
OPINI
Digitalisasi Politik dan Krisis Literasi: Tantangan Ideologi di Ruang Publik Indonesia
Oleh:
M. Ranggata Surya Pratama, Azzahra Viocherina Sari, Revana Cahyaninda Garin, Najwan Aurellia, Balqis Ramadhani Ayu Putri Laksana, Alya Priska Putri Erwindawanti, Karina Ekna Hardianti, Mochammad Ghathfan Faris, Baiq Arleta, Abdul Salam Alif Udin, Annisa Halimah Sadiyah, Azzahra Khairani, M. Ramdani, M. Billy Roka Junior, Arjuna Evan
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ruang publik yang sebelumnya didominasi media konvensional kini beralih ke media sosial dan berbagai platform digital. Transformasi ini bukan hanya mengubah cara masyarakat berkomunikasi, tetapi juga memengaruhi cara publik memahami, menyikapi, dan berpartisipasi dalam kehidupan politik.
Digitalisasi membuka peluang besar bagi demokrasi, terutama dalam memperluas partisipasi politik masyarakat. Namun, di sisi lain, ia juga menghadirkan tantangan serius terhadap kualitas pemahaman politik, literasi publik, dan ketahanan ideologi bangsa.
Digitalisasi Ruang Publik dan Perubahan Dinamika Politik
Ruang digital kini menjadi arena utama pertukaran pendapat, kampanye politik, hingga pembentukan identitas sosial dan politik. Media sosial memungkinkan diskusi berlangsung cepat, terbuka, dan masif. Namun, kecepatan ini melahirkan budaya “informasi instan”, di mana masyarakat cenderung bereaksi tanpa proses berpikir kritis.
Konten politik yang viral sering kali lebih mengedepankan sensasi daripada substansi. Perdebatan rasional tersingkir oleh narasi emosional yang memicu polarisasi. Dalam konteks ini, politisi dan aktor politik memanfaatkan algoritma media sosial untuk membangun citra, menggiring opini, dan menguatkan basis pendukung.
Akibatnya, publik tidak lagi berperan sebagai subjek kritis, melainkan konsumen pasif dari informasi yang telah dikurasi oleh sistem digital.
Krisis Literasi Digital dan Politik
Masalah utama yang menyertai digitalisasi politik adalah rendahnya literasi digital dan literasi politik masyarakat. Banyak pengguna internet belum mampu membedakan fakta dan opini, informasi valid dan manipulatif. Kondisi ini membuka ruang subur bagi hoaks, propaganda, dan disinformasi politik.
Studi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Siberkreasi menunjukkan bahwa literasi digital masyarakat Indonesia masih rendah, khususnya pada aspek berpikir kritis. Masyarakat relatif mahir menggunakan teknologi, tetapi lemah dalam mengevaluasi dan memverifikasi informasi.
Kesenjangan antara kecakapan teknis dan kecakapan kritis inilah yang melahirkan masyarakat digital yang aktif secara kuantitas, namun rapuh secara kualitas.
Polarisasi dan Echo Chamber
Rendahnya literasi digital berkontribusi pada menguatnya polarisasi politik. Algoritma media sosial cenderung menyajikan konten yang sejalan dengan preferensi pengguna, membentuk apa yang dikenal sebagai echo chamber. Dalam ruang ini, pengguna hanya terpapar pandangan yang menguatkan keyakinannya sendiri.
Fenomena ini tampak jelas pada momen Pemilu, ketika masyarakat terbelah dalam kubu-kubu yang saling berhadapan secara emosional. Polarisasi tidak hanya berdampak pada pilihan politik, tetapi juga merusak relasi sosial, bahkan dalam lingkup keluarga dan pertemanan.
Penyimpangan Ideologis di Ruang Digital
Dalam konteks ideologi bangsa, situasi ini menjadi semakin mengkhawatirkan. Pancasila yang seharusnya menjadi landasan moral dan etika dalam kehidupan berbangsa justru kerap terpinggirkan. Nilai persatuan, musyawarah, kemanusiaan, dan keadilan sosial kalah oleh narasi provokatif yang viral.
Ideologi direduksi menjadi sekadar label politik atau identitas kelompok, bukan lagi sistem nilai pemersatu. Simbol-simbol ideologis bahkan kerap dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis, sehingga mengaburkan makna dan fungsinya dalam kehidupan bernegara.
Generasi Muda dan Tantangan Literasi
Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa mayoritas pengguna internet berada pada rentang usia 16-30 tahun. Generasi muda menjadi aktor utama dalam ruang digital dan berpotensi besar menentukan arah politik Indonesia ke depan.
Namun, tingginya intensitas penggunaan internet belum sepenuhnya diiringi dengan kedewasaan berpikir kritis. Generasi muda kerap menjadi sasaran empuk propaganda digital karena sifatnya yang cepat bereaksi dan emosional. Jika tidak dibekali literasi yang memadai, mereka berisiko menjadi penyebar disinformasi tanpa disadari.
Literasi sebagai Pilar Demokrasi Digital
Digitalisasi politik bukan sekadar persoalan teknologi, melainkan persoalan ideologis. Cara masyarakat mengonsumsi, membagikan, dan menafsirkan informasi sangat menentukan kualitas demokrasi dan kohesi sosial.
Oleh karena itu, literasi digital dan politik harus menjadi agenda bersama. Pendidikan formal perlu mengintegrasikan literasi digital dalam kurikulum. Komunitas masyarakat perlu membangun ruang diskusi yang sehat dan inklusif. Platform digital juga memiliki tanggung jawab untuk memperkuat moderasi konten dan menghadirkan fitur edukatif bagi pengguna.
Lebih dari itu, setiap warga digital harus memahami bahwa kebebasan berekspresi harus disertai tanggung jawab moral.
Penutup
Digitalisasi politik membawa peluang besar bagi demokrasi Indonesia. Namun, tanpa literasi digital yang kuat, ruang publik justru berpotensi menjadi ladang polarisasi, misinformasi, dan penyimpangan ideologis.
Indonesia membutuhkan warga digital yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga berpikir kritis, beretika, dan berpegang pada nilai-nilai Pancasila. Dengan penguatan literasi dan kesadaran ideologis, ruang digital dapat menjadi arena demokrasi yang cerdas, inklusif, dan beradab, bukan sumber perpecahan bangsa. (*)
*Artikel ini untuk tugas perkuliahan