JAVASATU.COM- Penanganan bencana banjir di Aceh dan sejumlah wilayah Sumatra dinilai masih terlalu berfokus pada bantuan fisik, sementara luka psikologis anak-anak penyintas kerap terabaikan. Padahal, trauma pascabencana berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang jika tidak ditangani secara tepat.

Direktur Indonesian Hypnosis Centre (IHC), Avifi Arka, Ph.D., mengatakan anak-anak korban bencana rentan mengalami gangguan psikologis seperti kilas balik traumatis, mimpi buruk, ketakutan berlebihan terhadap hujan atau air, hingga perubahan perilaku.
“Anak-anak bisa menjadi sangat pendiam, menarik diri, atau justru agresif. Ini adalah tanda trauma yang tidak boleh diabaikan,” ujar Avifi di Jakarta, Rabu (24/12/2025).
Menurut Avifi, pengalaman kehilangan rumah, terpisah dari keluarga, hingga menyaksikan kehancuran lingkungan dapat meninggalkan luka mental mendalam. Anak-anak belum memiliki kematangan emosional dan kognitif untuk memproses peristiwa traumatis tersebut secara mandiri.
Hal senada disampaikan Ketua Dewan Pengurus Nasional Ikatan Alumni KITA IHC, A. Fauzan Asmara. Ia menilai kehilangan sederhana bagi orang dewasa bisa berdampak besar bagi anak-anak.
“Boneka yang hanyut bagi kita mungkin sepele, tapi bagi anak itu adalah simbol rasa aman. Kehilangannya berarti kehilangan sebagian dunianya,” kata Fauzan.
Sekretaris DPN KITA IHC, I Dewa Gede Sayang Adi Yadnya, menegaskan trauma masa kecil yang tidak tertangani dapat memicu gangguan kesehatan mental hingga dewasa, termasuk kesulitan membangun relasi sosial dan masalah kesehatan fisik.
“Tanpa intervensi psikososial, trauma bisa terus terbawa dan memengaruhi kualitas hidup anak di masa depan,” ujarnya.
Sebagai respons, Tim Relawan KITA IHC yang terdiri dari hipnoterapis bersertifikat BNSP telah diterjunkan ke lokasi bencana di Aceh sejak 20 Desember 2025. Mereka fokus pada pendampingan psikologis anak-anak penyintas, melengkapi bantuan material yang telah disalurkan.

Salah satu relawan menceritakan proses pendampingan terhadap seorang anak yang sempat tidak mau berbicara selama berhari-hari. Melalui aktivitas menggambar, anak tersebut perlahan mengekspresikan pengalaman traumatisnya, menjadi awal proses pemulihan.
“Pemulihan trauma tidak selalu membutuhkan alat canggih. Kehadiran, empati, dan ruang aman untuk bercerita justru menjadi kunci,” tutur Avifi.
Saat ini, IHC dan KITA IHC membuka penggalangan dana untuk mendukung kerja relawan di lapangan serta persiapan keberangkatan relawan kloter berikutnya.
“Banjir akan surut dan rumah bisa dibangun kembali. Tapi luka batin anak-anak tidak akan sembuh dengan sendirinya tanpa perhatian dan tindakan nyata,” pungkas Fauzan. (arf)