
OPINI
Malang…TERKENANG, Malang…TERGENANG?
Oleh: Haris Wibisono – Arsitek, Urban Designer
Menelusuri penyebab banjir di Kota Malang bukan perkara sederhana. Permasalahan ini sangat kompleks dan tidak bisa hanya dikaitkan dengan sampah. Banjir yang terjadi memiliki hubungan erat dengan perubahan iklim global, curah hujan, dan sifat hujan yang meningkat dari tahun ke tahun, sebagaimana tercatat dalam data BMKG. Perubahan iklim bukanlah dongeng, dampaknya nyata dan faktual.
Dalam konteks studi perkotaan, dua bidang ilmu penting, yakni perencanaan kota (urban planning) dan perancangan kota (urban designing), harus diterapkan secara holistik. Meski memiliki lingkup berbeda, keduanya wajib berjalan sinergis untuk menciptakan kota yang berketahanan.
Berikut beberapa faktor penyebab banjir di Kota Malang:
1. Dampak Pembangunan yang Mengubah Tata Ruang dan Fungsi Lahan
Pembangunan yang tidak terkendali mengubah struktur ruang kota. Kawasan pertanian beralih menjadi perumahan atau bangunan gedung, sehingga tanah resapan berubah menjadi permukaan kedap air. Sungai irigasi kemudian menanggung aliran drainase dari kawasan terbangun. Penyempitan sungai akibat bangunan yang melanggar batas sempadan hingga penutupan sungai dengan bangunan ilegal memperparah kondisi.
Di kawasan hulu, seperti Kota Batu, hulu Sungai Brantas, perubahan hutan menjadi perkebunan sayur dan pertanian juga berdampak besar. Lereng bukit yang ditanami sayuran tidak mampu menahan air hujan. Aliran air langsung mengalir ke sungai dalam volume besar, memicu banjir dan longsor. Beberapa studi menyebut kebun sayur di lereng bukit sebagai kontributor banjir dan longsor.
2. Perubahan Iklim dan Peningkatan Curah Hujan
Data BMKG menunjukkan bahwa sifat hujan di Malang pada tahun 2025 meningkat 115-150 persen. Artinya, curah hujan berada jauh di atas normal dan memberi kontribusi signifikan pada banjir. Ini menjadi bukti bahwa banjir di kota tidak bisa dilepaskan dari faktor atmosfer yang menurunkan intensitas hujan lebih tinggi.
3. Sampah di Saluran dan Sungai
Sampah memang ikut menyumbang banjir, tetapi jelas bukan satu-satunya penyebab. Dua faktor besar sebelumnya, yakni, perubahan tata ruang dan peningkatan curah hujan, memiliki pengaruh lebih dominan.
4. Permukiman di Cekungan Topografi
Banyak kawasan padat penduduk di Kota Malang berdiri pada kontur tanah cekung. Secara alami, wilayah cekungan menjadi penadah air dan lebih mudah tergenang. Ketika hujan intens, wilayah semacam ini hampir pasti terdampak.
5. Irigasi Berubah Menjadi Drainase
Saluran air peninggalan Belanda yang semula berfungsi sebagai irigasi pertanian kini berubah menjadi drainase kota yang menampung limpasan dari kawasan terbangun. Ini menjadi faktor dominan penyebab banjir.
Selain itu, saluran air di tepi jalan yang konstruksinya buruk dan minim gril sudetan membuat air tidak cepat mengalir, sehingga menimbulkan genangan.
Dampak Hulu-Hilir: Malang dan Batu Saling Terhubung
Banjir di Kota Malang tidak bisa dilepaskan dari kondisi Kota Batu sebagai hulu Sungai Brantas. Jika tata ruang Batu rusak, maka Malang akan menerima dampak lebih buruk. Sungai Brantas mengalir dari Batu menuju Malang dan bercabang menjadi sungai-sungai irigasi yang masuk ke beberapa kawasan kota. Ketika sifat hujan sudah di atas normal, pembangunan kota juga tidak lagi bisa dilakukan dengan cara-cara normal.
Bahkan saluran yang sudah dihitung kapasitasnya masih kerap jebol, apalagi pembangunan kota yang tidak mempertimbangkan sistem drainase sama sekali.
Karena itu, dalam advise planning yang kini dikenal sebagai KKPR, setiap kavling diwajibkan memiliki sumur resapan air hujan, berbeda dari sumur resapan septictank, untuk mengurangi limpasan dan memberi kesempatan air meresap ke tanah.
Kembali ke Prioritas: Inovasi atau Sekadar Beautifikasi?
Akhirnya, semua kembali pada prioritas pembangunan kota:
Apakah Kota Malang ingin terjebak pada pembangunan beautifikasi visual, atau fokus pada pembangunan substansial yang menyelesaikan masalah perkotaan?
Padahal, salah satu parameter kota metropolitan adalah inovasi teknologi dalam infrastruktur perkotaan. Ketahanan kota (urban resilience) akan terus diuji, terutama di era perubahan iklim.
Air hujan memang turun dari langit. Namun, sungai yang meluap adalah kejujuran air, bahwa ia tidak memiliki jalur alir yang layak. (*)