Wacana amandemen terbatas UUD NRI 1945 untuk menghadirkan GBHN model baru atau PPHN yang digulirkan MPR sejak tahun 2014 lalu terus menuai pro-kontra di tengah masyarakat. Terdapat dua kutub pendapat dan sikap masyarakat terkait hal tersebut, pertama kelompok masyarakat yang setuju dan kedua, kelompok masyarakat yang tidak setuju bangsa Indonesia kembali memiliki haluan negara dan haluan pembangunan nasionalnya dengan berbagai argumentasi dan kepentingan yang melatarbelakanginya.
Mereka yang setuju menganggap bahwa negara Indonesia yang sangat besar dan banyak penduduknya ini tidak bisa rencana pembangunan nasionalnya hanya diserahkan kepada basis Visi, Misi dan Program perseorangan Calon Presiden (Capres) yang ketika Sang Capres tersebut menang dalam pemilu presiden, Visi, Misi dan Program Capres tersebut dirubah menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) selama lima tahun ke depan. Walhasil, setiap ganti Presiden, dan juga ganti Kepala Daerah, Visi, Misi dan Program pembangunan nasional dan daerah akan berganti pula program dan kebijakan pembangunannya. Situasi tersebut menimbulkan ketidakpastian arah pembangunan nasional, dis-continuitas pembangunan dan sering terjadi mis-koordinasi antara konsep serta pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat dan daerah.
Sementara mereka yang tidak setuju mengaggap bahwa konsep pembangunan nasional yang sudah ada sekarang beradasarkan UU Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN) dianggap sudah cukup baik dan tidak perlu dirubah lagi melalui amandemen UUD. Perdebatan antara kedua kutub pemikiran dan sikap politik seperti itu terus berlanjut hingga saat ini. Tentu ada banyak hal yang harus terus di dalami secara bijak dari pro dan kontra pendapat masyarakat tersebut. Tetapi suatu hal yang pasti, bangsa Indonesia harus segera mencari solusi yang komprehensif dan bijak agar situasi pembangunan nasional yang cenderung tanpa arah dan tujuan yang pasti seperti ini tidak terus berlanjut.
Pokok-pokok pikiran seperti itulah yang saat ini tengah di dalami oleh MPR RI melalui Badan Pengkajian Ketatanegaraan MPR RI dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat dan perguruan tinggi sejak tahun 2014 lalu hingga saat ini.
Di tengah pro kontra masyarakat terhadap wacana amandemen terbatas UUD untuk menghadirkan GBHN model baru atau PPHN tersebut, tiba-tiba muncul berbagai isu di tengah masyarakat, antara lain ada yang mengatakan bahwa MPR akan merubah pasal 7 UUD NRI 1945 tentang masa jabatan presiden dari maksimal dua periode menjadi tiga periode. Bahkan ada yang mengatakan bahwa masa jabatan Presiden Jokowi akan diperpanjang sekitar dua atau tiga tahun lagi. Situasi inilah yang dalam beberapa hari terakhir ini menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat kita.
Tentu kita bisa membaca munculnya gagasan-gagasan tersebut sebagai suatu dinamika yang wajar dalam sebuah negara demokrasi seperti di negara kita. Akan tetapi kita juga patut mewaspadainya sebagai suatu upaya yang sistematis untuk menggagalkan wacana dan rencana MPR untuk menghadirkan kembali GBHN model baru atau PPHN melalui amandemen terbatas UUD NRI 1945. Atau memang bisa jadi ada upaya beberapa pihak yang ingin memanfaatkan momentum amandemen UUD NRI 1945 dengan mendorong perubahan pada pasal-pasal lain yang mereka inginkan di luar amandemen terbatas UUD NRI 1945 khusus pasal yang mengatur tentang kewenangan MPR untuk dapat menetapkan kembali GBHN model baru atau PPHN.
Lalu bagaimana MPR seharusnya mengambil sikap atas rencananya mengamandemen UUD untuk hadirkan GBHN model baru atau PPHN dalam situasi bangsa yang seperti itu?
Tentu kita meyakini bahwa cara mengubah UUD di MPR berbeda dengan cara membuat atau merevisi Undang-Undang di DPR. Bukan hanya pada prosedur dan mekanisme pembentukan hukumnya saja, akan tetapi untuk merubah UUD selain harus memenuhi syarat formil yang diatur dalam Pasal 37 UUD NRI 1945 dan aturan turunannya, juga diperlukan prasyarat situasi nasional bangsa Indonesia yang kondusif, baik secara politik maupun kondisi psikologis dan sosial kemasyarakatan kita.
Bangsa Indonesia pernah beberapa kali melakukan perubahan konstitusinya sejak awal kemerdekaan dulu, yakni merubah UUD Tahun 1945 menjadi UUD RIS 1949, merubahnya lagi dengan UUD Sementara 1950 dan kembali ke UUD Tahun 1945 pada tahun 1959. Perubahan UUD Tahun 1945 dilanjutkan lagi tahun 1999-2002 dan menghasilkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada saat terjadinya perubahan UUD tahun 1999-2002 yang lalu, MPR merubah hampir semua pasal dalam UUD Tahun 1945 karena pada saat itu belum ada pasal 37 UUD NRI 1945 yang mengatur cara perubahan UUD secara rinci dan rigit. Sehingga saat ini jika akan dilakukan perubahan UUD NRI 1945 tidak bisa lagi dilakukan secara serampangan dan bersifat meluas terhadap pasal-pasal yang tidak diusulkan perubahannya oleh sepertiga jumlah anggota MPR yang mengusulkan perubahan UUD tersebut.
Namun, sekalipun pasal 37 UUD NRI 1945 dan aturan di bawahnya memberi batasan yang rigit dan rinci atas usul perubahan pasal-pasal dalam UUD tersebut, tetap saja hal itu menimbulkan kekhawatiran politik akan terjadi usulan perubahan pada pasal-pasal yang lainnya. Oleh karena itu, diperlukan prasyarat lain sebelum dilakukan perubahan UUD tersebut yaitu adanya kesepakatan nasional bangsa Indonesia melalui kesepakatan para Ketua Umum atau Pimpinan Partai Politik yang punya perwakilan di MPR serta unsur DPD RI di MPR terhadap kesepakatan pasal-pasal yang akan diubah dalam amandemen UUD yang akan dilaksanakan. Kesepakatan Ketua Umum atau Pimpinan Partai Politik dan DPD RI tersebut juga memerlukan dukungan luas dari pimpinan lembaga-lembaga negara lainnya serta dari sebagian besar elemen bangsa Indonesia lainnya.
Tanpa adanya kesepakatan nasional seperti itu, wacana dan rencana amandemen terbatas UUD NRI 1945 untuk menghadirkan GBHN model baru atau PPHN niscaya akan terus mengundang kecurigaan tak berkesudahan yang kontra produktif di tengah bangsa kita.
Di sisi lain, saat ini bangsa Indonesia dan pemerintahan Presiden Joko Widodo tengah berjuang untuk menyelamatkan nyawa dan kesehatan rakyat akibat serbuan pandemi Covid 19 beserta ekses sosial ekonomi yang ditimbulkannya. Perjuangan mengatasi pandemi global Covid 19 itu juga memerlukan energi bangsa yang tidak sedikit, di samping itu juga memerlukan sikap kegotong royongan seluruh elemen bangsa karena mengatasi Covid 19 ini tidak bisa diselesaikan dengan cara perseorangan atau kelompok tertentu saja.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, maka saat ini bukanlah momentum yang tepat bagi MPR untuk melakukan amandemen UUD. MPR perlu untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah dan elemen bangsa lainnya berjuang menjalankan tugas dan kewajibannya melindungi bangsa dan rakyatnya dari bahaya virus mematikan Covid 19 ini. MPR juga perlu terus mendorong terciptanya suasana kebangsaan yang kondusif dan tidak lelah untuk terus berdialektika menyamakan persepsi bangsa akan pentingnya bangsa yang besar ini kembali memiliki GBHN model baru atau PPHN melalui jalan amandemen terbatas UUD NRI 1945. Jika semua prasyarat formil dan non-formil tersebut sudah terpenuhi, maka di situlah momentum yang tepat bagi MPR melakukan langkah formil kenegaraan amandemen terbatas UUD NRI 1945 untuk menghadirkan kembali haluan negara dan haluan pembangunan nasional bangsa Indonesia demi kesinambungan dan kepastian masa depan bangsa dan negara Indonesia Raya tercinta. (*)