
Manusia Alamiah dan Teknologi
Oleh: Slamet Hendro Kusumo
Rumusan lama manusia dan alam adalah kearifan pada tata kelola hidup, bersifat alamiah, indah, bersahabat. Alam memberikan respon positif, sedangkan manusia menikmati kebaikkan, serta kebijaksanaannya. Kalimat ini, terasa seperti sikap pasif. Jika disandingkan dengan paradigma hari ini. Baiklah, dapat diuraikan secara ringkas tentang hubungan itu. Manusia masa lalu dalam memenuhi hidupnya, berkisar apa yang dibutuhkan, apa yang diperlukan, dan secukupnya untuk hidup. Maksud yang dibutuhkan adalah memenuhi kebutuhan dengan cara membatasi, tidak berlebih. Sebab ada satu pemikiran arif bahwa generasi, baik secara genetik maupun tidak sedarah, akan dapat merasakan “hasil konvensi budaya, super organik”, bisa diwariskan. Semua yang ada pada kekayaan alam, tidak diambil seluruhnya oleh yang hidup saat itu. Sehingga keperluan-keperluan yang tidak dianggap mendesak dan tidak penting, perlu dihindari, dijauhi dan tidak serakah, karena bagi masyarakat tradisional. Bahwa ketentraman, tidak semata hanya uang/materi, namun kebutuhan rohani, juga tidak kalah pentingnya.
Freud: peradaban didasarkan atas pemindahan permanen terhadap insting-insting manusia, sudah diterima begitu saja.
Oleh sebab itu, hidup secukupnya telah memberikan ketenangan lahir batin. Dasar kehidupan yang bersahaja inilah menciptakan ekosistem kultural antara manusia dan alam. Lewat berbagai dokumentasi arsip, dan buku-buku yang mencatat keindahan-keindahan masa lalu. Tentang kehadiran pohon-pohon purba, rimba raya, air yang sangat jernih. Bahkan untuk kebutuhan minum, air tidak perlu dimasakpun, jika diminum tidak membawa efek bagi kesehatan manusia. Bahkan di depan rumah penduduk, selalu disiapkan kendi dan siwur. Bisa diminum oleh orang yang lewat ketika sedang haus. Bahkan karena surga dunia itu telah memberikan ketenangan-ketenangan, yang tak mungkin terulang. Masa-masa gemilang tersebut, memberikan inspirasi para empu, penyair, perupa, sastrawan dan gedung-gedung yang menginspirasi kaum cendekiawan. Demikian memuja “kehebatan semesta alam dan manusianya”. Tentunya dengan berbagai cara dan metode ungkap masing-masing kreator.
Potret sosial inilah memberikan kontribusi penting dengan terjaganya ekosistem dan ekokultural. Sejauh memandang, hamparan langit biru, lautan lepas, udara segar, para petani bersuka cita karena sedang memanen hasil kerja keras, mencintai tanaman. Selepas panen dibentuklah “bumbu pada moro”, setiap orang bersepakat untuk mendatangkan berbagai jenis kesenian tradisional dengan cara, biaya gotong-royong, guyup rukun. Malam hari menonton bareng pementasan, ludruk, ketoprak, pencak silat, kuda lumping, bantengan, wayang kulit dan berbagai permainan anak-anak di siang harinya. Sejumlah pedagang kaki lima yang menjual alat permainan tradisional dan jajanan rakyat, bertabur di sekeliling perhelatan kesenian rakyat tersebut. Muda-mudi, sambil membantu pesta rakyat tersebut, saling lirik dan jatuh cinta. Walaupun tidak dapat bersentuhan fisik. Sebab etik dan moral, tidak memperbolehkan, sebelum jadi suami istri secara resmi. Namun lebih dari cukup bagi muda-mudi tersebut untuk saling mengenal satu sama lainnya.
Marcuse: eros yang tidak terkontrol, sama faktanya dengan lawan matinya, yaitu insting kematian.
Sistem hubungan sosial dan alam, berimbang. Maksudnya rasa ingin tahu dan ingin menguasai satu sama lainnya tidak terjadi. Sebab hidup kolektifitas, sebagai suatu kesatuan alamiah. Itu terjadi karena mereka berpedoman kepada keluhuran nilai-nilai kemanusiaan. Saling membutuhkan, saling memberi, empati, toleransi. Sudah menjadi bagian hidup keseharian “sistem organik kultural”. Hal inilah menjadi makna dari “keseimbangan, keselarasan dan harmoni”.
Marcuse: prinsip realitas manusia, yang dibawah prinsip kesenangan, tak lebih dari sekumpulan dorongan hewani yang menjadi ego terorganisasi.
Bukanlah tidak ada benturan, tetap ada. Seperti kawin muda, kawin paksa, sentimen kaya miskin. Tapi itu lebih ditempatkan sebagai kasusistik jika dilihat jumlah penduduk, masih relatif kecil tingkat pertumbuhannya, tidak sepadat sekarang. namun karena hubungan keluarga, masih menjadi fokus tumbuhnya moral dan etik. Bagi seorang anak, lebih banyak menurut apa yang diperintahkan orang tua. Sebab orang tua masih menjad patron, saat terbentuknya keluarga baru, mereka meneladani dan mencontoh, seperti yang dicitakan oleh generasi baru, sebagai replika keluhuran budi masa lalu.
Marcuse: jika memori bergerak ke pusat psiko-analis, sebagai model dalam menentukan kognisi, itu jauh dari sekadar sebuah perangkat terapeutik. Peran terapeutik memori berasal dari kebenaran memori.
Hal yang perlu dipelajari, dari masa lalu, tentang dinamika kultural tersebut tentu dengan plus minusnya. Yang terutama adalah, tidak adanya kerusakan alam. Alam masih sangat dipertahankan dan dipuja. Sehingga kerumitan keluarga, tidaklah membawa dampak penting dari kehadiran alam. Dengan demikian, segala macam dinamika privat tersebut, akan terselesaikan sendiri, apapun keadaannya. Rumusan lama ini apa yang masih relevan, bagi kehidupan manusia. Tentu tidak dapat, memperoleh jawaban dengan mudah. Sebab pertumbuhan peradaban, populasi, sosio politik, ekonomi, gaya hidup, kebutuhan akan merubah segalanya. Itu bisa terjadi karena, jika tidak belajar dari hadirnya makna sejarah secara tepat dan benar. Semua itu akan menjadi semakin rumit kalau dihubungkan dengan selera pemerintah yang dikuasai secara masif oleh segelintir elit politik.
Evolusi Kehancuran
Sungai itu penuh dengan sampah, usai banjir bandang. Semua yang berkepentingan saling menyalahkan, apa penyebab terjadinya banjir. Pada hamparan sungai, berbagai jenis sampah berserakan, semrawut. Mulai dari ranting dan pepohonan, bekas dipotong waktu lalu. Sampah-sampah produksi pabrikan lebih dominan, dibanding sampah alamiah. Tersangkut di mana-mana. Banjir tersebut sekilas, bagi orang awam adalah peristiwa berbentuk “takdir dan musibah”. Namun bagi kaum kritis, tidaklah demikian. Pasca reformasi tersebut, menyisakan “kebrutalan”, baik yang ada di masyarakat, karena kebebasan tak terkendali, maka setiap individu berpotensi menggunakan kesempatan untuk berbuat semaunya.
Ibaratnya setelah terkungkung oleh rezim Orde Baru, di masa lalu. Ada kesempatan untuk menghancurkan apa saja yang pernah dibangun rezim tersebut. Termasuk “pembabatan hutan”, yang tak memiliki salah apa-apa, dalam sengketa politik. Hutan lindung di tanah Jawa, sebagai peninggalan kaum dinamisme yang pernah dipuja sebagai “roh kehidupan”, hancur lebur tak berbekas. Hutan kultural tersebut yang menyimpan kantong-kantong air menjadi gundul, karena jahilnya manusia moderen. Hal tersebut mengingatkan film nonfiksi, Avatar. Bagaimana dengan ganasnya manusia moderen, yang merasa punya “hak kemajuan” dengan seenaknya “merampas hak hidup luhur kultural ekosistem”.
Bakker: imanensi itu kekayaan pribadi manusia. Telah mengisi dinamika akal, karsa dan rasa. Oleh sebab itu kebenaran, keutamaan, keadilan, akhlak baik, sikap bakti, semangat sosial dapat menghaluskan, rasa indah dan cinta kasih.
Dipertontonkannya dendam yang mengatasnamakan kebebasan, seolah-olah merupakan kebenaran baru. Jika dipahami lebih seksama, munculnya dendam tersebut, adalah “hasil desain kelompok elit” yang berkuasa, bukan alasan lain. Bukti itu semakin mendekati fakta, setelah reformasi tersebut, apa yang diubah. Tidak ada kecuali “demokrasi anarkis”. Para elitis kekuasaan sibuk mengatur “kapling kuasa”, yang belum selesai hingga hari ini. Pesta pora kebebasan liar itu, tumbuh menjadi “kebenaran baru”. Model baru tersebut secara pelan-pelan (evolusi), menampakkan wujud aslinya. Yaitu menjadi dan membentuk, gerombolan-gerombolan baru yang permanen. Dengan kawinnya elit politik dan permainan kapital, telah menyeret-nyeret berbagai tatanan luhur, seperti agama, kesetaraan ekonomi semu, menuju kebebasan yang liar, brutal. Telah dihancurkan secara bersama-sama oleh “konsorsium” itu. Agar tidak begitu terlihat kecurangannya, dibungkuslah janji-janji surga dunia.
Spengler: kultur sebagai realisasi budi dan sivilisasi dapat membekukan serta memperbudak budi luhur.
Masyarakat yang sudah terombang-ambing oleh situasi itu, juga berdampak kepada cara hidup sesukanya. Terkait potret sosial baru, rajin buang sampah rumah tangga seenaknya di sungai. Berjuta-juta ton, sampah rumah tangga, hasil buatan pabrik memenuhi sungai. Residu pabrikan ini, “menjadi kuasa baru, di sungai yang dulu indah “. inilah hasil perilaku manusia moderen. Sedangkan para pabrik tidak mau tahu, setelah pasca produksi. Karena merasa itu bukan tanggung jawabnya.
Sistem regulasi, hanya menyarankan untuk sekadar, mengelola limbah dilingkungan pabriknya saja. Kejadian simultan ini, sangat diketahui dampak dan hasil produksi pabrikan. Oleh seluruh pemangku kebijakan. Seperti diketahui, lingkaran setan ini berefek serius bagi kelestarian lingkungan dan juga, hancurnya kesadaran masing-masing pihak. Terkoyak dan sengaja dinodai oleh semuanya, dengan masif, tak terkecuali. Memang di tengah masyarakat, perilaku tersebut sudah terbelah. Kaum moralis secara langsung berhadapan dengan kuasa materialistik. Dan secara evolusi, indikator perlawanan kaum moralis, akan tumbang, dan sudah jelas dengan berbagai alasan, akan dimenangkan oleh kaum materialistik.
Bakker: kebudayaan adalah alam kodrati milik manusia, sebagai ruang lingkung realisasi diri. Humanisasi progresif dari alam adalah wujud kebudayaan.
Tanda-tanda itu nyata, pada kehidupan masyarakat secara umum. Pendidikan semakin hari, semakin mahal. Walaupun sudah dibantu pemerintah dari SD hingga SMA. Tapi sekolah perguruan tinggi, masih sulit dijangkau. Terutama bagi masyarakat proletar, jika mau menyekolahkan anak-anak mereka. Jika tujuan luhur itu ingin dicapai, harus rela kehilangan kaming satu-satunya. Sedangkan sawah mereka sudah terjual, saat anak lainnya butuh biaya sekolah dan biaya hidup.
Intinya dari petani bergeser jad buruh tani. Sungguh memprihatinkan, lahan pertanian sudah berubah menjad perumahan. Alih fungsi lahan itu, terjadi di mana-mana karena desakan populasi yang tak terkendali. Sekali lagi, kemenangan berpihak kepada kapitalis. Hanya kaum kapital besar saja, yang mampu bertahan hidup dan mengubah hidupnya. Juga memiliki kemampuan menggerakkan hidup, sesuai kehendak dan selera kapitalis tersebut. Sedangkan nasib buruh tani, dipastikan “tergilas oleh zaman”. Saat fungsi pemerintah yang hanya memiliki kemampuan, tarik pajak dan menjadi distributor semata. Evolusi kehancuran tersebut, bukan lagi proses alamiah. Akan tetapi yang paling substansial, yakni kuasa, gaya hidup pola politisasi kehidupan. Seluruhnya mengarah kepada “pemujaan material secara berlebihan, hidup secara behaviorisme”. Tak ketinggalan ada manipulasi-manipulasi teknologi dalam kehidupan.
Perginya Sifat Kemanusiaan
Teknologi hadir dalam kehidupan manusia, telah memberikan kebebasan baru, tiada batas. Mulai dari informasi lokal, hingga dunia. Semua bisa didapatkan dalam waktu sekejap. Kapanpun pengguna membutuhkan. Di luar informasi tersebut juga bisa didapatkan berita-berita yang mencerdaskan, hingga yang provokatif, kebohongan, penipuan-penipuan, saling hujat antar sesama. Namun juga tak sedikit yang diuntungkan dari ruang jagad maya itu. Misalkan bisnis online, walaupun tak sepenuhnya dilakukan dengan jujur.
Kemudahan-kemudahan hubungan, jarak, hingga kecepatan untuk memenuhi kebutuhan berinteraksi dengan segala kepentingan, mudah didapatkan dengan bantuan “tuhan kecil”, ada dalam genggaman. Hampir semua orang, khususnya masyarakat yang sudah terkontaminasi kehidupan ke kota-kotaan, hingga anak kecil sampai dewasa memegang HP. Difungsikan bisa saja menjadi hiburan, atau permainan dengan varian tak terbatas juga. Dapat menumbuhkan sikap baik dan jahat, sulit dibedakan, tergantung pilihannya juga.
Mazab Skolastik: kodrat alam sebagai causa, matematik realis kebudayaan, dan cipta budi manusia. Dipandang sebagai suatu kesatuan subjek dan subjek kebudayaan, dipandang dengan tepat.
Hadirnya teknologi, menjadi warna baru dalam sendi kehidupan nyata, hingga yang absurd. Dimaksud kehidupan nyata adalah cara memberlakukan fungsi HP. Dapat dipetakan perilaku individu, yang tergabung dalam grup-grup orang dewasa. Saling kirim berita-berita atau konten-konten dari yang “mengumbar pornografi, pembunuhan karakter, diskriminasi ras, tampilan-tampilan politik banal, serta konten-konten yang melawan etik dan moral”. Berkeliaran, bertebaran dan jadi konsumsi “yang biasa”. Jika materi-materi itu sudah bosan, buat lelucon yang nggak lucu dan dapat berkecenderungan mengganggu, dan melecehkan fisik, serta psikologis, punya kecenderungan, menghancurkan ruang privat. Jika mentalnya kurang bagus, bisa menimbulkan kegaduhan dan berujung saling lapor, memasuki ranah hukum.
Grup-grup yang diciptakan akhirnya menjadi “petaka sosial”. Hampir di semua grup yang dibentuk tidak dengan “komitmen moralitas”, berpotensi terjadi benturan sosial. Kondisi tersebut secara langsung maupun tidak langsung, atau di bawah sadar, telah menguasai tata hubungan kehidupan. Beberapa kali, tampaknya beberapa grup telah mencoba membuat rambu-rambu. Akan tetapi “para penyusup”, selalu hadir untuk menggoda. Sehingga grup yang awalnya lurus menjad terkontaminasi, dan kacau.
Mazab Skolastik: eksteriorisasi manusia dapat menggunakan daya budi untuk menertibkan alam, sebagai penyebab hasil luarnya. Buah produk dari peristiwa benda fisik.
Lalu, di mana perginya nilai-nilai kemanusiaan yang selalu, didengungkan oleh homo sapiens. Tiba-tiba, kisah itu menjadi dongeng sebelum tidur, di mana moral dan etik pernah menjadi tonggak sejarah peradaban. Sirna begitu saja, tanpa bekas, rontok dan layu. Tak mampu lagi menghinoptis manusia kini, yang semakin liar, ganas, sulit dikendalikan. Fakta sejarah masa lalu, dengan diciptakan bom atom, dinamit dan aneka karya biologi, disamping untuk kemaslahatan manusia, juga diperuntukkan sebagai pengetahuan, dengan dedikasi kepentingan humaniora. Tujuannya agar kehidupan manusia tidak mengalami kesulitan dalam menjalani proses kehidupan mendatang.
Namun, kuasa-kuasa lain, memiliki agenda tersembunyi. Sebut saja segelintir kaum elitis manusia akan tetapi memiliki kuasa, dan kejahatan tak terbatas. Apa lewat politik regulasi, kapitalisasi, neoliberalisme bersandar pada kuasanya. Secara beruntun, tindakan tersebut telah banyak menghancurkan peradaban masa lalu, dengan “berbagai dalilnya”. Yang pasti, hadirnya teknologi “membuat keresahan baru”, tumbuh subur, serta berhasil menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Betapa tidak, kuasa hari ini sudah tidak lagi berada pada kepentingan negara bangsa. Akan tetapi terjadi pergeseran, bahwa kuasa individu, berhasrat mempengaruhi peradaban lingkungan, nilai-nilai adat, bahkan mengkerdilkan, makna hadirnya negara bangsa. Kejahatan tersebut menjadi semakin sempurna, jika negara bangsa tidak mampu hadir dalam kehidupan nyata. Alias lumpuh.
Bakker: kedudukan dalam kebudayaan bersifat sentral, bukan manusia sebagai orang, melainkan sebagai pribadi. Sehingga segala kegiatan diarahkan menjadi tujuan.
Perang! Itulah potensi yang akan terjadi. Pada posisi lain ledakan populasi, tidak saja tak terkendali. Akan tetapi dalam “resistensi hubungan sosial, tak dapat lagi dipertahankan, secara baik dan benar”. Dalam perjalanan absurd, sifat-sifat kemanusiaan, memang penuh dinamika, keras, jika tidak sadar dalam melihatnya, berpotensi terjadi kekacauan. Hadirnya teknologi, berbasis industri. Selalu mengatasnamakan kemajuan dan mengatasnamakan modernisasi buat kemanusiaan. Itu alasan klasik. Jika saja semua itu sengaja dihadirkan berujung, “pembantaian masal”, apa gunanya dalam ketertiban hidup bersama, jika tidak tercapai. Memang peradaban baru, sering kali tidak mampu mengikat “nilai-nilai kemanusiaan”. Karena terjadi mental-mental yang egosentris. Silang sengkarut kepentingan kuasa. Namun dengan bangga, perilaku para segelintir petinggi negara, mempertontonkan timbunan mayat masyarakat sipil, akibat perang. Dengan menggunakan spirit kebangsaan, dengan alasan, untuk melindungi negara bangsa, dari negara lain. Tipuan ini buat siapa? Sebab para pimpinan tersebut, apa itu partai politik, birokrasi belum mampu mengubah tradisi behaviornya.
Masyarakat selalu diseret-seret untuk memenuhi libido kuasanya, dengan rayuan kebenaran, ditabur penuh keindahan semu. Masyarakat dipaksa memahami kondisi sosial politik dangkal, dipaksa untuk mendukungnya. Jujur, jika ditanyakan, tidak akan ada masyarakat sipil yang mau perang. Kalau saja tidak diprovokasi, dengan jargon-jargon heroisme. Pertanyaannya adalah mampukah menghidupkan kembali keluarga yang meninggal akibat perang. Lalu apa tindak lanjut dari para pemimpin yang menganjurkan perang, konsekuensi logis apa, sebagai pertanggungjawabannya. Nyatanya tidak satupun keluarga yang mau dikorbankan dengan alasan apapun apalagi bersifat politis, menanggung resiko pribadi buat kepentingan yang sulit dipahami.
Bakker: manusia hidup berdasarkan daya kodrati, harus dikembangkan menjadi pembawa nilai terhadap orang lain. Setiap golongan sosial terikat batinnya, sehingga dapat menghayati dan mewujudkan golongan sosial.
Paradigma para pemimpin, tidak serta merta disimbolkan mewakili masyarakatnya, belum tentu. Territorial, kedaulatan, eksistensi, kemajuan teknologi, perlu diragukan jika semua itu menjadi “aksesoris kehidupan yang kacau”, serta menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan. Teknologi secara sistemik moral, selayaknya memperkuat nilai-nilai kemanusiaan. Dapat dikatakan segala macam jargon-jargon, atas nama kemanusiaan, telah membuat jarak, jika terus dipolitisasi. Oleh karenanya, segala macam kepentingan, permainan apapun, termasuk teknologi yang hari ini selalu dimuliakan. Kalau saja dipergunakan oleh “jiwa yang kosong”, serta niat baiknya telah musnah, maka tentu saja akan mewujudkan tindakan antagonis dan melawan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Bakker: dalil aliran sosiologisme menganggap bahwa kebudayaan manusia ditentukan oleh lingkungan dan kolektif “dicela”.
Tidak untuk menyalahkan peran manusia moderen, dalam berbagai produk peradaban, hanya saja model relasi sosial dan jiwa-jiwa kemanusiaan, masih belum menjadi konsep yang memiliki nilai holisik antar individu, kelompok bahkan negara bangsa. Maka dengan tidak memarjinalkan peran antagonis tersebut, masih ada peluang-peluang dalam menciptakan serangkaian konsep hidup yang dapat disatukan, tanpa pemaksaan, seperti kesadaran kolektif. Harapannya adalah mempertemukan jiwa, rasio dan materi secara berimbang. Kombinasi dan toleransi inilah, dimungkinkan akan tumbuh toleransi psikologis, serta mendamaikan ketiga simpul itu, tanpa hasrat ingin menguasai satu dengan yang lainnya.
Memang nilai-nilai kemanusiaan, tidaklah bersifat tunggal. Bukan saja menjadi milik privat. Akan tetapi juga terkait dengan manusia lain dan lingkungan, dalam arti lebih luas. Disadari apa tidak, nilai-nilai kemanusiaan, di luar faktor eksternal yang cenderung merongrong, mempolitisasi, jika saja tidak ada kesadaran dan konvensi, bisa saja menjadi boomerang, eksklusif, egosektoral tanpa keseimbangan akal budi, moral dan etika. Lalu buat apa kehadiran negara bangsa, sebagai simbol identitas sosial wilayah. (Tancep kayon, Bumiaji, 1 Januari 2023)