[Opini]
Refleksi HUT ke-111 Kota Malang: Saatnya Mengganti Lambang dan Semboyan?
Oleh: Danny Agung Prasetyo (Anggota Komisi A DPRD Kota Malang)
Kota Malang telah ditetapkan sebagai kotapraja sejak 1 April 1914, yang kini diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Kota Malang. Sejak saat itu, lambang dan semboyan Pemerintah Kota Malang telah mengalami tiga kali perubahan. Perubahan pertama terjadi pada tahun 1937 di era kepemimpinan Wali Kota J.H. Boerstra, dengan lambang bergaya VOC yang menampilkan stilasi singa serta semboyan dalam bahasa Latin: Malang Nominor Sursum Moveor (Malang Kotaku, Maju Tujuanku).
Pasca-kemerdekaan, lambang dan semboyan mengalami perubahan. Lambang bergaya burung Garuda menggantikan stilasi singa, sementara semboyannya diadaptasi menjadi bahasa Indonesia: Malang Namaku, Maju Tujuanku. Pada tahun 1964, tepat pada HUT ke-50 Kota Malang, semboyan kembali diubah menjadi Malang Kucecwara, yang berarti “Tuhan Menghancurkan yang Bathil, Menegakkan yang Benar.” Usulan ini diajukan oleh Prof. Raden Ngabehi Poerbatjaraka. Lambang yang digunakan saat ini, dengan perisai bersudut lima, ditetapkan pada 14 Juli 1970 berdasarkan keputusan DPR-GR.
Namun, makna Malang Kucecwara mulai dipertanyakan sejak ditemukannya Prasasti Ukirnegara pada tahun 1974. Sejumlah akademisi, seperti Dwi Cahyono, arkeolog dan dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Malang, berpendapat bahwa makna asli Malangkucecwara lebih tepat diartikan sebagai “bangunan suci pemujaan Dewa Siwa,” bukan sekadar semboyan moral tentang kehancuran kebathilan.
Sejarah mencatat bahwa istilah Malangkucecwara juga ditemukan dalam berbagai prasasti, seperti Prasasti Tembaga Kedu dan inskripsi di kompleks Candi Prambanan, bahkan di luar Indonesia, seperti di Kamboja dan negara-negara Asia lainnya. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah Malang Kucecwara benar-benar mencerminkan identitas dan cita-cita Kota Malang?
Jika kata Mala dalam Malangkucecwara diartikan sebagai “kebathilan” atau “penyakit”, maka korupsi adalah salah satu kebathilan terbesar yang harus diberantas. Korupsi tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga merusak sistem, menghancurkan lingkungan, serta mengancam kesejahteraan generasi mendatang. Oleh karena itu, momentum HUT ke-111 Kota Malang bisa menjadi titik refleksi untuk melawan dan menghapus praktik korupsi dari Kota Malang, bahkan dari seluruh Indonesia.
Dalam budaya Jawa, perubahan lambang dan semboyan bukan sekadar formalitas administratif, melainkan sebuah doa dan harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Ini adalah wujud kesadaran kolektif untuk kembali ke nilai-nilai kesucian, kejujuran, dan ketulusan dalam membangun daerah.
HUT ke-111 Kota Malang tahun ini menjadi lebih istimewa karena bertepatan dengan perayaan Idulfitri 1446 H. Semangat Idulfitri adalah kembali kepada kesucian. Semoga ini juga menjadi momentum bagi Kota Malang untuk kembali suci dari segala bentuk kebathilan, termasuk korupsi. Inilah saatnya membangun kota yang lebih adil, bersih, dan berintegritas. Wis wayahe wong tulus tampil!.