
Bohong
Oleh: Wawan Susetya – Sastrawan-budayawan dan penulis buku anggota Satupena Jawa Timur, tinggal di Tulungagung Jatim
BOHONG atau dusta yaitu berkata tidak benar atau tidak jujur. Berkata bohong berarti berkata tidak sesuai kenyataan atau fakta. Dengan demikian bohong merupakan tabiat buruk yang mesti dijauhi oleh manusia. Lawan dari bohong yaitu jujur, kalau dalam Bahasa Arab disebut shidieq. Orangnya disebut shidiqien (orang yang jujur dalam perspektif spiritual). Dalam kacamata Agama Islam, shidieq (jujur) dan shidiqien (orang yang jujur) menempati posisi hamba Allah yang sangat penting, yakni diposisikan setelah para Nabi/ Rasul. Urutan ranking hamba-hamba Allah dalam pandangan Agama Islam itu yakni para Nabi/ Rasul, para shidiqien, syuhada dan sholihien. Dengan demikian, hamba-hamba Allah yang tergolong shidiqien, mereka berada di atas para syuhada (orang-orang yang gugur di medan peperangan) dan sholihien (orang-orang sholeh).
Akhir-akhir ini, jelang pilpres (pemilihan presiden) yang rencananya dilaksanakan tanggal 14 Februari 2024, mulai ramai diperbincangkan mengenai bohong, kebohongan, atau berkata bohong, bahkan sudah sampai ke level kebohongan akut. Satu pihak menuduh lawan politik berkata bohong, sementara pihak yang dituduh berbohong juga menuduh lawannya berbohong pula. Sebagai gantinya boleh dikatakan kalau yang terjadi di pentas politik sesungguhnya saling mengklaim kebenaran. Satu pihak mengklaim kebenaran dengan menyalahkan pihak lain, sedang pihak yang lain juga idem; mengklaim kebenaran seraya menyalahkan pihak lain.
Kalau kebohongan tadi diarahkan ke elite politik, sebenarnya sejak zaman dulu memang begitulah kebiasaan mereka. Tak ada yang baru dan tak ada yang aneh. Sebab itulah salah satu kebiasaan alias tabiat para ‘pejabat publik’ ketika menghadapi suatu masalah atau perkara. Dengan berkata bohong, mereka berharap akan mendapatkan keuntungan pribadi. Setidaknya, keuntungan yang dimaksud tidak menjatuhkan martabat dan harga dirinya di hadapan publik.
Lantas, mengapa para ‘elite politik’ memiliki kecenderungan berbohong?
Pertama, biasanya kebohongan itu dimaksudkan sebagai upaya pembelaan diri, terutama berkaitan dengan masalah yang tengah dihadapinya.
Kedua, dengan berkata bohong, setidaknya para ‘elite politik’ dapat memperbaiki atau mengembalikan martabat citra dirinya yang telah tercemar oleh ramainya pemberitaan di media.
Ketiga, tak jarang kebohongan itu dijadikan sebagai alat untuk bersiasat atau berstrategi dalam ranah politik: ada yang bersiasat secara positif, tetapi ada pula yang bersiasat secara negatif (kotor).
Jika kebiasaan bohong seperti itu berlanjut dan diterus-teruskan, apalagi jika tanpa disertai dengan ilmu, niscaya ucapan orang tadi akan selalu bohong, sehingga berakibat tidak bisa dipercaya. Misalnya, seseorang berkata bohong bahwa dia baru saja dari Surabaya, maka jika ditanya seluk-beluk tentang kota tersebut, jawabannya pasti bohong: kebohongannya bergantung dari berapa jumlah pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Itulah bahaya berkata bohong, malah bisa berdampak lebih besar lagi, yakni menjadi orang yang tidak bisa dipercaya oleh orang lain. Kelihatannya sepele, tetapi gambaran kejiwaan orang yang demikian itu sesungguhnya merupakan penyakit jiwa yang sudah akut. Makanya, begitu pentingnya masalah ini, Rasulullah SAW pernah mengatakan “Jangan berbohong!” sebagai nasihat bijak kepada seseorang yang bertanya kepada beiau. Kanjeng Nabi Muhammad tahu bahwa orang yang dihadapinya itu suka melakukan kemaksiatan yang diiringi dengan kebohongan. Dengan bijaksana, makanya Nabi SAW hanya memberikan satu kunci dalam nasihatnya: yakni agar tidak berbohong. Ternyata kunci tadi betul-betul mujarab, sebab orang tadi akan merasa salah tingkah ketika akan melakukan maksiat: jangan-jangan nanti, besok, lusa atau kapan-kapan akan ketemu Rasulullah? Agar tidak menjadi beban, maka sahabat tadi bertekad tidak melakukan kemaksiatan lagi gara-gara takut berkata bohong.
Dalam pandangan Islam, bohong itu hanya boleh dilakukan dengan alasan-alasan yang sangat darurat, yakni;
Pertama, boleh bohong jika hal itu dimaksudkan untuk menyelamatkan orang yang terancam keselamatannya. Misalnya, jika ada seseorang yang dikejar-kejar orang banyak akan dibunuhnya kemudian meminta perlindungan kepada kita, lantas orang tadi masuk ke dalam rumah untuk bersembunyi, lantas kita pindah tempat duduk yang dimaksudkan sebagai siasat. Ketika orang banyak datang dan bertanya kepada kita, kita boleh menjawab: “Sejak saya duduk di sini (tempat duduknya yang baru ditempati), saya tidak melihat si fulan yang engkau maksudkan itu.” Akhirnya, orang yang dikejar-kejar tadi terselamatkan dari amukan massa.
Kedua, boleh bohong tetapi dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya pertengkaran suami-istri. Terkadang, ada sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang hanya boleh diketahui oleh sang suami saja. Karena diperkirakan jika sang istri jika mengetahui masalah itu akan marah dan berdampak terjadinya pertengkaran dengan suami, maka boleh saja sang suami berkata bohong dengan alasan dan situasi yang sangat darurat seperti itu.
Ketiga, boleh bohong yang dimaksudkan sebagai siasat atau strategi termasuk saat perang. Hal itu dimaksudkan sebagai siasat untuk menjatuhkan atau membuat down pihak lawan, asalkan berada dalam posisi yang benar.
Dulu, Sang “Bapak Tauhid” Ibrahim a.s pun pernah melakukan kebohongan di depan publik, tetapi secara batiniah tidak dimaksudkan untuk berbohong.
Pertama, Ibrahim berkata bohong di hadapan Raja Namrud yang mengadilinya karena dia (Ibrahim) dituduh telah menghancurkan berhala (patung-patung) yang menjadi sesembahan mereka. Ketika itu, Ibrahim mengatakan bahwa yang menghancurkan berhala-berhala adalah yang paling besar. Sesungguhnya, yang paling besar itu, secara batiniah, maksudnya adalah Ibrahim sendiri. Tetapi secara lahirnya, Ibrahim telah meletakkan kapaknya, yang baru saja dipakai untuk menghancurkan berhala-berhala, di atas bahu berhala yang paling besar.
Kedua, ketika Ibrahim bersama Siti Sarah, istrinya, melakukan perjalanan ke Mesir, keadaan di negara tersebut sangat gawat. Sebab, Kerajaan Mesir saat itu dikuasai oleh seorang raja yang serakah dan dholim. Jika tentara Raja Mesir mengetahui ada suami-istri yang memasuki wilayah Mesir, maka sang suami akan dibunuh, sedangkan istrinya diserahkan kepada sang raja. Untuk mengelabui pasukan Raja Mesir, maka Ibrahim terpaksa berkata bohong bahwa Siti Sarah adalah saudaranya. Tentu saja, yang dimaksud Ibrahim saudara di sini, secara batiniah, adalah saudara se-agama dan se-iman. Maka, selamatlah Ibrahim bersama istrinya dari penganiayaan raja lalim.
Ketiga, pernah suatu hari, Ibrahim diajak pergi ke pantai oleh orang-orang di lingkungan rumah ayahnya. Ajakan itu ditolak oleh Ibrahim dengan mengatakan bahwa dia sedang sakit. Sebenarnya, secara fisik, Ibrahim tidaklah sakit. Hanya saja, Ibrahim merasakan ‘sakit hati’ jika terpaksa pergi ke pantai menyaksikan ritual pemujaan kepada berhala-berhala.
Meski dalam seumur hidupnya Sang Kholilullah (kekasih Allah) itu hanya berkata bohong tiga kali saja, namun Nabi Ibrahim pun bertobat dan mohon ampun kepada Allah SWT. Lucunya, kita-kita ini yang bukan hanya tiga kali berkata bohong tetapi puluhan-ratusan-bahkan ribuan kali, kok santai-santai saja tidak bertobat kepada Tuhan!. (*)

Mantap surantap
Semangat Sepanjang Masa Succesful Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN TERUS BERGERAK PESAT Melejit ✒️ Aamin ya rabbal alamin