
OPINI
Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Berkelanjutan dan Inklusif, Studi Kontradiksi di Banyuwangi
Oleh: Aliefia Nur Ocktaviani – Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Administrasi Publik, Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi
Kebijakan fiskal merupakan instrumen utama pemerintah dalam mengelola perekonomian melalui pengaturan pendapatan dan belanja negara maupun daerah. Dalam konteks pembangunan modern, kebijakan fiskal tidak lagi semata-mata diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dituntut untuk mampu mendorong pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif. Artinya, kebijakan fiskal harus memperhatikan keseimbangan antara aspek ekonomi, keadilan sosial, serta kelestarian lingkungan, sejalan dengan prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Pada tingkat daerah, implementasi kebijakan fiskal menghadapi tantangan yang lebih kompleks akibat otonomi daerah. Pemerintah daerah memiliki kewenangan mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sesuai potensi lokal. Namun, kewenangan tersebut kerap memunculkan dilema antara kebutuhan peningkatan pendapatan daerah, target pertumbuhan ekonomi jangka pendek, dan komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan serta pemerataan kesejahteraan.
Kabupaten Banyuwangi sering dipersepsikan sebagai daerah yang berhasil dalam inovasi pembangunan. Kemajuan sektor pariwisata, pertanian, dan ekonomi kreatif telah mendorong peningkatan pendapatan daerah. Meski demikian, di balik capaian tersebut terdapat sejumlah kontradiksi kebijakan fiskal yang patut dikaji lebih kritis, khususnya terkait aspek keberlanjutan lingkungan dan inklusivitas sosial.
Arah Kebijakan Fiskal Daerah Banyuwangi
Kebijakan fiskal Banyuwangi tercermin dalam struktur APBD yang mengalokasikan belanja pada sektor infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, serta pengembangan sektor unggulan seperti pariwisata dan pertanian. Secara normatif, arah kebijakan ini telah mencerminkan upaya mendorong kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi daerah.
Namun dalam praktiknya, dorongan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sering kali membuat pemerintah daerah lebih memprioritaskan sektor-sektor yang cepat menghasilkan pemasukan. Pariwisata massal dan pemanfaatan sumber daya alam menjadi pilihan utama. Di sinilah muncul kontradiksi antara kebutuhan fiskal jangka pendek dan tuntutan menjaga keberlanjutan lingkungan dalam jangka panjang.

Pertumbuhan Ekonomi versus Keberlanjutan Lingkungan
Kontradiksi paling menonjol terlihat dalam pengembangan sektor pariwisata. Berbagai kebijakan fiskal diarahkan untuk pembangunan infrastruktur wisata, promosi destinasi, dan penyelenggaraan event budaya. Secara ekonomi, langkah ini efektif menarik wisatawan, membuka lapangan kerja, dan memperluas basis pajak daerah.
Namun, pertumbuhan pariwisata yang pesat juga membawa tekanan besar terhadap ekosistem lokal, seperti pantai, kawasan hutan, dan sumber daya air. Ironisnya, alokasi anggaran untuk konservasi lingkungan dan mitigasi dampak ekologis sering kali lebih kecil dibandingkan anggaran promosi dan pembangunan fisik. Kondisi ini menunjukkan bahwa aspek lingkungan masih diposisikan sebagai pelengkap, bukan sebagai fondasi utama pembangunan.
Inklusivitas dan Ketimpangan Sosial
Pembangunan inklusif menuntut agar manfaat pembangunan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk petani kecil, nelayan, UMKM, perempuan, dan kelompok rentan lainnya. Banyuwangi telah meluncurkan berbagai program fiskal untuk mendukung ekonomi desa dan UMKM. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa akses terhadap program-program tersebut belum sepenuhnya merata.
Kelompok masyarakat yang memiliki kapasitas administratif dan jaringan cenderung lebih mudah mengakses bantuan dan insentif fiskal. Sebaliknya, masyarakat di wilayah terpencil atau dengan literasi keuangan rendah sering kali tertinggal. Hal ini menimbulkan kontradiksi antara tujuan inklusivitas kebijakan fiskal dan hasil yang masih bersifat eksklusif.
Ketimpangan Antarwilayah dalam Alokasi Anggaran
Kontradiksi lain terlihat dalam distribusi anggaran antarwilayah. Demi efisiensi dan dampak ekonomi yang cepat, anggaran kerap difokuskan pada wilayah dengan potensi ekonomi tinggi. Akibatnya, desa-desa terpencil dan wilayah pinggiran memperoleh porsi anggaran yang relatif lebih kecil.
Dari perspektif ekonomi, strategi ini dinilai rasional. Namun dari sudut pandang keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan, pola tersebut berisiko memperlebar kesenjangan wilayah, memicu urbanisasi berlebihan, serta memperburuk ketimpangan akses terhadap layanan publik.
Analisis Kritis Kebijakan Fiskal
Berbagai kontradiksi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan fiskal Banyuwangi masih berada di persimpangan antara kepentingan ekonomi jangka pendek dan tujuan pembangunan berkelanjutan jangka panjang. Dalam perspektif administrasi publik, kondisi ini mencerminkan tantangan tata kelola fiskal yang belum sepenuhnya terintegrasi dengan kebijakan sosial, lingkungan, dan tata ruang.
Tanpa integrasi kebijakan yang komprehensif, kebijakan fiskal berpotensi menciptakan paradoks pembangunan: pertumbuhan ekonomi terlihat impresif secara statistik, namun menyisakan ketimpangan sosial dan degradasi lingkungan di lapangan.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kebijakan fiskal di Kabupaten Banyuwangi mencerminkan keberhasilan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan daerah, sekaligus menampilkan kontradiksi serius terkait keberlanjutan lingkungan dan inklusivitas sosial. Fokus pada optimalisasi PAD dan sektor unggulan kerap berbenturan dengan prinsip pemerataan dan perlindungan lingkungan.
Keberhasilan kebijakan fiskal seharusnya tidak hanya diukur dari besarnya pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari kemampuannya menciptakan keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu mengarahkan kebijakan fiskal pada investasi jangka panjang, seperti penguatan perlindungan lingkungan, peningkatan kapasitas kelompok rentan, serta pemerataan pembangunan antarwilayah.
Dengan pendekatan tersebut, kebijakan fiskal tidak hanya berfungsi sebagai alat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga sebagai instrumen strategis untuk mewujudkan pembangunan yang benar-benar berkelanjutan dan inklusif. (*)