
Guru Terjerat Waktu
Oleh: Slamet Hendro Kusumo
Sosok guru telah menempati ruang peradaban manusia. “Digugu lan ditiru”. Inilah penghormatan tertinggi dalam sebuah profesi. Guru juga telah ditempatkan pada ruang sakral karena keteladanannya. Guru juga menjadi harapan bangsa dan negara. Oleh sebab itu dipundak gurulah masa depan negara bangsa dipertaruhkan untuk menghadapi perubahan peradaban dunia. Sebab guru adalah pendidik, simbol ilmu pengetahuan, serta kesakralannya membentuk karakter, identitas dan kekuatan cara berpikir murid dan negara bangsa.
Namunlah belum sepadan rasa hormat tersebut, terasa hanya dipakai sebagai jargon-jargon yang enak didengar telinga. Sebab perkembangan waktu dan perubahan-perubahan sistem pengajaran, konon di riset oleh sejumlah pakar hebat-hebat di pusat kekuasaan, untuk membuat regulasi pendidikan. Namun hal tersebut belumlah menjawab dengan tepat. Utamanya dalam kebutuhan-kebutuhan anak didik. Perubahan yang sejatinya akan menciptakan dari generasi mendatang.
Disinyalir menjadi semakin kalut lagi, tatkala pergantian pejabat atau pemrintah, maka berganti pula sistem dan retorika pendidikan di pusat. Bahkan beberapa kali dicontohkan, soal label atau istilah dari SMA ke SMUN, walaupun diganti apapun makna dan fungsinya tetap sama. Tak pernah terpikirkan bahwa untuk mengubah papan nama akan berpengaruh seperti kop surat dan sejenisnya. Bisa dibayangkan jika itu seluas wilayah Indonesia, berapa biaya yang harus dikeluarkan, tentu miliyaran rupiah. Biaya itu akhirnya terbuang secara sia-sia. Jika sudah bosan, maka nama itu dikembalikan lagi ke nama asal yaitu SMA, SMP. Perilaku ini terkesan sangat aneh dan lepas dari akal sehat. Ada apa membuat perubahan di pusat tapi tidak mengubah substansi apapun.
Freire: pendidikan dan fraxis, yang intinya adalah partisan. Yakni maksudnya adalah untuk menentukan hidup sendiri.
Perilaku pemimpin yang ambigu itu selalu berulang dari rezim satu ke rezim yang lainnya. Belum lagi ditambah tentang berputar-putarnya kurikulum pengajaran. Juga terus berubah-ubah, namun karakter dan pola pengajarannya selalu menjadi debatable dan semakin hari kehilangan karakter Timurnya. Lepas dari nilai-nilai luhur yang telah diperjuangkan dengan berdarah-darah, oleh bapak pendidikan nasional yaitu bapak Ki Hadjar Dewantara, secara sistemik “sengaja dihancurkan atas nama modernitas”. Gerakan-gerakan itu bisa dimaklumi, dapat diduga karena pembentukan dan jiwa karakter, sebagai pemilik kebijakan dalam melihat kebenaran, bukanlah lahir dari budaya Timur yang santun, tepo sliro, menjunjung tinggi toleransi, akhlak serta jiwa berbasis ketimuran.
Memang sejak terjadi globalisasi penyelanggaraan pendidikan di Indonesia telah mengalami perubahan yang signifikan, utamanya soal intelektualitas, komersil, dan individualis ”semakin menjadi pujaan baru”. Banyak kritik dilontarkan salah satunya dari Tamansiswa, tentang ujian nasional untuk ditinjau kembali dengan hadirnya undang-undang Badan Hukum Pendidikan (undang-undang BHP) nomor 9 tahun 2009. Langkah-langkah strategi tersebut ialah dengan cara mengajukan permohonan yudicial review ke Mahkamah Konstitusi. Sebab dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran luhur Ki Hadjar Dewantara terkait dengan strategi pemerataan pendidikan masyarakat.
Freire: proses kemanusiaan sebagai mahkluk yang memiliki kesadaran. Sebab manusia hidup di dunia dan bersama dunia, bersama juga dengan orang lain.
Terkait dengan kurikulum pengajaran juga banyak mendapat berbagai masukan, bahkan kritikan-kritikan sangat pedas dan tajam. Para pengkritik tersebut sebenarnya adalah pelaku-pelaku pendidikan yang ada di daerah. Dari wilayah kota hingga wilayah-wilayah terpencil. Baik secara individu-individu maupun organisasi pendidikan. Bahkan kritikan juga dilakukan oleh komunitas-komunitas, yaitu terkait dengan kondisi dan sumber daya manusia. Yang diresahkan adalah baik peserta didik maupun gurunya. Bahkan menjadi “sangat miris” jika fakta dilapangan para murid yang jauh dari pusat kekuasaan, yaitu di pedalaman. Pola pembelajarannya, diperlakukan secara generalisasi atau dengan kata lain “standart nasional”, mulai materi pengajaran, hingga sarana-sarana teknologi, selalu dan selalu dipaksakan, demi meningkatkan SDM dan pemerataan perubahan. Maka akan terjadi “shock culture”. Hal tersebut bukan soal baik dan buruk, akan tetapi persoalannya adalah kemampuan dari objek, akan susah menjadi subjek secara tiba-tiba. Hal inilah menjadi perdebatan makna dan kualitas. Silang sengkarut pembiasaan ini tak pernah selesai dan menjadi tontonan semakin menjenuhkan. Solusinya selalu mengambang penuh ketidakpastian. Sebab tidak ada keputusan yang terbaik bagi bangsa dan eksistensi negara.
Orientasi kelompok elit, lebih suka “jual muka”, dan bangga dengan konsep-konsep yang seolah-olah telah menggugurkan nilai-nilai luhur lama. Padahal belum tentu bahwa konsep baru itu memberikan ruang kemanusiaan. Dengan demikian secara prematur dapat disimpulkan, hanya menang kalah yang terjadi. Saya yang berkuasa, mau apa. Ini awal bibit-bibit yang menindas kesalehan sosial.
Psiko Kekuasaan dan Industri Pendidikan
Fungsi pendidik (guru), bukan pengajar. Sebab pemahaman pendidik atau guru adalah sosok dan simbol keteladanan moral. Mereka sangat terganggu dan tidak nyaman jika anak didiknya malas, tidak pandai dan sering melanggar etika saat belajar. Sebab hal tersebut tidak dapat dilakukan dengan sempurna walaupun telah diperingati secara bertahap. Masih saja bandel, maka bisa saja tidak naik kelas. Tapi “hukuman moral”, tersebut masih saja diberikan dengan berbagai harapan-harapan, agar anak didik mau “mulat sarira” mawas diri. Diberikanlah kehormatan “naik gantungan”, sebuah kenaikan kelas, dengan batas waktu tertentu, biasanya satu semester batasnya.
Peringatan moral ini adalah kebijakan yang dilakukan dengan rapat dewan guru, tidak satu guru wali kelas. Maka dengan peringatan ini, anak didik/siswa “sudah merasa malu dan takut setengah mati”. Tidak saja takut turun kelas, akan tetapi mulai dari orang tua murid hingga dewan guru terus bertanggung jawab membimbing dengan ketat. Berbeda dengan pengajar yang hanya bertugas mengajarkan materi pelajaran saja sesuai dengan kurikulum. Sepertinya tidak diwajibkan memotivasi karakter dan moral murid. Ketika kurikulum sudah diajarkan dianggap sudah selesai tanggung jawabnya.
Said: relasi Timur dan Barat adalah relasi kekuasaan, dominasi dan hegemoni yang kompleks. Yaitu Timur yang di Timurkan sesuai selera Eropa.
Intinya adalah “guru jadul” dinilai lebih manusiawi. “jiwa anak didik benar-benar menjadi fokus utama”, untuk mendapatkan motivasi yang tepat dan benar. Bagaimana murid yang malas menjadi rajin. Murid yang kadar intelektualnya kurang, diarahkan ke kecerdasan emosionalnya, hubungan sosialnya. Cara jitu itulah membuat murid jadi semangat belajar. Rata-rata cara ini mampu membuat perubahan lebih baik, terutama terhadap karakter anak dan spiritualnya. Seperti dalam lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R Supratman “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”.
Sebenarnya anak tidak naik sekolah, itu jarang terjadi. Kecuali tidak masuk sekolah atau tidak ikut ujian. Kesadaran guru yang luas biasa bagaimana menjaga jiwa murid, menjad tujuan paling utama dalam membangun intelektual, hubungan sosial dan moral anak didik, semua itu dikemas dengan pendekatan pola spiritualitas. Sebab kelakuan baik adalah syarat kelulusan utama murid. Hal tersebut tidak mengurangi kepandaian berhitung atau belajar bahasa asing. Hal lain untuk mengukur kehalusan jiwa, murid diperintahkan untuk “menulis halus”. Tindakan guru ini, juga dapat memainkan dan menata psikologi murid. Sebab tulisan halus yang ditulis secara acak-acakan, menandakan anak murid masih perlu dikontrol tingkat emosinya. Jika murid melanggar tata tertib tersebut, maka hukumannya adalah “menulis halus”. Karena itu PR atau pekerjaan rumah, secara otomatis orang tua wali pasti mengatahui. Sehingga murid juga mendapat teguran dari orang tua wali. Produk jiwa ini menggiring institusi sekolahan maupun wali murid memiliki tanggung jawab mendidik moral secara bersama-sama.
Said: orientalism, kajian sebagai upaya untuk menyebarkan kesadaran-kesadaran geo-politis ke dalam teks-teks, keilmuan, sosiologi, ekonomi, sejarah dan filogi.
Jenis ujian murid dilakukan dengan dua cara. Cara pertama adalah ujian tulis. Dalam ruang kelas satu bangku yang biasanya ditempati dua anak murid, diberikan jarak atau hanya ditempati satu anak. Sehingga dengan mudah akan dapat diketahui “siapa yang suka mencotek”. Jika ketahuan mencontek, guru jaga ujian, berdehem-dehem disebelahnya. Hal ini sudah membuat ciut nyali murid. Cara kedua, pasca ujian tertulis beberapa hari kemudian dilaksanakan “ujian lisan”. Momentum ini sang murid berupaya keras untuk belajar dan tampil dengan maksimal. Cara ujian lisan ini disamping untuk menguji daya ingat, akan tetapi juga menguji ketangkasan intelektual dan ketangkasan bicara. Oleh sebab itu para guru menguji memberikan penilaian khusus dan bobot lebih besar daripada nilai ujian tertulis.
Cara dan metode ujian jenis ini sangat dimungkinkan seorang guru lebih detail mengetahui jiwa dan karakter anak, dan bagaimana untuk menyelesaikan permasalahan anak. Baik secara kejiwaan maupun peningkatan kadar intelektualnya. Sesungguhnya uraian ini, dimaksudkan untuk menjadi studi banding dalam memperlakukan anak didik dengan pendekatan kejiwaan. Bukan pola menghukum, memenjara siswa lewat sistem yang seolah-olah sudah moderen. Akan tetapi meninggalkan moral sesuai dengan prinsip-prinsip keluhuran secara tepat, baik dan menjaga keharmonisan antara intelektual, emosional dan spiritualitas murid. Sedangkan materi-materi soal ujian didominasi oleh muatan lokal. Sehingga murid saat itu sangat mengenal lingkungannya. Tak terkecuali mata pelajaran ideologi Pancasila, menjadi favorit murid di samping sejarah. Karena contoh-contoh soal terkait dengan perilaku keseharian.
Perubahan Status Sosial Guru
Arus globalisasi dalam dunia kontemporer telah mengubah sendi-sendi kehidupan pendidik. Dari simbol-simbol guru masa lalu, telah menjadi pengajar sesuai perkembangan zaman. Guru yang semula menjadi simbol-simbol suci keluhuran moralitas dan cermin keteladan murid yang taat dengan kesantunan. Namun guru yang sudah berubah menjadi pengajar, telah tertekan dengan materi-materi budaya asing, salah satunya adalah “internasionalisasi”. Bagaimana para pengajar menyiapkan murid untuk melihat dunia internasional. Ini bukan sebuah kesalahan dalam metode ilmu pengetahuan. Sebagai referensi dari berbagai ilmu pengetahuan, memang untuk manusia. Oleh sebab itu untuk menyiapkan tujuan tersebut, diprogramkan berbagai cara agar mencapai tujuannya. Semua diatur dari pusat. Seolah-olah kebenaran pendidikan yang dari pusat sebagai “episentrum paling penting”. Hal ini bukan “sentralisasi standart internasional” itu sebagai masalahnya, akan tetapi jika tidak cermat dan hati-hati muatan-muatan asing itu, akan menjadi “kudeta identitas”.
Said: orientalisme merupakan fakta politik dan budaya di dalam ruang hampa. Namun kenyataannya justru berada dalam jalur-jalur tertentu dan di ketahui secara intelektual.
Secara positif tidak mungkin negara/pemerintah khususnya dalam pendidikan akan menciptakan “holocaust” (pembantaian massal) terhadap pendidikan generasi harapan bangsa. Sungguh tidak mungkin. Dalam hal kebenaran, tentu tidaklah sama, antara adat dunia Timur dan adat dunia Barat. Yang Timur titik tekannya pada “rasa untuk mengukur logika” dan “Barat mengukur rasa dengan logika”. Semua ukuran itu, sama kuat, sama hebat. Pertanyaannya kita berpihak kemana? Jika dikaitkan dengan identitas dan karakter bangsa. Apakah memihak muatan lokal “menjadi aib suatu bangsa”. Memang dalam dunia kontemporer hal ini sebenarnya tidak perlu diperdebatkan, soal makna nilai Timur dan Barat. Ini sebagai “arus kebenaran baru”, telah terstruktur dan masif diberlakukan hamper diseluruh dunia. Kecuali di beberapa negara, seperti Perancis, China, Soviet, India, Jepang, masih sangat kuat menjada tradisi dan nilai lokal mereka. Di Indonesia, kepala negara dalam event G20, menjunjung tinggi adat dan kostum lokal. Alangkah bijaknya jika hal itu tidak hanya tampilan visual, akan tetapi menjadi “sikap dan sistem pendidikan negara bangsa”. Sebagai strategi kebudayaan Indonesia yang tangguh berdaulat dan mulia.
Dunia hari ini khususya di lokal, hampir semua masyarakat sangat merisaukan tentang materi pendidikan budi pekerti. Hal tersebut dengan terpapar sangat nyata yang dilakukan oleh anak didik tentang penyalahgunaan narkoba, tidak santun dengan orang tua, sikap-sikap anti sosial, sehingga tidak lagi mencerminkan sebagai orang terdidik. Akhirnya kesalahan itu bagi yang tidak memahami persoalan, akan menyalahkan pemerintah, pendidik dan sistem pendidikan.
Sebenarnya dapat dibaca dengan jelas kehendak masyarakat masih nyaman dengan hadirnya moral dan etika. Di sini titik pangkalnya. Dapat secara premature disimpulkan, bahwa konsep pendidiakan lebih di dominasi dengan selera dan kepentingan kaum elit yang selalu mengatasnamakan jiwa masyarakat, keinginan masyarakat, keresahan. Jika dilihat secara fakta, sama sekali tidak, sebab pertimbangan konsep pendidikan tidak menjawab sepenuhnya tentang kerisauan masyarakat tersebut.
Pitutur Jawa: pupur sawuse benjut (orang yang sadar atas kesalahannya). Manusia tidak akan lepas dari kesalahan. Oleh sebab itu dibutuhkan kesadaran untuk menghindari kesalahan dan kerugian.
Memang perlu disadari, bagaimana mungkin para pemimpin tersebut, telah terbekali dengan pendidikan yang tidak memiliki akar Timur. Sehingga akan kesulitan melihat kebenaran dan kekuatan Timur. Barangkali hal inilah menjadi faktor konsep pendidikan. Dengan sengaja lebih mendahulukan logika daripada memperkuat mental dan etik. Sementara orang nomor satu di Indonesia selalu dan selalu, baik dalam sikap dan tutur lisannya selalu Timur. Sungguh paradoks!
Ini tidak sedang mengoreksi, tapi sungguh aneh. Hal yang nyata tidak terimplementasikan secara sistem. Dan lebih aneh lagi tidak ada saling mengingatkan diantara mereka. Atau diduga, ada pembiaran yang disengaja. Jika dilihat banyak orang pandai yang bergelar Doktor, Profesor yang sangat pakar dan dapat memberikan masukan, tentang “dis-orientasi pendidikan”, terkait dengan startegi pendidikan dan kebudayaan. Jika pembiaran ini terus terjadi dan menjadikan “menu utama”, tidak ada pilihan, tidak ada diferensiasi. Pasti akan menjadi produk masal, yang tidak laku dijual apalagi bersaing dengan negara lain.
Antoine: dengan mata hatilah kebenaran terlihat. Hal-hal penting tak tampak di mata.
Perilaku segelintir elit ini, legislatif, birokrasi dan kaum rektorat, ujungnya akan menyusahkan para guru, murid, orang tua murid khususnya dan umunya masyarakat. Guru menjadi pengajar, masih tetap menjadi tumpuan akhir dari masyarakat awam. Bisa terjadi menjadi sasaran amarah, jika anak-anak mereka bertindak amoral dan melawan hukum. Padahal “sesungguhnya guru juga adalah bagian dari korban dari sebuah sistem”. Terlihat hari ini guru sangat disibukkan oleh berbagai tugas untuk memenuhi syarat-syarat kualitas seperti artikel, sertifikasi, pertanggungjawaban keuangan dan sejumlah administrasi lainnya. Secara manusiawi, maka yang akan dilakukan pengajar adalah menyelamatkan diri dan dapurnya dulu. Baru jika ada siswa waktu untuk mengajar murid. Dengan kondisi semacam ini sudah barang tentu, mutu pengajaran tersebut tidak akan maksimal dan berjalan baik. Soal penilaian terkait dengan kualitas murid sulit ditemui nilai C apalagi D dan E. Semua nilai banyak didominasi oleh B dan A. semua berebut dan menciptakan murid juara, sayangnya apa suatu penilaian yang riil dan melukiskan manusia untuk membangun masa depan. Terlihat sekali murid adalah robot-robot tanpa jiwa. Karena dibentuk oleh industri yang kekurangan jiwa.
Lagi-lagi “pengajar”dijadikan kambing hitam dari silang sengkarutnya kerumitan konsep pendidikan nasional. Dilematis pengajar, sebagai pelaksana pendidikan di lapangan, di satu sisi pengajar harus menyelamatkan hidupnya. Pengajar dituntun untuk menjadi guru dan pendidikan yang ideal seperti harapan masyarakat awam. Akan tetapi situasi dan kondisi pengajar selalu dihadapkan dengan tekanan psiko hierarki yang masif. Upaya-upaya kelompok guru maupun secara individu dan kelompok mencoba dan mencoba tanpa lelah, telah mengusulkan dan menyampaikan kondisi murid seperti yang diharapkan masyarakat, kepada pemilik kebijakan. Namun menguap begitu saja. Dan hanya menjadi catatan tanpa makna. Mau terus berdemo untuk menyampaikan keluhan-keluhannya, akan tetapi dipenjara oleh “moral” sebagai simbol keadaban guru.
Jika Dunia Tanpa Guru
Guru harus hadir, jika tidak pasti secara berjenjang akan menjadi kekacauan dan terciptanya generasi yang amburadul. Mulai dari keresahan orang tua wali murid, moral lingkungan dan negara bangsa. Orang tua dari dulu hingga kini, guru selalu menjadi harapan, tidak saja soal kesantunan, ilmu pengetahuan dan kebanggan tentang prestasi anak-anaknya. Harapan terbesarnya, setelah lulus sekolah anak-anak mereka pendapatan kehidupan lebih baik, layak daripada kehidupan orang tuanya. Sebab berbekal ijazah, sebagai tuntutan formalitas, menjadi syarat utama untuk memperoleh pekerjaan disebuah institusi atau lembaga. Oleh karenanya untuk menghadapi berbagai persaingan yang semakin ketat. Walaupun sebenarnya orang tua murid, juga mengetahui bahwa menjadi guru bukanlah hal yang mudah, dengan tuntutan perubahan zaman dan tekanan psiko hierarki. Terkadang rasionalitasnya tidak menginjak bumi karena tafsir konsep pendidikan yang tidak mengakar pada muatan lokal dan mengaburkan harapan masyarakat, di posisi lain masih sangat mendambakan muatan lokal sebagai bekal utama anak-anak mereka.
Goleman: kecerdasan akademis praktis, tidak dipersiapkan menghadapi gejolak dalam kesulitan hidup. Bahkan IQ yang tinggi pun tak menjamin kesejahteraan, gengsi dan kebahagiaan. Sekolah dan budaya hanya menitikberatkan kemampuan akademis dan mengabaikan kecerdasan emosional.
Jika saja hasilnya sosok guru yang dilematis itu, karena tekanan maka akan lahir pula generasi yang invalid. Tidak sempurna seperti yang diharapkan dari konsep pendidikan yang invalid pula. Sebab kelulusan yang invalid tersebut akan membuat kegaduhan-kegaduhan yang menolak moral, serta tidak ada toleran. Diotaknya yang ada hanyalah menghitung untuk rugi secara matematika. Logika tersebut tentu berlawanan dengan moral dan etik. Lingkungan moral akan mengalami kegaduhan yang luar biasa sehingga terjadilah konfrontasi horizontal dan memungkinkan sekali terjadinya perselisihan antara warga dan keluarga.
Oleh sebab itu akar persoalan ini tidak saja akan menjadi renungan di hari besar guru, akan tetapi seharusnya menjadi tindakn riil dari segelintir elit yang berkuasa itu. Pilihannya adalah kekuatan logika yang diagungkan tanpa balutan moral, akan menghasilkan generasi yang banal tak terkendali atau mensinergikan moral dan pengetahuan agar dapat menyelamatkan negara bangsa.
Ki Hadjar Dewantara: dasar nasionalisme bersifat kebangsaan, sebagai materi sangat penting dalam pengajaran materi anak-anak, agar memiliki rasa cinta bangsa, dan tak terpisah dari bangsanya. Jika tidak akan menjadi lawan kita.
Guru masih memiliki posisi sangat strategis dan penting bagi kelahiran antar generasi dan negara bangsa. Oleh karenya harus terus diupayakan dengan kearifan dan kebijaksanaan yang lebih baik. Sebab hanya lewat moral dan pendidikan yang baik akan terselamatkan kesatuan dan persatuan negara bangsa. Sebab sejatinya, karakter dan identitas masih menjadi ukuran, sistem, sikap serta strategi negara bangsa. Jangan sampai “salah urus” karena nafsu kuasa yang hanya dihuni oleh “segelintir elit tersebut”, yang serakah, tamak dan tiran, negara bangsa harus dikorbankan. Guru perlu dirawat, diberi kebebasan, lepaskan dari tekanan hierarki dan administrasi yang selama ini telah menghancurkan “makna sempurna dari hadirnya sosok guru”, sebab dipundak gurulah karakter, identitas negara bangsa dipertaruhkan. Selamat Hari Guru 25 November 2022. (Tancep kayon, Bumiaji, 25 November 2022)
Selamat Succesfull Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN sepanjang masa Succesfull Sedulur