JAVASATU.COM-MALANG- Tagar #KotaMalangTidakBaikBaikSaja yang ramai digaungkan pelaku ekonomi kreatif (ekraf) di Kota Malang tak berhenti sebagai keluh kesah digital. Ia menjelma menjadi “alarm keras” tentang rapuhnya ekosistem ekonomi kreatif di kota yang tengah membidik status Creative City UNESCO 2025 atau kota kreatif dunia.

Tagar itu mencuat setelah para pelaku ekraf menilai Pemerintah Kota Malang “abai” dalam mendukung perjuangan mereka menjadi tuan rumah Indonesia Creative Cities Festival (ICCF) ke-10 dan lolos seleksi kota kreatif dunia. Padahal, dua misi itu sudah digerakkan dengan urunan tenaga, dana, dan sumber daya dari komunitas, nyaris tanpa sentuhan anggaran pemerintah.
“Gerakan ini bukan sekadar keluhan. Ini panggilan jiwa,” kata Wahyu Eko Setiawan, Pelaku Ekonomi Kreatif Kota Malang yang juga sebagai Anggota Koalisi Kreatif Kota Malang (KOKKAM), Senin (12/5/2025).
Ia menekankan pentingnya pembentukan kembali Komite Ekonomi Kreatif (KEK) sebagai simpul kolaborasi lintas sektor di Malang Raya. KEK Kota Malang terakhir aktif Desember 2024, namun hingga kini belum ada keputusan pembaruan.
Padahal, lanjut dia, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, belum lama ini sempat memuji keberadaan Gedung Malang Creative Center (MCC). Fasilitas ini dinilai berhasil memicu pertumbuhan ekonomi baru, peningkatan kualitas SDM kreatif, hingga penciptaan lapangan kerja. Sayangnya, potensi MCC sebagai generator ekonomi kreatif nasional itu kini terancam stagnasi.
Tak hanya KEK yang mandek. Rencana regulasi daerah berupa policy brief dan perda pendukung ekonomi kreatif juga jalan di tempat.
“Kami ingin ada keterlibatan substansial komunitas dalam perumusan kebijakan. Jangan hanya jadi ornamen seremoni,” kata dia.
Bahkan, ia menilai “gap birokratis” masih menjadi penghambat utama riset dan inovasi di bidang ekonomi kreatif.
“Kami butuh akses yang setara dalam program strategis pembangunan daerah, bukan sekadar jadi konsultan dadakan,” ujarnya.
Taufik Saguanto, peneliti independen ekonomi kreatif, menambahkan, salah satu isu mendesak lain adalah absennya indikator mutakhir yang mampu mengukur dampak riil ekosistem ekonomi kreatif.
“Masih banyak pelaku ekraf yang tercatat sebagai pengangguran terbuka oleh BPS. Ini ironi,” ucap Taufik Saguanto, peneliti independen ekonomi kreatif, Senin (12/5/2025).
Merespons kegelisahan itu, para pelaku ekraf bersepakat menggelar “Rembug Ekraf Bareng Kelompok Bermain Mlebu Metu” pada Selasa, 20 Mei 2025, di Gedung MCC Kota Malang. Forum ini akan membedah lima aspirasi utama yang menjadi agenda bersama:
-
Pembentukan Komite Ekonomi Kreatif Malang Raya.
-
Penyusunan Policy Brief Ekosistem Ekraf.
-
Penguatan peran Asosiasi Akademisi Creative Ekonomi (AACE).
-
Penyusunan indikator dan parameter pembangunan ekraf nasional.
-
Penyelenggaraan Jambore Ekonomi Kreatif Malang Raya.
Menurut dia, jambore ini akan jadi batu loncatan menuju Jambore Ekraf Nasional sebagai bagian dari road to ICCF 2025.
Meskipun digagas oleh komunitas Kota Malang, gerakan ini telah meluas hingga Batu dan Kabupaten Malang. Bahkan, sejumlah komunitas di luar Jawa Timur mulai menggaungkan keresahan serupa.
“Ini bukan gerakan lokal lagi. Ini gelombang nasional,” kata Wahyu. (Saf)