
OPINI
Pahlawan Dulu Melawan Penjajahan, Pahlawan Kini Melawan Keadaan
Oleh: Imam S.A.R – Pemerhati Pendidikan
Kata “pahlawan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran” atau “pejuang yang gagah berani.” Istilah ini juga merujuk pada seseorang yang berjasa bagi bangsa dan negara dengan rela mengorbankan waktu, tenaga, bahkan nyawa demi kepentingan masyarakat luas.
Para pahlawan kemerdekaan dahulu tidak pernah memikirkan gaji atau tunjangan dalam melawan penjajah. Mereka rela berpisah dari keluarga, bahkan mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan Republik Indonesia. Semangat juang dan keberanian mereka menjadi bara api yang menyala untuk menegakkan harga diri bangsa.
Makna Peringatan Hari Pahlawan
Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025 yang mengangkat tema “Pahlawanku Teladanku, Terus Bergerak Melanjutkan Perjuangan” seharusnya tidak hanya menjadi seremonial tahunan. Lebih dari itu, momentum ini mesti menjadi bahan introspeksi bagi generasi penerus dalam mengisi kemerdekaan di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks.
Semangat kepahlawanan lahir dari peristiwa heroik 10 November 1945 di Surabaya. Saat itu, arek-arek Suroboyo dengan keberanian luar biasa melawan pasukan Sekutu yang hendak kembali menjajah Indonesia. Di bawah komando Bung Tomo, pekikan “Allahu Akbar!” menggema, membakar semangat rakyat untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan, termasuk setelah tewasnya Jenderal Mallaby pada 30 Oktober 1945.
Polemik Gelar Pahlawan dan Nilai yang Kian Pudar
Menariknya, setiap tahun selalu muncul polemik terkait pemberian gelar pahlawan nasional. Tahun 2025 pun tak lepas dari pro dan kontra mengenai sepuluh tokoh yang diusulkan. Meski tujuannya mulia, penghargaan ini sering kali terseret nuansa politis.
Sejarah mencatat, Bung Tomo baru mendapat gelar pahlawan pada tahun 2009, atau 28 tahun setelah wafatnya pada 7 Oktober 1981. Padahal, kiprah dan perannya dalam pertempuran Surabaya merupakan fakta sejarah yang tak terbantahkan.
Kini, banyak pejabat yang mengklaim diri sebagai “pahlawan” lewat jabatan mentereng, namun perilakunya jauh dari nilai-nilai kepahlawanan. Sementara di sisi lain, jutaan rakyat justru menjadi “pahlawan kehidupan”, berjuang setiap hari demi keluarga, di tengah ekonomi yang fluktuatif dan birokrasi yang keras bak tembok batu.
Penjajahan Gaya Baru
Penjajahan masa kini bukan lagi datang dari bangsa asing bersenjata, melainkan menjelma dalam bentuk penjajahan moral, budaya, ekonomi, sosial, dan ideologi. Bahkan, seperti yang pernah diingatkan Presiden Soekarno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Oleh karena itu, semangat “Hubbul Wathan Minal Iman”, cinta tanah air sebagian dari iman perlu terus ditanamkan. Meski bukan hadits, makna kalimat ini mengandung ajakan untuk menjaga dan merawat tanah air sebagai bagian dari keimanan dan tanggung jawab kebangsaan.
Menjadi Pahlawan di Tengah Keadaan
Kini, perjuangan terbesar adalah melawan keadaan. Masyarakat kecil terus berjuang di tengah tekanan ekonomi dan kebijakan yang sering kali tidak berpihak. Namun semangat tak boleh padam. Harapan harus tetap tumbuh seperti embun yang menyejukkan tekad di ladang keyakinan.
Rakyat menanti hadirnya pahlawan baru, bukan dengan senjata, tetapi dengan kebijakan yang menyejahterakan dan ekonomi yang menenangkan. Janji “mari kaya bersama-sama” dari pejabat publik semoga tak berhenti pada slogan. Sebab, di balik ucapan dan kebijakan, rakyat menunggu bukti nyata, bukan sekadar mimpi yang menguap di udara.
Peringatan Hari Pahlawan tahun ini seharusnya menjadi pengingat bahwa nilai dan semangat para pahlawan tidak boleh pudar. Justru harus menjadi inspirasi bagi generasi penerus untuk berjuang dengan caranya sendiri dalam mengisi kemerdekaan.
Sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 95:
“Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (tidak ikut berjuang) tanpa uzur dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk tanpa halangan…”
Ayat ini mengajarkan bahwa berjuang bukan sekadar niat, melainkan totalitas pengorbanan, yakni dengan jiwa, raga, dan kemampuan terbaik. Karena perubahan tak lahir dari angan-angan, melainkan dari tekad dan aksi nyata.