JAVASATU.COM- Penutupan (closing ceremony) Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) IX Jawa Timur 2025 di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang, menuai sorotan tajam dari peserta dan warganet. Bukan soal pertandingan, melainkan carut-marutnya koordinasi panitia saat pergelaran.

Keluhan bermunculan di media sosial, menyuarakan buruknya manajemen waktu, minimnya logistik, dan komunikasi panitia yang dinilai amburadul.
Salah satu sorotan tajam datang dari akun @cindiigrizzellaa, yang mengungkap anak-anak peserta tari kolosal harus bersiap sejak pukul 16.00 WIB, tapi baru tampil pukul 20.00 WIB tanpa makanan dan minuman.
“Kalau mereka kehausan, jangan cuma ditawari, langsung disodorkan minum,” tulisnya di akun IG @malangraya_info, dikutip Senin (7/72025).
Akun tersebut juga menyoroti buruknya perencanaan. Informasi latihan dan gladi resik baru dibagikan dua hari sebelum tampil, bahkan durasi musik belum pasti.
“Anak-anak dipaksa hafal dalam waktu singkat, guru pembina juga kesulitan karena jarak rumah dan sekolah,” lanjutnya.
Netizen lain ikut melontarkan kritik. “Wah parah sih, panitia harus tanggung jawab,” tulis @ikromzzzzzt.
Komentar senada datang dari @frista5900, “Sudah saya duga dari awal, semuanya instan dan maksa.”
Soal waktu ibadah pun ikut dipersoalkan. Akun @sifak_al menyesalkan ribuan anak tak diberi kesempatan salat.
“Acara ini membuat 3.000 anak meninggalkan kewajibannya,” tulisnya.
Sorotan juga mengarah ke pencahayaan yang dianggap buruk. “Lighting-nya peteng payah,” ujar @steven_1love.
Sementara @chusdianasari mengaku sempat tak percaya dengan gelapnya panggung saat menyaksikan ulang tayangan video. “Tarian dan kolosal bagus padahal, tapi lighting kurang. Tangga panggung pun baru dipasang saat acara sudah berjalan.”
Cerita lain datang dari @deviewidya713 yang menyebut ada anak-anak SD kelas 2 berlari ke belakang panggung dalam kondisi kelelahan, tetap dipaksa tampil di tengah kerumunan.
Di tengah gelombang kritik, ada juga suara positif dari @sismalaharningtyas yang mengapresiasi pelestarian budaya melalui tari topeng dalam pembukaan Porprov.
“Ini baru keren. Melestarikan budaya Indonesia. Bukan sound horeg yang dilestarikan,” tulisnya.
Namun secara umum, suara warganet menunjukkan kekecewaan mendalam terhadap manajemen acara. Banyak yang menilai panitia lebih fokus pada kemegahan panggung dibandingkan kenyamanan dan keamanan peserta, yang sebagian besar adalah pelajar.
Evaluasi mendalam dibutuhkan. Porprov sebagai ajang prestisius tak semestinya jadi beban fisik dan mental bagi anak-anak. Ajang besar seharusnya digelar matang dari dalam, bukan hanya gemerlap di luar. (Saf)