JAVASATU.COM- Upaya melestarikan kesenian tradisi kembali dilakukan lewat pementasan tari klasik bertajuk “Langen Mataya Bedhayan Gandrungmanis” di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Minggu (26/10/2025). Pertunjukan ini menjadi momentum penting dalam revitalisasi dan penggalian kembali tari Jawa klasik gaya Surakarta yang hampir punah.

Pementasan tersebut merupakan hasil riset disertasi kandidat doktor Ilmu Susastra Universitas Indonesia, Naufal Anggito Yudhistira, yang meneliti dan menghidupkan kembali Bedhaya Gandrungmanis karya Pakubuwana VIII.
Melibatkan para penari muda Jakarta dan pengrawit UKM Karawitan Sekar Widya Makara UI, pertunjukan eksperimental ini mendapat apresiasi tinggi dari akademisi, pemerhati budaya, dan penikmat seni.
“Pementasan ini bagian dari riset lapangan dan wujud nyata pelestarian tari klasik gaya Surakarta yang telah hilang,” kata Naufal Anggito di Jakarta, Senin (27/10/2025).
Proses Panjang Rekonstruksi Tari yang Hilang
Proses penggalian dimulai dari penelitian terhadap naskah Serat Sindhen Gendhing Badhaya Sarimpi karya GPH Prabuwinata, putra Pakubuwana IX, yang disimpan di Perpustakaan UI. Naufal memadukan enam naskah berbeda dari Keraton Surakarta, Pura Mangkunegaran, dan koleksi UI.
Selain meneliti teks, Naufal juga berdialog dengan para maestro tari Jawa gaya Surakarta di Jakarta seperti Karsono H. Saputra, Ely D. Luthan, dan KP Sulistyo Tirtokusumo. Ia bahkan melakukan ziarah budaya ke Pantai Parangkusuma dan makam RNg Ranggawarsita sebelum tahap pra-penggarapan dimulai.
Selama satu bulan di Surakarta, Naufal menggali informasi dari para tokoh budaya seperti Rudy Wiratama, Suraji, GKR Wandansari Koes Moertiyah, dan Sri Setyoasih. Setelahnya, latihan intensif dilakukan selama enam bulan dengan bimbingan Ely D. Luthan.
“Tari Bedhaya menuntut bukan hanya hafalan gerak, tapi juga penghayatan batin dan penyerahan diri kepada Tuhan,” ujar Naufal.
Tantangan Musik dan Kolaborasi Anak Muda
Dari sisi musik, pementasan ini melibatkan para pengrawit muda berusia 18–25 tahun yang bukan berasal dari lingkungan keraton. Mereka menghadapi tantangan besar menjaga stamina vokal selama 40 menit penuh.
“Menjaga kekuatan suara dan penghayatan selama iringan menjadi tantangan tersendiri,” ujar Naufal yang juga penari dan penulis sastra Jawa tradisi.
Proses musikal turut dibimbing oleh Ngatiman, salah satu pemusik senior di Jakarta.
Sinergi Seni dan Literasi
Pementasan “Langen Mataya Bedhayan Gandrungmanis” juga menjadi bukti kolaborasi antara dunia seni pertunjukan dan dunia literasi. Acara yang dibuka oleh perwakilan Kepala Perpustakaan Nasional Prof. Dr. H. Endang Aminuddin Azis, MA ini dihadiri akademisi UI, pegiat budaya, dan komunitas seni.

Pertunjukan berjalan lancar dan mendapat sambutan positif dari penonton.
Dalam sesi bedah karya, promotor, co-promotor, dan maestro tari Bedhaya turut memberi apresiasi terhadap hasil penelitian Naufal.
“Kesuksesan ini berkat dukungan banyak pihak, mulai pelatih, penari, pemusik, panitia, dan para pemerhati budaya,” pungkasnya. (Lasman Simanjuntak/nuh)