JAVASATU.COM-GRESIK- Teologi Iqra perlu diterapkan sebagai antisipasi dini untuk menghindari konflik sosial antar elemen masyarakat. Iqra yang dimaknai sebagai kemampuan membaca fenomena yang terjadi, baik secara tekstual maupun kontekstual, akan mampu mencegah dan meredam konflik sosial.

Hal itu disampaikan Hamim Farhan, salah seorang narasumber yang tampil pertama dalam Sosiaslisasi Kewaspadaan Dini terhadap Kerawanan Sosial yang diselenggarakan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Gresik di Gedung Putri Mijil, Rabu (30/11/2022).
Selain akademisi Hamim Farhan, sosiasilasi itu juga menghadirkan Abdul Muis dari Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Gresik dan Yulianus dari Badan Intelijen Negara (BIN) Korwil Gresik sebagai narasumber.
“Mengapa mesti Iqra, membaca, yang harus kita dimiliki? Dengan kemampuan membaca gejala atau fenomena yang terjadi di masyarakat, maka secara dini kita bisa melakukan langkah antisipatif. Pada gilirannya, potensi gesekan dan kerawanan sosial bisa dihindari,” urai Hamim.
Ia lalu mengangkat isu yang pernah terjadi di masyarat beberapa tahun silam untuk mengingatkan kembali, betapa kemampuan membaca fenomena itu harus dimiliki untuk mencegah lahirnya kerawanan sosial di masyarakat. Isu yang ia maksudkan adalah maraknya isu Ninja dan isu Santet di beberapa daerah di Jawa Timur yang sempat meresahkan masyarakat.
“Mengapa isu itu dihembuskan di Jawa Timur, bukan daerah lain, karena mayoritas masyarakat Jawa timur itu adalah kaum Nahdliyin yang secara kultur memang dekat dengan fenomena tersebut. Demikian juga, mengapa isu flu burung dihembuskan di Jawa Barat. Hal-hal seperti ini yang kita harus jeli. Sebab, bukan tidak mungkin di waktu yang akan datang, muncul lagi dalam bentuk yang berbeda. Siapa aktor dari isu-isu tersebut, secara dini mesti kita kenali,” paparnya.
Sementara Abdul Muis mengungkapkan, dalam masyarakat yang majemuk, wajar kiranya terdapat perbedaan dalam banyak hal, misalnya budaya, agama, atau aspek-aspek lainnya. Dalam perbedaan dan keberagaman itu, selama masyarakat bisa saling toleransi, maka peluang gesekan sosial bisa dihindari.
“Yang sering terjadi itu kan, ketika ada perbedaan di lapangan, ada pihak yang memaksakan kehendak, semantara pihak lainnya menolak. Ini sering terjadi di antara para pemeluk agama yang berbeda. Maka, budaya toleransi atau saling menghormati itu harus kita pegang teguh, sehingga peluang munculnya kerawanan sosial bisa dihindari,” ujar Abdul Muis.
Sementara Yulianus yang akrab disapa Yunus menyampaikan, di era informasi yang berkembang sangat cepat, perlu adanya jejaring di antara anggota masyarakat. Hal itu diperlukan, karena dengan adanya jejaring, informasi dan deteksi dini bisa dilakukan, sehingga peluang terjadinya gesekan atau konflik bisa diantisipasi dan diminimalkan.
“Seperti yang saya alami. Di Gresik ini saya sendiri. Tapi saya punya jejaring yang banyak dan luas di berbagai lapisan masyarakat, maka deteksi dini bisa dilakukan dan pada gilirannya bisa dilakukan pencegahan atas kemungkinan terjadinya masalah di lapangan,” ujarnya.
Ia mengingatkan, di era digital seperti sekarang ini, masyarakat hendaknya tak gegabah meneruskan (share) informasi yang biasa beredar di media sosial, tanpa meneliti dulu kebenarannya. Akibat dari sikap gegabah itu, jika informasi yang disebar salah atau hoaks, maka yang menjadi korban akan sangat banyak.
“Selama ini, generasi muda tanpa pikir panjang, selalu meneruskan info yang masuk, baik dari medsos seperti grup WA atau lainnya, tanpa diperiksa lagi kebenaran informasi tersebut. Hal seperti ini bisa menimbulkan gesekan, keretakan, permusuhan yang berujung pada tindak pidana. Kalau sudah berurusan dengan hukum, kan kasihan. Makanya, kita mesti hati-hati,” papar Yunus.

Kepala Bakesbangpol Kabupaten Gresik Nanang Setiawan mengatakan, program sosialisasi seperti ini akan diteruskan ke masyarakat. Bahkan, katanya, selain menambah elemen masyarakat, jangkauan atau area sosialisi terus diperluas.
“Kami akan terus lakukan ini karena memang efektif. Tidak hanya di Kawasan perkotaan, kami juga akan ke daerah-daerah karena yang namanya potensi gesekan dan kerawanan sosial itu bisa terjadi di mana saja,” ujar Nanang. (*)