
OPINI
Kebijakan Fiskal Berkelanjutan dan Inklusif di Era Transisi Hijau dan Digitalisasi Nasional
Oleh: Dela Amanda Putri, Mahasiswa FISIP Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi
Kebijakan fiskal merupakan salah satu pilar utama dalam menjaga stabilitas ekonomi sekaligus mendorong pembangunan nasional yang berkelanjutan dan inklusif. Dalam konteks global yang diwarnai perubahan iklim, digitalisasi ekonomi, serta meningkatnya ketimpangan sosial, peran kebijakan fiskal kini tidak hanya menjaga keseimbangan anggaran, tetapi juga menjadi instrumen strategis untuk mencapai keadilan sosial, efisiensi energi, dan pembangunan hijau.
Menurut Sachs (2015), pembangunan berkelanjutan menuntut adanya keseimbangan antara dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Karena itu, kebijakan fiskal modern perlu bertransformasi menjadi fiskal hijau (green fiscal policy) dan fiskal inklusif (inclusive fiscal policy) agar mampu menjawab tantangan multidimensional tersebut.
Di Indonesia, arah kebijakan fiskal kini berfokus pada reformasi sistem pajak, peningkatan transfer fiskal ke daerah, dan penguatan belanja sosial untuk mengurangi ketimpangan. Selain itu, digitalisasi fiskal mempercepat lahirnya kebijakan fiskal adaptif melalui penggunaan big data, sistem audit digital, serta transparansi anggaran berbasis teknologi.
Pemerintah Indonesia, sejalan dengan rekomendasi OECD (2025), telah memulai berbagai langkah seperti digitalisasi subsidi sosial, penerapan pajak progresif digital, serta pembiayaan proyek energi terbarukan. Langkah-langkah ini menegaskan komitmen pemerintah dalam menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif di era transisi hijau.
Permasalahan
Meski arah kebijakan fiskal Indonesia sudah menuju keberlanjutan dan inklusivitas, implementasinya masih menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, subsidi sosial kerap tidak tepat sasaran akibat keterbatasan data penerima manfaat. Kedua, transfer fiskal antar daerah belum efektif dalam mendorong pemerataan pembangunan karena masih timpangnya kapasitas fiskal antarwilayah.
Selain itu, adaptasi kebijakan fiskal terhadap isu perubahan iklim juga masih lemah. Meskipun telah diperkenalkan pajak karbon dan instrumen hijau lainnya, efektivitasnya rendah akibat lemahnya pengawasan serta resistensi dari sektor industri.
Kurangnya integrasi digitalisasi fiskal juga menghambat efektivitas pengawasan terhadap pengeluaran dan bantuan sosial secara real-time. Tantangan utama kebijakan fiskal berkelanjutan bukan hanya pada tahap formulasi, melainkan juga pada implementasi yang akuntabel dan berdampak langsung bagi masyarakat serta lingkungan.
Pembahasan
1. Konsep Kebijakan Fiskal Berkelanjutan dan Inklusif
Kebijakan fiskal berkelanjutan menitikberatkan pada efisiensi penggunaan sumber daya ekonomi dan lingkungan. Ernst et al. (2025) menyebutkan bahwa kebijakan fiskal inklusif mampu memperkuat pasar tenaga kerja sekaligus menekan emisi karbon.
Instrumen fiskal hijau seperti pajak karbon, subsidi energi terbarukan, dan anggaran lingkungan menjadi bukti konkret integrasi aspek ekologi ke dalam kebijakan ekonomi. Pemerintah juga memperluas kebijakan fiskal inklusif dengan memperkuat perlindungan sosial, penciptaan lapangan kerja hijau, dan partisipasi masyarakat dalam transisi energi.
2. Strategi Fiskal Inklusif

Bagan di atas menunjukkan empat strategi utama pelaksanaan kebijakan fiskal inklusif, yaitu:
-
Subsidi Sosial – Memberikan dukungan langsung kepada masyarakat berpendapatan rendah, meski dampaknya masih terbatas oleh besaran anggaran.
-
Kebijakan Pajak Progresif – Meningkatkan keadilan ekonomi dengan beban pajak lebih besar pada kelompok berpenghasilan tinggi.
-
Transfer Fiskal – Mendorong pemerataan pembangunan melalui alokasi dana ke daerah, meski terkendala kapasitas fiskal yang tidak merata.
-
Platform Digital untuk Bantuan Sosial – Mengoptimalkan teknologi guna meningkatkan akurasi dan transparansi penyaluran bantuan.
Menurut Musgrave & Musgrave (1989), kerangka fiskal inklusif adalah fondasi stabilitas sosial berkelanjutan. Reinhart & Rogoff (2010) menambahkan bahwa inklusivitas fiskal mampu meningkatkan kepercayaan publik terhadap kebijakan nasional.
3. Sumber Pendanaan Berkelanjutan

Sumber pendanaan berkelanjutan di Indonesia terbagi menjadi dua tingkat:
a. Tingkat Pusat
-
Kementerian Keuangan: Mengelola instrumen seperti Obligasi Hijau (Green Bonds) untuk proyek ramah lingkungan.
-
BPDLH (Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup): Mengelola dana pelestarian lingkungan dan perubahan iklim.
-
BLU (Badan Layanan Umum): Memungkinkan pengelolaan dana publik secara mandiri untuk program berkelanjutan.
b. Tingkat Daerah
-
Bantuan Keuangan Umum dan Khusus: Dana dari pusat ke daerah untuk proyek berkelanjutan.
-
Pendanaan Proyek Spesifik: Termasuk kerja sama dengan lembaga internasional dan sektor swasta.
Skema Penyaluran Anggaran:
Mekanisme Community-Based Targeting (CBT) memastikan masyarakat terlibat langsung dalam menentukan prioritas pendanaan agar anggaran lebih efektif dan tepat sasaran.
4. Isu dan Tren Terkini
Isu fiskal berkelanjutan saat ini berfokus pada transisi energi hijau, digitalisasi keuangan publik, dan penguatan pajak progresif. OECD (2025) menyebut big data sebagai alat penting untuk memantau efektivitas belanja sosial secara real-time.
Doğan et al. (2025) menegaskan bahwa pengeluaran fiskal lingkungan berkontribusi pada penurunan emisi karbon, sedangkan Sun & Razzaq (2022) menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal dapat mendorong inovasi hijau di daerah.
Arah kebijakan fiskal global kini bergerak menuju integrasi fiskal hijau dan sosial yang saling memperkuat, mewujudkan efisiensi fiskal sekaligus keberlanjutan planet.
Kesimpulan
Kebijakan fiskal berkelanjutan dan inklusif menjadi fondasi penting bagi pembangunan nasional yang adil, hijau, dan tangguh terhadap krisis. Dalam konteks modern, kebijakan fiskal berperan tidak hanya sebagai instrumen ekonomi, tetapi juga alat sosial dan ekologis.
Strategi seperti subsidi sosial, pajak progresif, transfer fiskal, dan platform digital terbukti memperkuat keadilan sosial serta kepercayaan publik terhadap pemerintah. Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kapasitas institusional dan digitalisasi fiskal nasional.
Untuk itu, Indonesia perlu memperkuat koordinasi lintas lembaga, mengembangkan big data fiscal management, dan mengintegrasikan prinsip hijau serta inklusif ke dalam setiap kebijakan publik. Dengan langkah konsisten, Indonesia berpotensi menjadi pionir dalam tata kelola fiskal yang efisien, adil, dan berkelanjutan. (*)
*Artikel ini untuk tugas perkuliahan