Mitos ‘Kandang Bubrah’-Kah Kemasan Pembangunan Koridor Heritage Kajoe Tangan?
Oleh: M. Dwi Cahyono – Pemerhati Budaya
Dalam mitologi Jawa ada sebutan “kandang bubrah (bongkar kandang secara berulang-ulang)”. Mitos ini diyakini oleh orang yang mempercayai sebagai wahana mistis untuk “memperlancar rezeki”. Konsep- sinya adalah: apabila menginginkan rezeki mengalir lancar (ndilir), maka secara periodik, misalnya tiap tahun, sebagian rumah tinggalnya musti dibongkar (dibubrahi) lantas dibangun kembali, kendatipun yang dibongkar sesungguhnya masih dalam kondisi layak. Konon mitologi ini dijadikan semacam “ilmu pesugihan”, ikhtiar mistis untuk menjadi kaya dan kian tambah kaya (sugih).
Ketika mengamati dengan seksama pembangunan Koridoor Heritage (?) Kajoe Tangan, tahun demi tahun, tergambar bahwa tiap tahun ada saja bagian koridoor ini yang dibangun. Bukan senantiasa untuk mengadakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada agar menjadi ada, tetapi juga dengan membongkar yang sudah ada untuk dibangun lagi dengan sedikit beda. Misal, tatanan batu andesit di pertigaan Avia yang dibangun tahun lalu, pada tahun ini dibongkar dan dibangun lagi dengan sedikit berbeda. Bahkan, ironisnya, ada bagian yang bongkar untuk dibangun ulang dengan dimensi beda, padahal masih belum satu tahun terbangun, kurang dari satu bulan selesai dibangun. Misal, penyekat (median) jalan pada perempat BCA (dulu dinamai “Radja Balie”). Dengan alasan kegedean, yang barusan selesai dibangun, lalu dibongkar untuk dikecilkan. Nah mbanyol kan, kalah sama penjahit. Terhadap fenomena itu, ada seorang teman menyeletuk “lho, kok koyok kandang bubrah”.
Apakah Pemkot Malang mengamalkan “ilmu kandang bubrah” untuk bisa mendapatkan pesugihan (kekayaan)? Sangat mungkin tidak. Jikalau tidak, mengapa bangun-bongkar (bongkar-pasang)? Bisa jadi pembangunannya tidak mendasarkan kepada rencana global (menyeluruh) yang diformulasikan dengan cermat menurut hasil kajian yang akurat. Terkesan sebagai “trial and error (coba dan salah, coba lagi dan salah lagi)”. Prinsipnya, tak mengapa asal-asalan buat, toh bila terbukti salah (error), kan bisa dibongkar lagi dan dibangun ulang. Jika error lagi, ya dibongkar lagi, lalu bangun ulang lagi. Nah, gampang tho Dengan cara demikian, maka tak kan henti-hentinya, ada-ada saja yang bisa diproyekkan. Yang terpenting adalah proyeknya, mustinya adalah hasil yang terbaik.
Dalam kedua contoh kasus pada Koridoor Kajoe Tangan tersebut diatas, tergambar bahwa pembangunannya tak mendasarkan pada hasil kajian dan perencanaan kawasan yang matang. Kelancaran laju mobil Ambulance serta Damkar pun dijadikan sebagai alasan (dasar pertimbangan untuk membongkar, mengubah dan membangun ulang median jalan di pertigaan Avia dan perempatan BCA. Kenapa pertimbangan tersebut tidak muncul manakala masih di tahap perencanaan. Sebuah pertimbangan yang telat munculnya. Baru muncul (tepatnya “di- munculkan”) justru tatkala median jalan tersebut te lah rampung dibangun, bahkan “isih keweh-keweh dadi (barusan selesai jadi)”. Mulane to, jok grusa- grusu yen mbangun.
Dalam hal demikian, muncullah pertanyaan: siapa yang dirugikan, dan sebaliknya siapakah yang diuntungkan? Apakah pembangunan pada keduanya itu berkontribusi terhadap “ke-heritage-an (kecagarbudayaan)” Koridoor Heritage Kajoe Tangan? Meski mempunyai unsur sebutan “heritage”, namun dalam pembangunannya kurang berperhatian kepada kecagarbydayaanya. Kalaulah begitu, buat apa unsur sebutan “heritage” disematkan kepadanya?. (*)