JAVASATU.COM- Pemerintah Kota (Pemkot) Batu meraih penghargaan nasional dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI atas keberhasilan percepatan penurunan stunting. Penghargaan tersebut diberikan pada puncak peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-61 di Graha Pancasila, Balai Kota Among Tani, Kota Batu, Rabu (17/12/2025).

Penghargaan diterima Pemkot Batu setelah prevalensi stunting balita turun drastis dari 24,5 persen pada 2024 menjadi 10,25 persen pada 2025. Penurunan signifikan ini tercatat dalam laporan analisis situasi balita stunting Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Batu.
Data elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM) per November 2025 juga mencatat sebanyak 175 balita dinyatakan lulus stunting, dengan prevalensi terkini berada di angka sekitar 10,39 persen.
Atas capaian tersebut, Kota Batu memperoleh insentif fiskal sebesar Rp5,56 miliar dari pemerintah pusat yang diumumkan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Percepatan Penurunan Stunting 2025.
Kepala Dinkes Kota Batu, Aditya Prasaja, menjelaskan bahwa berdasarkan analisis kesehatan, penyebab stunting di Kota Batu berasal dari tiga faktor utama. Bayi berat lahir rendah (BBLR) menyumbang sekitar 10 persen, infeksi berulang 30 persen, dan faktor terbesar berasal dari anak lahir normal yang kurang mendapat perhatian asupan gizi, mencapai 60 persen.
“Selama ini fokus intervensi cenderung pada anak yang sudah stunting. Evaluasi kami menunjukkan anak sehat juga harus mendapat edukasi gizi agar tidak jatuh ke kondisi stunting,” ujar Aditya.
Menurutnya, keberhasilan penurunan stunting tidak lepas dari kolaborasi lintas sektor serta peran aktif orang tua dalam pemenuhan gizi anak sejak dini. Pemkot Batu menargetkan angka stunting dapat ditekan hingga satu digit secara berkelanjutan.
Selain capaian stunting, Kota Batu juga mencatatkan kinerja positif dalam penanganan tuberkulosis (TBC). Dinkes Kota Batu melaporkan tingkat kesembuhan pasien TBC mencapai 100 persen, seiring terbentuknya Satuan Tugas (Satgas) TBC yang mengawal proses mulai dari deteksi hingga pengobatan tuntas.
Meski demikian, Aditya mengingatkan bahwa tantangan terbesar saat ini adalah pencegahan penularan dan peningkatan kesadaran masyarakat. Pasalnya, gejala TBC sering tidak spesifik sehingga kerap diabaikan.
“Pengobatan TBC membutuhkan pendampingan selama enam bulan dengan disiplin minum obat. Jika terputus, bisa terjadi resistensi obat yang justru memperpanjang penyembuhan dan meningkatkan risiko penularan,” jelasnya.
Hingga Oktober 2025, capaian penemuan kasus TBC di Kota Batu mencapai 48,77 persen dengan inisiasi pengobatan sebesar 86,40 persen. Pemkot Batu terus mengejar target nasional eliminasi TBC pada 2030. (yon/nuh)