
OPINI
Sound Horeg, Ekspresi Budaya atau Masalah Sosial?
Oleh: Monica Anggraini-Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, Jurusan Administrasi Publik
Dalam beberapa bulan terakhir, fenomena sound horeg menjadi salah satu isu sosial yang paling ramai diperbincangkan di Jawa Timur. Istilah sound horeg merujuk pada praktik hiburan jalanan yang menggunakan sound system berkapasitas besar dengan volume suara sangat tinggi, kerap ditemui dalam arak-arakan, hajatan, hingga konvoi komunitas musik.
Di satu sisi, sound horeg dipandang sebagai bentuk ekspresi budaya populer, terutama di kalangan anak muda. Namun di sisi lain, praktik ini memicu pro dan kontra tajam di ruang publik. Kebisingan ekstrem yang ditimbulkan telah menimbulkan keresahan di berbagai daerah, mulai dari gangguan kenyamanan hidup, gangguan tidur, hingga potensi dampak kesehatan jangka panjang.
Kondisi tersebut memicu respons dari berbagai pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang mengeluarkan fatwa bahwa praktik sound horeg dapat dinyatakan haram apabila menimbulkan kebisingan ekstrem atau mengandung unsur yang bertentangan dengan norma agama dan sosial.
Merespons polemik tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Wakil Gubernur Emil Elestianto Dardak menyatakan tengah memformulasikan regulasi khusus untuk mengatur aktivitas sound horeg. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mencari titik temu antara hak berekspresi masyarakat dan kewajiban negara menjaga ketertiban umum serta melindungi warga terdampak.
Namun demikian, rencana regulasi tersebut menuai kritik. Sejumlah pengamat kebijakan publik menilai rancangan aturan belum sepenuhnya berbasis data empiris dan cenderung mengulang regulasi yang sudah ada tanpa menawarkan solusi operasional yang konkret. Tanpa pengawasan dan implementasi yang kuat, kebijakan dikhawatirkan tidak mampu meredam konflik sosial yang muncul.
Bagi mahasiswa Administrasi Publik, fenomena ini menjadi contoh nyata dinamika relasi antara negara dan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan. Pertanyaan mendasarnya adalah: bagaimana fenomena budaya populer dapat berubah menjadi persoalan publik yang kontradiktif? Dan sejauh mana kebijakan yang disusun mencerminkan tata kelola pemerintahan yang adil, efektif, dan responsif?
Akar Budaya dan Aspirasi Sosial
Sound horeg bukanlah fenomena yang muncul secara tiba-tiba. Ia tumbuh sebagai bagian dari budaya populer masyarakat Jawa Timur, khususnya di kalangan anak muda. Praktik ini mencerminkan aspirasi akan ekspresi diri, solidaritas komunitas, serta kreativitas dalam memanfaatkan teknologi audio modern.
Di banyak wilayah desa dan kawasan semi-urban, sound horeg menjadi ruang berkumpul dan sarana menegaskan identitas kolektif di luar budaya tradisional yang lebih formal. Namun, ekspresi ini kerap berbenturan dengan norma sosial dan nilai keagamaan setempat.
Bagi sebagian tokoh agama dan kelompok masyarakat konservatif, sound horeg tidak sekadar hiburan, melainkan praktik yang berpotensi merusak ketertiban sosial dan nilai moral. Dukungan MUI Jawa Timur terhadap fatwa haram sound horeg mencerminkan legitimasi moral dalam wacana publik terkait etika hiburan dan kebersihan sosial.
Kontradiksi pun tak terhindarkan. Budaya populer yang dinikmati sebagian masyarakat justru dipandang sebagai ancaman oleh kelompok lain. Konflik ini pada dasarnya bukan hanya soal kebisingan musik, tetapi juga pertarungan nilai antara ekspresi generasi muda dan norma sosial yang lebih mapan.
Respons Regulasi Pemerintah
Pemprov Jawa Timur berupaya mengambil peran sebagai mediator dengan menyusun regulasi khusus terkait sound horeg. Pemerintah ingin menyeimbangkan kepentingan pelaku hiburan dengan hak warga yang terdampak kebisingan.
Namun, kritik mengemuka karena rancangan regulasi dinilai belum sepenuhnya berbasis bukti ilmiah. Ambang batas desibel yang diatur dalam sejumlah kebijakan, misalnya, dianggap terlalu tinggi jika dibandingkan dengan standar kesehatan yang direkomendasikan para ahli. Selain itu, sebagian aturan dinilai hanya mempertegas regulasi lama tanpa menawarkan solusi baru yang aplikatif.
Kondisi ini mencerminkan problem klasik kebijakan publik: kesenjangan antara harapan masyarakat terhadap kebijakan yang efektif dan realitas implementasi di lapangan. Warga menginginkan kehadiran negara yang nyata, bukan sekadar aturan normatif di atas kertas.
Tantangan Implementasi Kebijakan
Tantangan utama dalam pengaturan sound horeg terletak pada implementasi. Regulasi yang baik harus disertai pengawasan yang konsisten, sumber daya yang memadai, serta koordinasi lintas lembaga. Tanpa itu, kebijakan berpotensi kehilangan daya guna.
Lebih dari itu, pemerintah perlu memahami bahwa sound horeg berkaitan erat dengan ruang publik sebagai arena ekspresi budaya. Pendekatan yang semata-mata represif tanpa dialog inklusif justru berisiko menurunkan legitimasi pemerintah, terutama di mata generasi muda.
Dalam perspektif administrasi publik, fenomena ini menegaskan bahwa kebijakan publik tidak hanya bersifat teknokratik, tetapi juga sarat dimensi sosial dan politik. Kebijakan yang berhasil bukan hanya sah secara hukum, tetapi juga diterima dan didukung masyarakat, serta berbasis pada data dan bukti yang kuat.
Fenomena sound horeg di Jawa Timur menunjukkan bagaimana praktik budaya populer dapat berkembang menjadi persoalan publik yang kompleks. Di satu sisi, ia merupakan ekspresi kolektif masyarakat akar rumput. Di sisi lain, dampak kebisingan, keresahan sosial, hingga persoalan kesehatan dan moralitas mendorong tuntutan akan intervensi negara.
Langkah Pemprov Jawa Timur dalam merumuskan regulasi patut diapresiasi sebagai upaya menyeimbangkan kepentingan yang saling bertentangan. Namun, kritik terhadap substansi dan kesiapan implementasi regulasi tersebut menjadi pengingat bahwa kebijakan publik harus disusun secara berbasis bukti dan realistis.
Penyelesaian persoalan sound horeg tidak dapat dilakukan melalui pendekatan larangan sepihak semata. Diperlukan kebijakan yang inklusif, membuka ruang dialog, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Dengan demikian, regulasi tidak hanya menjadi alat kontrol, tetapi juga instrumen menjaga harmoni sosial, menghormati ekspresi budaya, dan memastikan ketertiban umum secara berkelanjutan. (*)