JAVASATU.COM- Analis kebijakan publik dan politik nasional, Nasky Putra Tandjung, menilai tudingan negatif, penggiringan opini liar, dan framing sesat di berbagai platform media sosial yang menyudutkan Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) sebagai pihak yang bertanggung jawab atas bencana banjir dan longsor di Sumatra adalah tudingan tidak berdasar, tidak objektif, dan tidak konstruktif. Menurutnya, narasi tersebut sarat tendensi politik dan berpotensi memecah belah persatuan nasional.

“Narasi tersebut menyesatkan akal sehat publik dan tidak sesuai fakta dan data. Masyarakat jangan mudah percaya terhadap penggiringan opini liar dan data yang tidak diverifikasi kebenarannya,” tegas Nasky di Jakarta, Senin (8/12/2025).
Alumnus Indef School of Political Economy Jakarta itu menegaskan tudingan yang diarahkan kepada Zulhas tidak memiliki dasar fakta maupun data autentik karena hanya berangkat dari asumsi. Ia menilai hal itu sebagai bentuk pembunuhan karakter.
Isu yang dimaksud beredar luas di media sosial, yang menyebut kerusakan lingkungan pemicu bencana di Sumatra terjadi akibat kebijakan Zulhas saat menjabat Menteri Kehutanan periode 2009–2014.
Menurut Nasky, klaim tersebut tidak masuk akal secara logika maupun fakta. Ia menyebut narasi itu menjurus kepada fitnah keji dan provokasi sesat.
“Tidak relevan mengaitkan bencana banjir saat ini dengan kebijakan Zulhas saat menjabat Menhut 2009-2014,” katanya.
Karena itu, ia mengajak seluruh elemen masyarakat fokus pada penanganan bencana dan pemulihan para korban.
Ajak Publik Lebih Bijak dan Rasional
Lebih lanjut, Nasky menegaskan bahwa setiap tuduhan dalam negara hukum harus dibuktikan, bukan dimanipulasi melalui framing di media sosial.
Ia menyebut taktik semacam itu bukan hal baru. Dalam praktik global, dikenal istilah decapitation strategy, yaitu serangan terhadap tokoh-tokoh kunci yang menjadi fondasi kekuatan politik atau kebijakan.
“Jika kita menggunakan pendekatan public choice theory, serangan seperti ini bukan peristiwa netral. Ada aktor-aktor yang sedang berupaya menggeser peta kekuasaan dengan menyerang figur kunci dalam sistem,” jelasnya.
Ia menambahkan, dalam studi administrasi publik, kohesi politik dan stabilitas di arena legislatif adalah prasyarat keberhasilan implementasi kebijakan. Tanpa itu, pemerintah akan tersita oleh manuver politik yang melelahkan dan menjauhkan fokus dari pelayanan publik.
Menurutnya, serangan yang diarahkan kepada Menko Pangan Zulkifli Hasan harus dibaca sebagai bentuk pelemahan terhadap struktur pendukung pemerintahan. Secara tidak langsung, hal ini merupakan upaya sistematis menggoyang legitimasi program kerja pemerintah melalui jalur nonformal.
Nasky juga menyinggung konsep policy sabotage, yaitu strategi aktor eksternal yang tidak mampu menyerang pusat kekuasaan secara langsung, sehingga menargetkan kredibilitas orang-orang terdekatnya.
“Sebagai bagian dari civil society, kita harus lebih cermat melihat fenomena seperti ini. Literasi publik harus ditingkatkan agar masyarakat tidak mudah termakan opini tanpa dasar empiris,” ujarnya.
Paparkan Rekam Jejak Zulhas di Kementerian Kehutanan
Nasky menjelaskan bahwa selama menjabat Menteri Kehutanan 2009–2014, Zulkifli Hasan melakukan sejumlah reformasi besar dalam tata kelola hutan nasional.
“Pak Zulkifli Hasan berkomitmen memperkuat transparansi perizinan, memperluas perhutanan sosial, dan menekan penebangan liar. Menyebut kebijakan beliau sebagai penyebab banjir jelas keliru dan tendensius politik,” ujarnya.
Founder Nasky Milenial Center itu mengungkapkan bahwa pelepasan 1,6 juta hektare kawasan hutan di era Zulhas merupakan kebijakan tata ruang, bukan pemberian izin konsesi sawit.
Dasarnya:
-
SK Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014
-
SK 878/Menhut-II/2014
Keduanya mengatur perubahan kawasan hutan Provinsi Riau berdasarkan revisi RTRWP dan kondisi de facto di lapangan.
Melalui SK 673/2014, seluas 1.638.294 hektare ditetapkan menjadi kawasan nonhutan untuk kebutuhan tata ruang provinsi akibat pemekaran wilayah.
Nasky menilai kebijakan tersebut menjadi instrumen penting menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat.
Ia menambahkan bahwa sejumlah program prolingkungan dikeluarkan pada masa jabatan Zulhas, seperti:
-
Gerakan Penanaman Satu Miliar Pohon
-
Kebun Bibit Rakyat (KBR)
-
Hutan Edukasi
-
Program One Ticket One Tree bersama Garuda Indonesia
Berdasarkan rekam jejak tersebut, Nasky menilai banyak program yang dampaknya masih dirasakan hingga kini dan mendapat apresiasi berbagai lembaga.
Pada tahun yang sama, Zulhas juga menerbitkan moratorium izin pemanfaatan hutan yang disebut berhasil menyelamatkan 64 juta hektare kawasan hutan.
Sebelum moratorium, laju deforestasi mencapai rata-rata 3,5 juta hektare per tahun (1996–2003). Namun pada periode Zulhas, angka itu turun drastis menjadi sekitar 450 ribu hektare per tahun.
“Ini bukti nyata komitmen beliau memperbaiki tata kelola ruang dan menjaga kelestarian hutan Indonesia,” jelasnya.
Seruan Jaga Persatuan
Di akhir pernyataannya, Nasky mengajak seluruh pihak menjaga soliditas dan persatuan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, sekaligus memastikan tokoh-tokoh penting mendapat dukungan publik.
Ia menyebut tudingan hoaks terhadap Menko Pangan disebarkan pihak-pihak yang ingin menjatuhkan citra politik Zulkifli Hasan, yang kini dipercaya Presiden Prabowo mengoordinasikan program prioritas nasional seperti ketahanan pangan, Koperasi Merah Putih, dan MBG.
“Mari kita jaga fondasi pemerintahan yang tengah bekerja keras membangun negeri. Pemerintah membutuhkan tim yang solid, mitra politik yang loyal, dan tokoh-tokoh kuat sebagai penjaga perubahan,” ujarnya.
“Jangan biarkan satu demi satu wakil rakyat dihancurkan hanya karena kita lalai membaca taktik lawan. Demokrasi sejati hanya bisa berdiri di atas kebenaran, bukan fitnah yang dibungkus opini,” tutupnya.
Dasar Hukum & Fakta Hukum Kebijakan 1,6 Juta Ha
Nasky kembali menkankan.
Dasar Hukum:
-
SK 673/Menhut-II/2014
-
SK 878/Menhut-II/2014
Keduanya merupakan keputusan perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan, sesuai revisi RTRWP Riau.
Fakta Hukum:
-
Tidak ada klausul pemberian izin baru untuk membuka hutan lindung.
-
Kebijakan disesuaikan dengan kondisi de facto karena banyak wilayah yang secara peta masih “hutan”, namun telah menjadi permukiman dan pusat aktivitas masyarakat.
-
Pemerintah pusat merespons surat resmi gubernur, bupati, wali kota, serta aspirasi masyarakat se-Riau untuk memberikan kepastian ruang pembangunan daerah.
(red/arf)
Comments 1