingung dengan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai tidak konsisten. Yusril mencontohkan perubahan sistem dari pemilu serentak, yang kemudian oleh putusan MK lain dibelah lagi menjadi pemilu pusat dan daerah.
“Bagi kami di pemerintahan juga kadang-kadang agak membingungkan keputusan Mahkamah Konstitusi ini,” akunya. Ia bahkan menyentil bahwa doktrin putusan MK yang “semuanya berlaku” meski bertentangan, justru menyulitkan eksekutor di lapangan.
Selain masalah regulasi, Yusril juga menyoroti hambatan budaya birokrasi. Ia mengingatkan bahwa bagi banyak birokrat, undang-undang seringkali dianggap tidak penting dibandingkan Petunjuk Pelaksana (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis).
“Dia (birokrat) anak buahnya itu sudah 40 tahun jadi pegawai… Dia (Menteri/Aktivis) baru 3 bulan jadi menteri. Enggak ngerti dia detail-detail daripada persoalan,” ujar Yusril menggambarkan benturan budaya antara pejabat politik dan birokrasi.
Menunggu Draf Penyelamat
Menutup pidatonya, Yusril secara terbuka meminta Perludem dan koalisi masyarakat sipil untuk segera menyelesaikan draf kodifikasi UU Pemilu.
“Kalau ada draf yang sudah jadi, maka sudah (tidak) pusing kita… pakai saja draf dari Perludem misalnya,” pungkas Yusril. Ia berjanji akan membaca dan mendiskusikan draf tersebut dengan Kementerian Dalam Negeri sebagai jalan keluar dari kebuntuan pembahasan antara Pemerintah dan DPR. (jup)
Sumber: Diolah dari kanal Youtube Yusril Ihza Mahendra Official (tayang 7 Desember 2025)