Javasatu,Malang- Gempa Bumi kerapkali memporak porandakan bangunan rumah penduduk. Setiap ada gempa tektonik, bangunan rumah seringkali ambruk, rata dengan tanah. Ingatkah pada peristiwa yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), puluhan ribu rumah penduduk hancur pasca digoncang gempa bumi berkekuatan 7,4 Skala Ritcher (SR) dan menelan ribuan korban jiwa kala itu.

Sebelum gempa bumi mengguncang Palu, gempa bermagnitudo 7 SR juga merusak rumah penduduk di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) beberapa waktu lalu. Puluhan ribu rumah rusak. Namun, beberapa diantaranya ada rumah adat di Senaru dan Batu Layar, Lombok Utara yang terbuat dari kayu lebih dapat bertahan dari goncangan.
Benarkah rumah adat lebih mampu menahan goncangan gempa? Pelestari Adat dan Budaya Malang, Priambodo membeberkan, nenek moyang terdahulu telah berhitung sebelum mendirikan sebuah bangunan agar rumah menjadi ramah dengan alam. Ia menjelaskan, beragam rumah adat di tanah air Indonesia ini, salah satunya rumah adat Joglo khas Jawa yang mengandalkan kekuatan pada Tiang Soko Guru berbentuk empat tiang di dalam rumah laksana bangunan Pendopo Bupati.
“Rumah adat bertiang Soko Guru itu terlihat di Jawa Tengah, Jawa Timur mulai Nganjuk, Madiun,Ngawi, Ponorogo sampai ke Barat Yogyakarta, tapi pusatnya berawal di Kuto Gede,” ungkap Priambodo.
Di Malang juga ada bangunan rumah adat tersebut, yaitu semi joglo yang rata rata menggunakan tiang empat, biasa disebut bangunan Soko Guru. Benarkah Tiang Soko Guru memiliki kelebihan? Priambodo menjelaskan, rumah adat di Jawa Timur terlihat menggunakan Tiang Soko Guru, model bangunan bisa beruwujud semi joglo atau rumah joglo yang memiliki atap cungkup, hanya saja rumah cungkup biasanya lebih kecil dibanding joglo.
“Rumah cungkup ini biasanya agak empyak atau memiliki teras panjang, bagian tepi dibangun dengan batu bata merah tanpa semen,” terangnya.
Dijelaskan, rumah joglo maupun semi joglo di Jawa Timur rata rata menggunakan tiang Soko Guru sebagai penguat dan penyanggah atap dan bangunan rumah. Bangunan Soko Guru memiliki empat tiang yang ditancapkan pada batu sebagai alas tiang yang disebut umpak, dengan kedalaman tertentu, tergantung tinggi empat tiang yang terbuat dari kayu dan strata sosial penghuni rumah.
“Soko guru ini dibawahnya ada umpak sehingga ke bawahnya bukan langsung ditancapkan langsung ke bawah tanah,” urainya.
Kata dia, umpak itu berbentuk empat persegi panjang dengan lebar pada bagian atas dan bawah berbeda. Bagian atas cenderung agak kecil dibanding bagian bawah. Ia mencontohkan, jika pada bagian bawah berukuran 40X40 cm, maka pada bagian atas umpak berukuran 30X30 cm dengan ketinggian 40 cm.
“Ukuran umpak ini menyesuaikan dengan ketinggian dan lebar dari Soko Guru,” jelasnya.
Sementara, untuk menyambungkan antara tiang Soko Guru dengan umpak, pada bagian atas umpak dilubangi persegi empat untuk menancapkan Soko Guru ke bagian umpak, namun lebar lubangan tersebut lebih kecil dari lebar Soko Guru dan dengan kedalaman tertentu. Lanjut Priambodo, umpak bisa terbuat dari batu kali atau dari kayu jati menurut strata sosial masyarakat.
“Umpak yang terbuat dari kayu jati karena perlu kayu yg lebih besar maka akan lebih mahal dan sulit mencari bahan tersebut,” tukasnya.
Bahkan, di bagian bawah umpak biasanya, lanjut Priambodo, diberikan batu bata merah yang sebelumnya sudah diberi pasir di bagian bawah batu bata. Sehingga saat ada guncangan, umpak itu fleksibel dan empat tiang yang disebut Soko Guru mengikuti gerakan umpak dikala gempa mengguncang, karena dibawah batu bata yang menjadi alas umpak diberikan pasir.
“Di bawahnya pasti menggunakan bata dan dibawahnya ada pasir, jadi ketika dari tanah dilapisi pasir, di atasnya diberi batu bata merah dan diatasnya lagi ada umpak, umpak ini yang fungsinya kalau gempa, akan mengikuti gerakan sebab dibawahnya ada pasir sebagai menopang,” jelas Priambodo detail.
Menurutnya, selain ada umpak dan diatasnya ada soko guru berbentuk empat tiang terbuat dari kayu, biasanya diatasnya ada stabilisator konstruksi tiang untuk menahan goncangan yang dalam bahasa Jawa disebut “blandar sunduk “.
“Blandar sunduk ini ada yang satu dan ada yang dua tergantung strata sosial. Kalau strata sosial lebih mapan biasanya ada dua blandar sunduk,” tukasnya.
Bahkan, kata dia, nenek moyang terdulu memakai konstruksi “blandar sunduk” biasanya tidak menggunakan paku , tetapi menggunakan “pantek bambu”, yang memiliki sifat tidak menggigit serat kayu seperti paku.
“Fungsi bambu ini tidak seperti paku yang menggigit pada serat kayu. Kalo pantek sifatnya lentur,namun kekuatan sebenarnya ada di tiang Soko Gurunya,” tegasnya.
Sehingga,ketika bangunan rumah yang menggunakan Soko Guru terkena angin atau gempa bumi relatif lebih tahan. Apalagi, keempat Tiang Soko Guru biasanya ditarik ke pinggir berbagai arah dengan tiang yang lebih kecil sebagai penopang.
“Biasanya ditopang dengan tiang sebanyak 16 tiang ke arah pinggir untuk memperkuat keempat tiang tersebut,” jelasnya.
Priambodo menyebut rumah adat, termasuk Joglo dan Semi Joglo sebagian besar menggunakan material kayu, sehingga lebih lentur dan menyesuaikan keadaan alam. Berbeda dengan kondisi rumah sekarang, kata Priambodo meskipun bangunan rumah dicor beton dengan dislup paku bumi, tetapi saat tanah gerak, maka cor akan mudah patah, sebab sifat cor kaku tidak fleksibel seperti kayu.
” Rumah pada jaman dahulu tidak banyak menggunakan semen, hanya menggunakan gamping, itulah sebabnya saat ada gempa dan angin dan gerakan dari tanah, maka kepatahan tidak menyangkut ke atasnya,” urai dia.
” Batu bata merah dan gamping fleksibel apalagi di bawahnya ada konstruksi pasir. Ketika nenek moyang dulu membangun dengan pasir di bawah maka leluhur dan nenek moyang sudah mempertimbangkan faktor alam,” ungkap dia.
Sehingga, kata Priambodo, tidak heran rumah warisan leluhur memiliki usia hingga puluhan tahun bahkan ratusan tahun. Sama halnya dengan bangunan candi yang di bawahnya jarang disemen, hanya ditata merata yang berfungsi mengikuti pergerakan dari tanah.
” Tidak heran jika bangunan candi sampai hari ini utuh kecuali pinggirnya ditumbuhi tanaman besar sehingga rusak diterjang akar pohon itu,” tambahnya.
Sementara, Praktisi Kebencanaan Kabupaten Malang, Jawa Timur, Bagiyo Setiyono menjelaskan, berdasarkan pengalaman dan pengatamatan pada lokasi gempa bumi di beberapa daerah yang pernah didatangi untuk proses evakuasi korban bencana, terlihat bangunan rumah adat rata rata lebih tahan goncangan. Di tanah Jawa bangunan rumah adat bermodel Tiang Soko Guru dengan empat penyanggah, juga terlihat lebih tahan pada gempa bumi.
” Begini mas, saya ini berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya dalam menangani bencana di beberapa tempat yang pernah saya lakukan, saya melihat bangunan model Soko Guru yang model kayu empat di tengah seperti Joglo Pendopo lebih tahan terhadap goncangana,” jelas Bagiyo.
Ia menyebut, bangunan model tersebut, berdasarkan pengalaman menangani korban bencana,rata rata saat ditemukan satu sisi tiang penyanggah patah, baik itu sisi dalam maupun sisi luar, terlihat bangunan masih tegak. Lanjut Bagiyo, Bangunan model Soko Guru seolah telah dirancang dan didirikan oleh orang orang terdahulu, nenek moyang sebagai bangunan tahan gempa.
“Kemungkinan orang terdahulu sudah memperkirakan hal hal yang akan terjadi sehingga membuat bangunan model tersebut,” terangnya.
Bagiyo yang juga Seketaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Malang membeberkan, saat ini perlu kearifan lokal sebagai solusi bagi masyarakat yang bermukim di areal rawan gempa, sehingga bisa mengeliminir adanya korban jiwa saat bencana alam melanda.
“Memang perlu kearifan lokal. Bangunan model Tiang Soko Guru adalah kearifan lokal yang dibuat model empat pilar tiang dengan tidak memakai paku, hanya dipantek bambu untuk mengunci antara tiang satu ke tiang lain hanya dimasukkan didalamnya dan ditusuk memakai bambu agar saling mengikat sebagai pengganti paku, dan beratap ringan,” urainya.
Namun, lanjut Bagiyo, bangunan model konstruksi seperti itu di era sekarang cenderung dianggap kuno oleh sebagian masyarakat, sebab tidak mengetahui maksud tujuan orang terdahulu mendirikan bangunan model tersebut.
“Sekarang mulai banyak orang yang sudah mengerti model itu sehingga agar tidak terkesan kuno, membuat bangunan dengan atap ringan dan untuk mengkaitkan tiang satu dengan lainnya memilih menggunakan skrup tanpa paku agar memiliki daya geser saat terjadi gempa,” jelasnya.
Tujuannya, saat bangunan ambruk tidak menimbulkan korban jiwa. Sebab itu, konsep bangunan orang terdahulu bisa menjadi pertimbangan masyarakat dalam mendirikan bangunan di masa sekarang, di tengah intensitas gempa bumi sering terjadi.
“Perlu memang belajar dari sejarah dan kearifan lokal, serta harus banyak digali oleh masyarakat untuk diterapkan dalam konsep kekinian, karena orang terdahulu juga sudah tahu daerah Malang ini rawan dan potensi gempa,” tegasnya.
Apalagi, kata Bagiyo, data makro wilayah Kabupaten Malang berada di Pesisir Selatan yang juga merupakan kabupaten dalam zonasi daerah rawan gempa, maka langkah pendek yang harus dilakukan adalah menyadarkan masyarakat bahwa bermukim di daerah rawan gempa, sehingga masyarakat bisa waspada dalam membuat konsep bangunan. (js1)
Comments 1