JAVASATU.COM- Musim kemarau memicu krisis air di dua desa di Kabupaten Malang, yakni Desa Sitiarjo dan Desa Kedungbanteng. Selain kekurangan air bersih, ratusan hektare sawah warga kini terancam gagal panen akibat menurunnya debit air dari sumber utama pengairan.

Di Desa Sitiarjo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, sekitar 100 kepala keluarga di RT 30, 32, 35, dan 57 Dusun Krajan Kulon mulai kesulitan mendapatkan air bersih. Kepala Desa Sitiarjo, Mamiek Misniati, menyebut kondisi belum tergolong darurat, namun debit air yang terus menurun bisa memicu krisis jika hujan tak kunjung turun.
“Saat ini tandon dan beberapa sumur masih berfungsi, tapi debit mata air mengecil. Kalau satu bulan ke depan belum hujan, warga akan sangat kesulitan air,” ujar Mamiek, Rabu (31/7/2019).
Kekeringan juga mengancam 310 hektare areal persawahan di desa tersebut, terdiri dari 150 hektare di Dusun Krajan Kulon dan 160 hektare di Krajan Wetan. Penurunan debit Sungai Mbambang, yang menjadi andalan pengairan, menjadi penyebab utama.
“Kami khawatir gagal panen, walaupun kami berharap masih ada hasil meski tidak maksimal,” tambahnya.

Sekretaris Desa Sitiarjo, Dwi Pudjo, mengatakan sawah di Krajan Wetan masih terbantu sumur bor, namun distribusi air menggunakan pompa diesel tetap tidak mencukupi kebutuhan secara optimal.
“Pompa bisa mengalirkan air, tapi saat kemarau hasilnya jauh dari cukup,” katanya.
Pemerintah Desa pun telah mengirim surat ke Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air Kabupaten Malang dan Provinsi Jawa Timur agar segera memperbaiki Bendungan Kedungmas peninggalan Belanda yang selama ini menjadi andalan irigasi.
“Jika bendungan ini dibangun ulang, seluruh areal persawahan bisa terairi dengan baik,” tegas Dwi.
Desa Kedungbanteng Juga Kekeringan
Kondisi serupa juga terjadi di Desa Kedungbanteng, Kecamatan Sumbermanjing Wetan. Kepala Desa Suwarno melaporkan bahwa 1.200 kepala keluarga dari delapan RT mengalami kekurangan air bersih.
“Krisis air terjadi setiap tahun. Tahun ini dirasakan oleh warga di RT 10, 11, 15, 18, 30, 31, dan 37,” jelas Suwarno.
Untuk memenuhi kebutuhan harian, warga terpaksa membeli air tandon 1.000 liter seharga Rp 40 ribu, yang hanya cukup untuk 4–5 hari.
Suwarno mengaku telah melakukan survei lokasi untuk membangun embung penampungan air, namun hingga kini belum menemukan lokasi yang layak.
“Kami sudah survei beberapa titik, tapi belum ada lokasi yang memungkinkan,” ujarnya.

Warga pun harus berjuang sendiri. Seperti Nuli, warga RT 12 RW 03, yang terpaksa menyedot air sungai menggunakan diesel agar sawahnya tetap terairi.
“Sumur bor kelompok tani ada, tapi belum cukup. Harapannya, meski kemarau, panen tetap bisa nutupi biaya,” kata Nuli.
Dengan kondisi kemarau yang terus berlanjut, warga berharap pemerintah daerah segera turun tangan lebih serius agar krisis air ini tak berubah menjadi bencana gagal panen massal. (Jos/Jup)