Hipnotis dan Kekuatan Bola
Oleh: Slamet Hendro Kusumo
Di ufuk timur warna merah semburat ke mana-mana. Tanda pagi hari sudah dimulai. Dua puluh meter dari gang kecil, yang hanya dapat dimasuki satu orang saja, itupun saling bergiliran jika mau masuk atau keluar gang tersebut. saling sepakat antar warganya dalam mempergunakan lokasi itu.
Terdengar sayup-sayup suara bersemangat lagu-lagu tentang spirit lokal lagu-lagu terkait dengan sepak bola. Dapat diduga suara itu berasal dari handphone yang sudah lama (jadul) karena tidak begitu jelas modulasinya.
Namun kata-kata atau syair lagu tersebut masih sangat jelas untuk didengar, di sela-sela kampung kecil yang padat penduduknya. Tentunya dibanding dengan kampung-kampung lain di sekitar lokasi itu.
Suasana masih cukup sepi. Karena penduduknya rata-rata berpenghasilan dari jualan makanan kecil, yang sebagian besar dijual berkeliling kampung sebelah, hingga pukul 9 malam.
Setelah didekati, ternyata sepasang suami istri sedang duduk berdampingan pada teras rumahnya. Dari wajah suami istri itu, tampak sekali, wajah sedih dan murung, tidak dapat disembunyikan. Suami istri itu telah cukup umur, kisaran lebih kurang 45 tahunan, pernikahannya agak telat, termasuk ketika awal memiliki anak yang pertama.
Simmel (2004), gejala yang disebut tragedi, sebab persoalannya tidak bisa diselesaikan untuk menentukan menjadi khalik atau menjadi makhluk ciptaan masyarakat. Sebab berada dalam posisi tarik ulur.
“Bune, pada jam-jam seperti sekarang ini, Sulkan dan Adi selalu menyetel lagu-lagu Arema itu ya?” suara lirih terdengar dari suara Sukarta. Sangat lirih hampir tak terdengar. Hanya istrinya yang paham sekali maksud dan tujuan suaminya.
“Benar pakne, setelah dari mushola sudah menjadi kebiasaan Sulkan dan Adi selalu meminta dibuatkan teh penghangat untuk perut mereka. Sekarang sudah tidak ada lagi yang meminta teh kepadaku” jawab Suminten yang tidak kalah lirih diiringi dengan mata berkaca-kaca. Seakan-akan kejadian kedua kakak beradik tersebut, kedua anaknya masih baru saja meninggal dunia.
Hegel: idealisme merupakan harkat manusia didasarkan atas kenyataan, bahwa ia adalah wahana roh dan kejiwaan.
Penguburan jenazah kedua anaknya, sehari setelah tragedi kematian massal itu terjadi. Dalam pemakaman hadir pula sejumlah pejabat mulai dari Perangkat Desa, Camat, hingga Walikota.
Untuk menguatkan batin dan mental sepasang suami istri tersebut yang memiliki tiga anak, laki-laki semua. Si bontot masih berumur 8 tahun. Sedikit mengerti, jika kedua kakaknya telah meninggal dunia. Karena nonton sepak bola.
Kedua kakaknya selalu memakai atribut-atribut dengan gambar “Singo Edan”. Simbol kebanggaan kedua kakaknya. Kasih sayang kakak-kakaknya, terwujud selalu urunan dari uang kerja nimba air, untuk membantu tenaga yang membutuhkan, saat usai sekolah. Kegiatan itu untuk membantu tetangga sebelah yang punya sumur, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga tersebut.
Kedua kakak yang bernama Sulkan dan Adi dikenal tetangga sangat rajin, pintar dan saleh, sangat memahami kesulitan orang tuanya yang hanya jualan jajanan kecil keliling kampung seperti warga lainnya.
H. De Vos (1969), adat-istiadat bukan saja berkah, akan tetapi isinya memiliki pengaruh yang bersifat mempersatukan, mengikat serta membentuk persekutuan.
Keluarga kecil itu tidak beruntung dalam ekonomi. Sehingga hasil kerja kakak beradik, bisa sedikit meringankan beban orang tua mereka. Keduanya masih sekolah di salah satu SMA swasta dekat rumahnya. Yang Sulkan kelas dua SMA yang adiknya Adi kelas satu SMA. Umur mereka berhimpitan selisih satu tahun. Kecuali Marwan yang bontot agak jauh selisihnya.
Menariknya spirit kakak-kakaknya tentang sepak bola, juga tertanam di hati sang adik. Akan juga mencintai Singo Edan, Aremania seperti halnya kedua kakaknya yang sudah meninggal dunia.
Atribut, kaos, slayer sekarang ini menjadi miliknya sebagai pewaris tunggal. Memang Marwan belum sekalipun diajak ke pertandingan langsung di stadion Kanjuruhan. Akan tetapi tidak pernah lewat untuk menonton sepak bola melalui TV butut, pemberian pakde nya. Selalu sedih jika Arema kalah, muncul semangat yang menggelora jika Arema menang. Hanya satu tekadnya akan melanjutkan tekad perjuangan kakak-kakaknya.
“Aku akan menjadi seperti kakak-kakakku, rajin, pintar dan satu jiwa dengan Singo Edan” pekiknya dalam hati.
Diantara spirit anak-anaknya Sukarto dan Suminten, suami istri itu hanya satu hal yang tidak dimengerti, adalah bahwa kesenangan, kecintaan menjadi sangat mahal karena harus dibayar dengan nyawa. Serta tidak mengerti pula bahwa ada tekad si bontot satu-satunya anak yang tertinggal juga akan meneruskan heroisme kedua kakaknya.
Seperti diketahui bahwa suami istri itu bukan penggemar sepak bola, sebab kehidupannya lebih berfokus pada mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Pengaruh Bola Pada Generasi Muda
Keluarga kecil itu adalah bagian penting dari proses sebuah perjalanan persepakbolaan Indonesia. Terkena dampaknya dari sebuah peristiwa ‘kematian massal’, entah siapa yang harus bertanggung jawab atas tragedi tersebut. Apakah juga ada ‘grand desain’ sehingga peristiwa itu terjadi. Beberapa indikator kejadian yang terjadi di beberapa lokasi di seputar stadion tersebut, menggiring siapapun jika kejadian itu diduga ‘by design’. Tapi ini masih bersifat dugaan, konon ada ‘permainan judi’ yang tidak puas dengan ‘kekalahan’ Arema, sekali lagi ini dugaan masyarakat penggemar bola.
Kembali kepada keluarga kecil yang selama ini se rumah berjumlah lima orang, kini tinggal suami istri dan satu anak masih kecil. Tetap harus melangsungkan kehidupan. Sepasang suami istri tersebut, bukanlah tidak menyukai sepak bola akan tetapi kebutuhan hidup harus menjadi fokus agar keluarga kecil itu bisa bertahan pada kehidupan yang sulit ini. Sehingga acara-acara yang bersifat hiburan lainnya dikesampingkan.
Kini kehidupan mereka sudah direngguh oleh keadaan. Kedua anaknya kemarin diharapkan bisa mengubah jalan hidup ke depannya, tiba-tiba sirna tanpa bekas, mengerikan. Tinggal adiknya akan seperti kakaknya, ataukah ini tanda-tanda dari Tuhan yang harus dijalaninya?
Simbol-simbol misteri Tuhan itu terus dicoba untuk dipahami dan dimengerti oleh sepasang suami istri itu di tengah badai kehidupan. Mereka menyadari hanya sekolah lulusan SD saja. Sadar benar, banyak hal yang tidak dapat dipahami dalam perilaku kehidupan moderen ini. Satu pertanyaan yang terus menganggu, ketika kedua anaknya sangat mencintai sepak bola, kini sudah pergi dan tidak akan kembali lagi.
Albert Schweitzer, menghormati hidup ialah menghormati apa saja yang hidup. Manusia tidak diperbolehkan bertindak semaunya terhadap alam hidup, serta memberi rasa hormat seperlunya.
Misteri hidup dan kehendak hidup, tidak pernah habis untuk dimengerti oleh makhluk siapapun. Demikian juga untuk memahami sepak bola, adalah manajemen hati, satu jiwa. Kesebelasan dalam sepak bola adalah sebuah tim. Terdiri dari sebelas pemain dan pemain cadangan. Dalam pemain cadangan jumlahnya tidak dibatasi jumlahnya. Untuk menjadi pemain inti diperlukan proses panjang dan terukur. Jumlah itu semakin banyak ketika ditambah pelatih, panitia, keamanan, campur tangan pemerintah lewat KONI, bisa ratusan orang yang digerakkan, untuk mencapai dalam proses pembuatan kesebelasan sepak bola. Belum cukup berapa keluarga dari pemain-pemain yang akan bertanding itu, juga ikut hadir. Sebuah pekerjaan sangat rumit serta memerlukan penanganan amat serius, tepat dan benar.
Dilihat secara lebih cermat, bagaimana keterlibatan emosional, jiwa, strategi bertanding, kesatuan pikiran yang holistik. Tidak berlebihan jika ikatan-ikatan emosional sepak bola berdampak sangat besar jika terjadi chaos massa.
Apapun alasannya dalam hal ini, massa yang demikian banyak, belumlah secara baik negara hadir. Memang organisasi-organisasi massa dibentuk karena kecintaan pada sepak bola. Namun limpahan massa yang terdiri dari puluhan ribu orang, buka pekerjaan mudah untuk dikelola.
Selama ini penanganan organisasi-organisasi “massa bola”, sudah sangat baik dan professional dibentuknya. Diwujudkan dalam koordinator tingkat dusun, bahkan RT. Setiap saat dibutuhkan rapat-rapat koordinasi terus menerus dilakukan. Dijaga jangan sampai ada chaos baik di kampung, jalan bahkan bakti sosial pun dilaksanakan dengan tertib dan terkendali. Upaya-upaya ini layak mendapatkan apresiasi yang baik.
Psikologi Massa
Ikatan-ikatan emosional yang professional, memang masih berjalan belumlah seimbang antara organisasi massa sepak bola, dengan panitia penyelenggara, aparat dan pemerintahan. Sebab fokus pemerintahan orientasinya mayoritas masih memprioritaskan, pengkaderan, persiapan pemain serta kebutuhan-kebutuhan manajemen SDM (kebutuhan tim).
Persoalannya dalam sepak bola ternyata belum cukup hanya teknis atau kualitas pemain namun unsur-unsur pendukung potensial yang lain tidak kalah pentingnya. Yakni (massa penggila bola yang militan), ini belum tersentuh dengan baik, sistemik serta professional.
H. De Vos dalam pengertian perilaku mencakup pernyataan atau ungkapan dalam kuasa orang yang bersangkutan meliputi, kata-kata, gerak-gerik dan tertulis.
Dalam hal ini bukan tidak pernah dibicarakan secara mendalam. Akan tetapi antar organisasi massa bola dan organisasi pemerintah mampu menjawab tantangan zaman dan perubahan manajemen yang akuntabel. Utamanya dalam pengawalan dan keamanan juga rasa nyaman.
Hal tersebut tidak bisa dibebankan kepada organisasi bola saja, sebab area dan objek kegiatan, masih dalam wilayah Indonesia. Memang kemandirian dalam organisasi massa adalah tanggung jawab pribadi pada organisasi massa itu sendiri. namun perlu diingat, setiap ada kejadian-kejadian pergerakan massa bola, bersifat “kerumunan”, di mana pun di dunia ini banyak menelan korban antara lain olah raga-olah raga yang mampu menggerakkan massa. Masih belum cukup baik, korban terus terjadi tanpa henti dengan jumlah yang banyak.
H. De Vos, makhluk kesusilaan adalah mahkluk yang bebas. Intinya karena ada kebebasan, manusia dapat berbuat kesalahan.
Ini perlu pemikiran serius, tidak hanya cukup investigasi, saling menyalahkan antar pengelola dan pemerintah. Satu nyawa pun menjadi sangat penting buat keluarga dan bangsa. Sebab olah raga tidak olah sehat jasmani namun juga rohani. Olah raga bisa hidup, karena ada yang beli tiket, para penggila bola datang bukan gratisan. Penyelenggaraan sepak bola butuh dana besar, butuh sponsor. Keterkaitan mulai kepentingan ini perlu sistem yang terus menerus diperbaiki.
Utamanya pemerintah lewat organnya yang diberi amanat oleh rakyat, investigasi, hukum yang salah, lindungi masyarakat bola dengan arif bijaksana dan menjunjung tinggi profesionalisme. (Slamet Henkus-Tancep Kayon, Bumiaji 6 Oktober 2022)
Biodata Penulis
Penulis, Slamet Hendro Kusumo (Henkus) lahir di Batu, 5 Mei 1959 adalah seorang pekerja seni lukis/rupa di Batu.
Menyelesaikan pendidikan program doktor (S3) Sosiologi di Universitas Muhammadiyah Malang tahun (2021). Aktif mengadakan pameran seni rupa diberbagai kota di Indonesia dan dibeberapa Negara. Sejak 1979 hingga 2022.
Slamet Henkus kini mengelola Omah Budaya Slamet (OBS), yang didirikan tahun 2002.
Bergerak dalam kegiatan dan pemikiran kebudayaan, dan lain-lain. Slamet Henkus aktif sebagai narasumber di bidang filsafat, sosiologi, politik dan kebudayaan antara lain di Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Brawijaya, Universitas Islam Negeri, Universitas Kanjuruhan, Pamong Kebudayaan Jawa Timur, sejumlah UKM diberbagai perguruan tinggi, komunitas-komunitas independen di berbagai wilayah Indonesia, sejumlah perguruan tinggi Amerika saat berkunjung di OBS, sejumlah partai politik dan beberapa Dinas Pemkot Batu.
Slamet Henkus juga sebagai Penulis Esai di media online seperti KlikTime, BeritaRayaOnlineMalasya, Javasatu.
Segudang penghargaan diterima Slamet Henkus antara lain, pembuatan Buku Pesona Kota Batu tahun 1988 oleh Bupati Abdul Hamid, sebagai Panwascam Batu 1999 oleh Ketua Pengadilan Negeri Malang, terpilih 5 Besar Pra biennale Bali Jawa Timur 2004, Penghargaan DPRD Kota Batu sebagai penggagas, pemikir dan penggerak dalam peningkatan status Kotatif Batu tahun 2009 dan 2014, salah satu (milestone artist) Biennale Jatim 6 tahun 2015, Encompass Awards tahun 2016 (dari Encompass Indonesia), penghargaan “Kreator Bidang Seni Rupa” tingkat Jawa Timur tahun 2016 oleh Gubernur Jawa Timur, Tourism Awards dari Walikota Batu sebagai Budayawan tahun 2021.
Kini Slamet Henkus diberikan amanah menjadi Dewan Penasehat Forum Pamong (FPK) Kebudayaan Jawa Timur (2022). Selain itu, mengemban tugas menjadi Ketua Dewan Penasehat Persatuan Penulis Indonesia Satupena Jawa Timur.
Semangat Sepanjang Masa Succesfull Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN sepanjang masa Succesfull Sedulur