
Resensi Buku Puisi Esai Indonesia “Suara-suara yang Terbungkam”
Oleh : Akaha Taufan Aminudin, Koordinator Penulis Satupena Indonesia, Jawa Timur
- Judul: Suara-Suara yang Terbungkam – (Seri Puisi Esai Indonesia Provinsi Sumatra Selatan)
- Pengarang: Anto Narasoma, Anwar Putra Bayu, Eko Sulistianto, Linny Oktovianny, Tarech Rasyid
- Pengantar: Prof. Dr. Jalaluddin
- Hak Penerbitan: Denny J.A. rights@cerahbudayaindonesia
- Tim Editor: Nia Samsihono (Ketua), Anwar Putra Bayu (Anggota), Dhenok Kristianti (Anggota), F.X. Purnomo (Anggota), Gunoto Saparie (Anggota), Handry T.M. (Anggota), Isbedy Stiawan Z.S. (Anggota)
- Koordinator Wilayah: Fatin Hamama (Wilayah Indonesia Barat), Nia Samsihono (Wilayah Indonesia Tengah), Sastri Sunarti (Wilayah Indonesia Timur)
- Finalisasi dan Publikasi: Agus R. Sarjono, Jamal D. Rachman, Monica Anggi JR
- Desain Grafis: Firman
- Penerbit: Cerah Budaya Indonesia, Jakarta
- Tahun/cetakan: Cetakan Pertama Agustus 2018
- ISBN: 978-602-5896-08-8
- Tebal: 147 + xvi halaman
Apresiasi puisi esai merupakan hasil usaha penyair dan pembaca dalam mencari dan menemukan nilai hakiki puisi esai lewat pemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. dengan narasi objektif disertai dengan data-data yang valid .
Melalui kegiatan apresiasi itu diharapkan timbul kegairahan dalam diri pembaca atau lebih luas masyarakat untuk lebih memasuki dunia puisi esai, sebagai dunia yang juga menyediakan alternative pilihan untuk menghadapi permasalahan kehidupan yang sebenarnya. gerakan masyarakat, tanpa dana sepersenpun dari pemerintah, atau bantuan luar negeri, atau konglomerat.
Gerakan ini melibatkan lebih dari 170 penyair lokal, dengan cara penulisan baru puisi esai, puisi panjang bercatatan kaki, mengawinkan fakta dan fiksi. Suara sejati kebenaran dan fakta yang terjadi.
Puisi esai adalah suara rakyat, suara masyarakat, suara publik ada yang positif dan negatif. Ciri khas puisi esai ada catatan kaki sebagai fakta yang diolah tidak boleh dihilangkan, catatan kaki membangun sebuah pemahaman, catatan bahasa local atau bahasa daerah yang merupakan kekuatan karya realitas.
Puisi esai dalam antologi puisi ‘Suara-Suara yang Terbungkam’ (Seri Puisi Esai Indonesia Provinsi Sumatra Selatan) Ada lima penyair tersebut adalah : Anto Narasoma, Anwar Putra Bayu, Eko Sulistianto, Linny Oktovianny, Tarech Rasyid , Dalam dunia perpuisian, tak hanya relasi manusia dengan Sang Pencipta dan relasi antar manusia yang menjadi objek proses kreatif penyair, menuliskan puisi-puisinya yang merepresentasikan cerminan dari kegelisahan penyair dengan penguasa negeri ini, birokrasi, hukum dengan semena-mena dan ketidak adilan aturan sepihak dan atau penyair dengan manusia dengan cara penulisan baru puisi esai, puisi panjang bercatatan kaki, mengawinkan fakta dan fiksi. dalam buku setebal 147 itu adalah media untuk mempermudah pembaca agar tidak salah tafsir dalam memaknai karya 5 penyair dalam puisi esainya.
Anto Narasoma puisinya dalam ‘Orang Kecil di Tikungan’ Puisi esainya ini tampak tak terkonsentrasi pada satu hal saja. Ia menulis baris-baris dan bait-baitnya begitu acak sebagai wujud kebebasan dan keliaran yang ia miliki, yang tak ingin dikungkung oleh batasan apa pun yang berkelebat dalam pikirannya, itulah yang ditulis. Apa yang muncul dalam ingatannya, mungkin sebagai sesuatu yang pernah diketahui atau dialami, itulah yang kemudian dituliskannya. Tapi, kendati demikian, sebenarnya masih terbaca ia mengajukan banyak gugatan. Seperti ketika mengawali puisinya, ia menggugat soal keadilan. Sebagai penutupnya keadilan Tuhan didapatkan.
Anto Narasoma menghadirkan karyanya yang berjudul ‘Orang Kecil di Tikungan’ menceritakan kekuatan cinta yang telah terbina selama ini, ternyata tidak sejalan dengan harapan Harun. Sebab, setelah menikah lebih dari lima tahun, akibat minusnya keuangan rumah tangga, istrinya tega meninggalkan dirinya saat ia sedang bekerja sebagai cleaning service.
Sebab, dengan berbagai masalah yang muncul, sungguh melelahkan pikiran dan perasaannya. Untunglah Harun sangat dekat kepada Sang Penciptanya melalui salat lima waktu. Karena itu segala cobaan dan persoalan hidup yang teramat pahit itu tetap menjadi kekuatan baginya untuk menghadapi sulitnya kehidupan sehari-hari.
Petikan puisi esainya ‘Orang Kecil di Tikungan’ Anto Narasoma:
/1/
Harun1, orang kecil
dengan setumpuk masalah
bernaung dalam kesabaran yang
tak berbatas
Menghadapi masalah
seperti berjalan tanpa
alas di permukaan tanah
bergelombang
Rautnya seperti air sumur
bening dan selalu mencair ketika
masalah membekukan suasana
hatinyaTak pernah mengeluh meski di-PHK
sebagai cleaning service yang berkutat
sejak lima tahun terakhir di Hotel Sandjaja
Ia ingin sekali terbang di antara
kepulan awan yang menawarkan
kejernihan hidup di belantara
bebas
Namun
ia tumbuh dalam kumpulan
orang-orang berdiam di
tanah becek, tak penah
tampil dalam gambar yang
menjunjung estetika kesabaran
Meski sudah memunculkan
hari-hari dalam kesumpekan
ia tetap yakin
menyajikan kejujuran
‘’Apakah itu cukup? cukup
mewarnai jutaan keinginan
dalam halaman sajak sisi
kemanusiaan?” batinnya bertanya/2/
Dua tahun istrinya kabur
tanpa pamit. Tanpa rimba
tanpa petualangan dari jutaan
alang-alang di depan
mukanya10
Jejak yang ia telusuri
tak memberi arti. Bayangan istrinya raib
dari kelamnya sisa hidup di
negeri Hang Tuah
Ketika ditelan kesulitan hidup, ia masih
tenggelam dalam kesibukan kerjanya
di sudut-sudut harga diri
Puisi esai dalam antologi puisi ‘Suara-Suara yang Terbungkam’ (Seri Puisi Esai Indonesia Provinsi Sumatra Selatan) penyair berikutnya adalah : Anwar Putra Bayu Puisinya pernah mendapat penghargaan dari Komunitas Sastra Indonesia tahun 2013, Puisi Islam Mahrajan tahun 2016 dan 2017 di Sabah, Malaysia. Tahun 2002 menerima Anugerah Seni Bidang Sastra dari Gubernur Sumatra Selatan.
Anwar Putra Bayu menghadirkan karyanya yang berjudul ‘Suara-suara yang Terbungkam’ karya paling mengesankan dan kuat jadi judul buku ini, berbobot berjiwa. Rasanya tidak ada bahasa yang istimewa yang digunakan penyair, pengungkapan ekspresi gugatannya lebih menggunakan gaya bertutur sebagai seorang esais. Namun demikian, ia juga mewarnai puisinya dengan gaya personifikasi.
Sebagai sebuah puisi disajikan dengan cukup panjang. Formula puisi yang cenderung panjang ini, tampaknya menjadi ciri puisi esai yang dihadirkan oleh penyair Anwar Putra Bayu dalam puisi ini. Gaya esai puisinya ini terasa semakin konkret lagi, karena penyair menggunakan data-data faktual, seperti tanggal yang jelas, memiliki kekuatan simbol-simbol dan metafora.menyatukan bentuk dan isi secara organis, sehingga karya berhasil dengan sangat baik,. Cukup panjang menyita banyak energy dan waktu., menikmati membaca lembar-lembar perhalaman dengan tokoh Salun ini sangat menarik puisi esai, Anwar Putra Bayu Petikan puisi esainya:
/1/
Seorang lelaki tua sederhana dan berwibawa
sorot matanya tajam siapa pun yang memandangnya
berumah panggung di dusun Rantau Alai2
di sisi Sungai Ogan3 anak Batanghari Sembilan4
Ogan Komering Ilir5
Jinak6 nama yang punya diri
berjanggut putih tak pernah letih
sebagai petani dan penutur ceritadia hidup dari zaman ke zaman7
satu abad usianya dia pun meninggal
di kampung halaman Dusun Sanding Marga
Semasa hidupnya Jinak mewariskan ilimunya
Jinut, Salun, Sadun, dan Manan adalah muridnya
mereka belajar jeliheman8 di halaman rumah
Jinut9 adalah satu-satunya perempuan
dan dia berusia sebaya Jinak sebagai murid
namun Jinut adalah murid yang santun
demikian pula Manan, Sadun, dan Salun
“Ni hari kite betutur, ambek cerite dari awalsetelah itu baru kite sambung. ” Berujar Jinak dengan bahasa Ogan10
Jinut, Manan, Sadun dan Salun
menganggukan kepala tanda setuju
Jinak meraih ayakan padi di sampingnya
dia pun pasang kuda-kuda
ayakan padi11 menutup mukanya
namun wajahnya masih terlihat
dari balik lubang-lubang ayakan padi
lubang-lubang itu tersusun beraturan12Jinak pun mulai mengisahkan awal cerita
tentang asal muasal tentang si Bujang Jelihim13
anak Pasirah Pulau Panggung14
Bertuturlah ia dengan melagu
di balik ayakan padi
suaranya merdu bak merayu pendengarnya
Kami hendak ikut serta15
Bersenang hati dan bergembira
Aku telah tahu maksud kakak
Kakak hendak pergi ke Ulu Manna
Di sana penyabungan ayam
Selama tiga bulan
Adikku sayang, engkau hendak
Memberikan uang rial tiga ratus
Bagi diriku ini dik, misalnya hilang
Tidak terganti
Engkau kututurkan kupaparkan
Diriku sangat malang
Sanak tiada keluarga tiada
Orang tua apa lagiDiam di pondok sangat buruk
Beratap puar berdinding puar
Bantalkan sabut, kelambunya asap
Jinut, Manan, Sadun dan Salun empat muridnya
memerhatikan dengan saksama cerita sang guru
Sebentar-sebentar mereka menghela napas tanda
terbawa alur peristiwa ke peristiwa dari tokoh cerita
Putri Redale16 yang romantis kekasih Bujang Jelihim
serta Raden Intan17 yang kejam sebagai musuh dirinya
Satu-satu masuk ke dalam ingatan empat murid Jinak
mereka mengalamai katarsis diri dengan nilai-nilai
baik dan buruk, sombong dan santun, kejam dan kasih
mewarnai kehidupan cerita dan di balik cerita
Singkat cerita lama waktu tersita
Jinak sang guru pun menutup tuturannya
dengan pesan dan amanat tentunya/2/
Salun telah menguasai cerita Bujang Jelihim
dari awal hingga akhir, dia katam menutur
Tuhan telah memberikan anugerah merdu suara
Jinak, Jinut, Manan, dan Sadun mengakuinya
Salun memang lebih baik dari mereka soal menutur
Jinut tak boleh tampil berkisah di muka umum
adat dusun melarang perempuan menutur
.
Salun prihatin akan perlakuan adat yang mengekang
pikiran merdekanya tak terima lelaki selalu terdahulu
Sadun hijrah ke Bengkulu
Manan18 pun pindah ke Palembang
Jinak berpulang pada Sang Khalik
Jinut bersuami dan menetap di kampung
Salun menutur ke luar kampung
Ogan, Bangka, Bengkulu hingga Lampung
Dia bertualang namun ingat pulang/3/
Salun memasuki kota Palembang
kota yang terbelah oleh Sungai Musi19
induk dari delapan sungai
menjadi dua daratan
Ulu sebelah selatan
dan ilir sebelah utara
yang kaya budaya
Perahu-perahu ketek dan jukung wara-wiri
kapal-kapal besar pengangkut tetambang berlayar
lepas ke muara
O, sebuah kehidupan yang dinamis dan harmonispertanda sebuah tamadun sedang berlangsung
adalah tamadun Batanghari Sembilan20
Bandar ramai di hulu dan hilir
Salun datang menutur ke rumah seorang tentara
memenuhi hajat sunatan sang putra
tahun 1963 berbilang waktu dan bergulir
Adalah seorang anak dusun dari Tanjung Kurung
marga Muara Pinang Lintang Empat Lawang
Effendi21 namanya berpangkat kapten
Pernah bertugas di Tanjung Raja22
Lalu mengenal Salun saat menutur
dari kenduri ke kenduri
dari rumah panggung ke rumah panggung
Gembira hati Effendi
ramai tamu menyaksikan tuturan
Salun dapat tepuk menutup kisah
Effendi putra Empat Lawang
mengajak Salun berbincang ke suatu tempat
di sudut ruang dekat lawang23
Seseorang duduk sendiri sambil bercerutu
memerhatikan Salun dan Effendi tanpa menggerutu
dia pun menghampiri mereka berdua
“Apa kabar Bang Effendi?” Sapanya
“Aih-aih, kabar baik Bung Nungcik24
Terima kasih sudah mau datang,” kata Effendi ramah
Salun akhirnya tahu cerita Effendi
bahwa tamunya itu adalah seorang penyair
barisan Lekra25 dan anggota komite central
Partai Komunis Indonesia
bersama Aidit, Nyono dan Nyoto
Hari itu pula Salun dan Nungcik akrab
saat itu mereka larut dengan obrolan
latar belakang sastra bikin menyambungSalun dari sastra tradisional
dan Nungcik Sastra modern
Nungcik isap cerutu, Salun isap rokok daun
keakraban itu menghilangkan perbedaan
Tak sadar Salun dan Nungcik berewang26
Effendi memerhatikan dari balik lawang
“Salun, awak jangan galak kalu Nungcik tu ngajak nak gabung
dengan Lekra. Kagek awak bahayo, zaman makini sudah banyak
wong
betentangan dengan komunis,” nasihat Effendi pada Salun saat
mengantar ke terminal
Puisi esai dalam antologi puisi ‘Suara-Suara yang Terbungkam’ (Seri Puisi Esai Indonesia Provinsi Sumatra Selatan) penyair Eko Sulistianto. Dalam dunia perpuisian, tak hanya relasi manusia dengan Sang Pencipta dan relasi antar manusia yang menjadi objek proses kreatif penyair, menuliskan puisi-puisinya yang merepresentasikan cerminan dari kegelisahan penyair dengan penguasa negeri ini, birokrasi, hukum dengan semena-mena dan ketidak adilan aturan sepihak dan atau penyair dengan manusia dengan cara penulisan baru puisi esai, puisi panjang bercatatan kaki, mengawinkan fakta dan fiksi Sebagai penyair, ia mencoba melukiskan tokoh Uzuro dalam puisinya, agar nasib perekonomian Indonesia dapat lebih dimanusiakan. Sebagai puisi esai, ia juga menulis dengan baris-baris dan bait-bait puisinya dengan sangat panjang, dan juga disertai dengan catatan kaki pada diksi-diksi yang dirasa penting untuk diberikan catatan. Dengan memberi catatan ini, sebagai penyair esai, ia juga berupaya agar apa yang diekspresikan dalam puisinya komunitkatif dan informatif.
Rasanya tidak ada bahasa yang istimewa yang digunakan penyair, pengungkapan ekspresi gugatannya lebih menggunakan gaya bertutur sebagai seorang esais. Namun demikian, ia juga mewarnai puisinya dengan gaya personifikasi. Sebagai sebuah puisi disajikan dengan cukup panjang. Formula puisi yang cenderung panjang ini, tampaknya menjadi ciri puisi esai yang dihadirkan oleh penyair Eko Sulistianto dalam puisi ini. Gaya esai puisinya ini terasa semakin konkret lagi, karena penyair menggunakan data-data faktual, seperti tanggal yang jelas, memiliki kekuatan simbol-simbol dan metafora.menyatukan bentuk dan isi secara organis, sehingga karya berhasil dengan sangat baik.
Puisi esai dalam antologi puisi ‘Suara-Suara yang Terbungkam’ (Seri Puisi Esai Indonesia Provinsi Sumatra Selatan) berikutnya karya penyair Eko Sulistianto. menulis sebuah puisi esai berjudul ‘Reuni Maling Pasar’. Prawacana esai ini tentang peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Palembang (yang juga terjadi di Medan, Jakarta, Surabaya, dan Solo. Di Palembang, kerusuhan sudah dimulai pada 12 Mei 1998, terjadi pula pada 14 Mei 1998, dan 15 Mei 1998. Bagi publik, kerusuhan itu bukan semata masalah ekonomi, tetapi bagi Uzuro, peristiwa itu berkaitan erat semata-mata dengan kesulitan ekonomi yang dialaminya. Terjepit masalah keuangan untuk membeli obat ibunya dan membayar tunggakan biaya sekolah adik-adiknya, Uzuro yang sehari-hari merupakan praktisi maling pasar, menerima tawaran oknum tentara untuk mencuri informasi, memasok pendemo, menjadi provokator kerusuhan, serta memasok minyak tanah untuk membakar bangunan. Bagi para korban perusakan, pembakaran, penjarahan, dan kekerasan, peristiwa itu merupakan trauma. Bagi Uzuro, itu merupakan aib. Menjarah menurutnya bagian dari maling, dan maling baginya kini adalah aib. Maka, dalam reuni maling pasar, ia suntikkan tekad tanpa aib.
Petikan puisi esainya Eko Sulistianto ‘Reuni Maling Pasar’
/1/
Pada sebuah Mei1
kala siang memanggang Palembang
para pentolan senat mahasiswa negeri dan swasta
mengkoordinasi diri
Perbaikan ekonomi
dan lain-lain persoalan bangsa
memanggang kepala2
Pembicaraan-pembicaraan tensi tinggi
berderet berkali lipat panjang Jembatan Ampera
yang mengangkangi Sungai Musi
Kata-kata berjungkir-balik dalam ruangan
berloncatan
bersalto
bermanuver
Sebelum mengerucut
beberapa turut angkat bicara
tapi tak digubris dengan dalih bukan pentolan senatTak cukupkah di pemerintahan saja
orang-orang tak kompeten turut bercokol?
Tak cukupkah di parlemen saja
orang-orang tak berpihak pada rakyat turut berkoar-koar?
Mengapa pecundang macam itu ada pula di sini?
Mengapa tak memilih jalan terhormat
meninggalkan kampus ini?
Dan rentetan ironisme, sinisme, dan sarkasme lain
memerahkan telinga-telinga mahasiswa
yang tercap penumpang gelap
Di balik dinding ruang senat itu
Uzuro duduk mendekap koran-koran samarannya
Seseorang mengirimnya ke kampus ini
untuk berkedok penjaja koran dan buku teka-teki silang
Lelaki itu memberi tawaran
yang tak bisa ia tolak: penjara atau uang
Saksi-saksi kuat bahwa ia maling Pasar Plaju3
akan mengirimnya ke penjara
Dan nyeri di dada
akibat obat ibunya yang belum tertebus di apotek
dan tunggakan biaya sekolah adik-adiknya
yang bulanan belum terlunasi
hanya bisa diobati dengan uang
Belakangan terungkap
lelaki bersepatu bersol karet khas ituLalu kata-kata membulat
besok demo lagi kita/2/
Jaket almamater yang mewarnai kampus-kampus
hangat oleh mentari pagi
Spanduk dan karton manila bertulisan spidol
meronta minta pajang
sepeda motor menggerung-gerung
angkutan umum melaju gagah
semua penuh mahasiswa
menuju gedung rakyat yang sunyi-senyap
Disutradarai preman berkasta wong lamo10
yang masih berkeliaran di Pasar Plaju
Uzuro berganti peran
Ia setiri pick-up kosong dari Terminal Plaju
menyatroni kampus di tepi jalan
pura-pura beli rokok
pura-pura belum dapat tarikan
agar punya dalih dibayar murah meriah
oleh mahasiswa-mahasiswa yang belum terangkut
Saat pick-up-nya menurunkan para mahasiswa
di gedung rakyat
utusan wong lamo itu menepuk pundaknya
Uzuro tersenyum
dompetnya terisi
dapat beli obat ibunya lagi
dapat cicil tunggakan biaya sekolah adik-adiknya lagilalu Uzuro ngibrit menyeberangi Jembatan Ampera
yang tak abu-abu lagi catnya15
Palembang meliar hari itu
massa meliar
aparat menyangar
tak perlu nonton film
pengejaran ala barbar tersaji di depan mata
mahasiswa kena bogem dan senjata
diinterogasi dan didata
Lalu transportasi lumpuh
lalu hening mengurung Palembang
tapi tak mengurung gelora mahasiswa/3/
Mahasiswa tak tidur
tidur tapi tak nyenyak
nyenyak tapi tak lena
Jakarta, Medan, Surabaya, Solo
tak lepas dari ingatan
Kantong-kantong berita dingangakan
kontak-kontak disiagakan
dari dan untuk kota-kota mana pun
Uzuro siaga pula
menanti orderan
apa pun
asal tak jadi maling pasar lagi
agar tak beraib lagi
Masalah obat ibunya dan tunggakan biaya sekolah adik-adiknya
tak teratasi dengan hanya maling di Pasar Plajupara perempuan kini
hanya pakai emas kurang satu suku16
Para lelaki membagi uang di semua kantongnya
mencopet, menjambret
hanya uang receh yang terlengket
Bongkar kios, bongkar toko
banyak pembaginya
sebanyak gerombolan
belum uang tutup mulut dan mata
Mahasiswa siaga
kisruh-rusuh di lain-lain kota
dipantau tak lupa
Hingga Jakarta menebar duka
tajam peluru menyobek leher Hendriawan Sie
tajam peluru menghardik dada Elang Mulya Lesmana
tajam peluru memorakporandakan kepala Hafidhin Royan
tajam peluru mengulaikan punggung Hery Hartanto
empat mahasiswa Trisakti
meregang nyawa di runcing peluru17
Aktivis mahasiswa menghabiskan malam
aksi esok
rencana ini hari18
Puisi esai dalam antologi puisi ‘Suara-Suara yang Terbungkam’ (Seri Puisi Esai Indonesia Provinsi Sumatra Selatan) selanjutnya karya Linny Oktovianny penyair perempuan yang produktif dan kreatif dalam berkarya serta aktif terbukti Tahun 2007 pernah diundang sebagai peserta Pertemuan Sastrawati Nasional 2007 di Jakarta. Puisinya juga pernah dimuat dalam Antologi Puisi Wanita Serumpun yang diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka (2017), Malaysia. Pernah menjadi pengurus Dewan Kesenian Palembang, Forum Bahasa Media Massa, Himpunan Sarjana-Kesusasteraaan Indonesia Komisariat Sumatra Selatan.
Dengan bahasa yang istimewa yang digunakan penyair, pengungkapan ekspresi gugatannya lebih menggunakan gaya bertutur sebagai seorang esais. Namun demikian, ia juga mewarnai puisinya dengan gaya personifikasi. Sebagai sebuah puisi disajikan dengan cukup panjang. Formula puisi yang cenderung panjang ini, tampaknya menjadi ciri puisi esai yang dihadirkan oleh penyair Linny Oktovianny yang mengangkat persoalan kehidupan seorang Duta Kayuagung yang sangat fenomenal itu, melalui “Lagu Seorang Duta” dia merangkumnya dalam rangkaian bunga kata yang indah dalam puisi ini. Gaya esai puisinya ini terasa semakin konkret lagi, karena penyair menggunakan data-data faktual, seperti tanggal yang jelas, memiliki kekuatan simbol-simbol dan metafora.menyatukan bentuk dan isi secara organis, sehingga karya berhasil dengan sangat baik,. Cukup panjang menyita banyak energy dan waktu., menikmati membaca lembar-lembar perhalaman dengan tokoh Wahid ini sangat menarik.
Linny Oktovianny Menuliskan sebuah karya puisi esai berjudul ‘Lagu Seorang Duta’ Puisi esai ini ditulis untuk menguak persoalan Duta Kayuagung, yaitu Wahid, putra mantan Pasirah, Kayu Agung. Wahid memilih jalan hidup sebagai seorang duta. Sesungguhnya, Wahid sejak kecil tak memiliki cita-cita untuk menjadi seorang duta. Namun, setelah dewasa, terlebih dia sudah menikah dengan Rogaya, dan memiliki anak bernama Radin, kebutuhan ekonomi sehari-hari tak mencukupi. Betapa tidak, sawah gambut seluas lima rantai (hektare) tidak menghasilkan apa-apa. Persoalannya, sawah yang diwariskan oleh ayahnya itu mengalami gagal tanam disebabkan kanalisasi perusahaan sawit yang merambah desanya. Oleh sebab itu, dia menemui kawan lamanya bernama Mareki seorang Bos Duta yang tinggal di desa Perigi. Wahid pun bergabung dan menjadi anggota Duta yang dipimpin oleh Mareki. Wahid pun dilatih oleh Mareki untuk bela diri dan menembak, sehingga sampai suatu hari dia dinyatakan layak untuk ikut melakukan operasi.
Cuplikan puisi esainya Linny Oktovianny ‘Lagu Seorang Duta’:
Alunan musik berkumandang
irama lagu dinyanyikan
gendrang bertalu-talu
bunga-bunga lawang1 bermekaran
menyeruak harum mewangi
Bende Seguguk2 berkilauan
menyambut lelaki mungil berkulit putih
keturunan Pesirah3 Morge Siwe4
Puyang5-puyang bertasbih menyambutmupaku6 tanah leluhur bersemayam
keturunan Abung Bunga Mayang7
dipuja bujang gadis rupawan
lelaki perempuan tua muda
tanpa strata tanpa beda
jua-jua8 jadi istana
Kayuagung9 jadi bermakna
Duta10terkenal dimana-mana
sumbu hidup bertakhtaenam suku11 satu padu bersama
di bumi Swarnadwipa12
Sejak dalam buaian
mandi keramas13 dan panengking14 dilakoni
agar anak rela berbakti
menghiasi bumi penuh perigi
Nyukur15 dilantunkan
nama bayi didendangkan
Wahid empunya nama anak bujang
Nenggung mato16 jadi irama
penghias mimpi anak purnamaWahid kecil dipanggil Achid
nama panggilan kesayangan
ibu bapak sanak keluarga
Semakin lama Achid beranjak besar
saat berkhitan telah tiba
Wahid makin memesona
jadi Sang Jantan gagah perkasa
Barjanzi17 dan marhabah18 jadi tembang
Achid bermain tak kenal lelah
sembilan belas dusun19 Achid singgahidari Sukana20 hingga Cahaya Bumi21
Hari bergulir
bulan bercahya manikam masa
Selikur22 purnama terlewat sudah
Achid telah menjelma dewasa
Hati terpikat gadis rupawan
laku lembut indah menawan
hati Wahid bertakhta
pada Sang jelita harapan sukma
Ingin mengikat janji suci selamanya
kepada dara yang dicinta
Rogaya namanya
Air bulat sebablah bambu
bulatlah kata sebab mufakat
demikianlah keluarga Achid dan Gaya
berasan23 dari dua keluarga
tetaplah hari dipakati
LaguKawin Lari24 pun dilakukan sang perjaka kepada wanita pujaan
Wahid meminta nyelabar25 pada ayah bunda
Pinang di belah dua26 pertanda adat tiada tara
anak pesirah menikam sukma
Begorok Mabang Handak27 segera dilaksanakan
Para Tetua membentangkan sayap
petanda cinta Sang perjaka
Kepada Sang Gadis penawar cinta
sanak keluarga para tetangga
menyaksikan mempelai mengikat makna
Puisi esai dalam antologi puisi ‘Suara-Suara yang Terbungkam’ (Seri Puisi Esai Indonesia Provinsi Sumatra Selatan) selanjutnya karya Tarech Rasyid turut menjalin rintihan hatinya terhadap konflik lahan serta perjuangan Petani Desa Rengas dan PTPN VII Cinta Manis, bagaimana dia membangun peristiwa bersulam kata-kata puitis dengan tokohnya Wak Singa. Tampilan gejolak sosial yang sangat menyentuh relung batin terdalam ini terkait erat dengan pencideraan harkat dan martabat manusia dan sekaligus nilai-nilai kemanusiaan. Penggalan puisi esainya Tarech Rasyid ‘Kesaksian Wak Singa’.
(1)
“Wak Singa, Wak Singa1
Apa yang kau pikirkan?”
Bisik hati cucong2 diremas bingsal3
Mendengar ceritanya yang sekali waktu meracau4
menerka batinnya dari kata-kata yang terucap
ya, cacam,5 rupanya ingatan lelaki itu
tertambat di lorong sejarah uluan6
Sebelum negara Indonesia lahir
pemerintahan marga7sudah hadirMarga terbentuk dari rumpun dan dusun-dusun
hubungan keluarga dan alam terikat menyatu
seperti ikan-ikan yang hidup di sungai Musi
Masyarakat marga tiada ringam8 kelola tanah
marga memayunginya dengan hak ulayat,9 tapi
mengelola tanah sekarang harus membayar
dengan air mata, darah dan nyawa, ai-ndung10
itu pun belum pasti bisa
Di bawah langit pemerintahan marga
petani hidup rukun dan damai
meski ada kekurangan
dulur dan alam mencukupinya
bila kepingin berkebun dan berladang
cukup pancung alas11atau di tanah ulayat12 warisan para puyang13
yang ditandai pohon bambu dan sialang
yang ditandai pemakaman dan sungai
Waktu berputar, zaman berganti
wajah pemerintahan bertukar rupa14
roda perubahan menggilas Simbur Cahaya15
perusahaan menjelma naga raksasa
menelan lahan-lahan petani
hutan, sawah, ladang menjadi perkebunan yang luas
hasilnya dinikmati segelintir orang(2)
Tiga puluh enam tahun lalu
mulut-mulut petani terbungkam
keresahan mereka dikendalikan sepatu lars
cuma petani-petani yang bernyali
mampu melampaui situasi batas26
ya, ya, ya, nyali itu lahir dari tanah yang dirampas27
ya, ya, ya, nyali itu muncul dari kemiskinan yang menindas
tak ada pilihan, kecuali merawat api perlawanan
merebut kembali tanah leluhur yang disamun
atau, menjadi gelandangan, peminta-minta di kota
Wak Singa menyaksikan
petani ditindas, tanahnya dirampasmereka tak bisa lagi menikmati hokbus28
mengirim anak-anaknya ke sekolah
merasakan tidur di kasur dengan pulas
sebab harapan makin samar dan tak bertepi
apa arti kemerdekaan?
Pita suara mereka menjadi kaku
tak mampu lagi menembangkan lagu:29
“Sorak-sorak bergembira
bergembira semua
sudah bebas negeri kita
Indonesia merdeka.”
Mengantarkan membedah puisi esai ‘Suara-Suara yang Terbungkam’ (Seri Puisi Esai Indonesia Provinsi Sumatra Selatan) dengan gejolak sosial ini pula yang kemudian ikut menimbulkan keprihatinan banyak pihak. Masing-masing menyoroti kasus demi kasus menurut pandangan masing-masing. “Pandawa Lima“ sastrawan Sumatra Selatan ini serentak ke luar dari “pertapaan” mereka. Ramai-ramai menelisik gejolak sosial yang terjadi dan mengusungnnya dalam kemasan “puisi esai“. Dengan kejelian hati nuraninya, Anwar Putra Bayu misalnya, mengungkapkan tangkapan mata batinnya tentang kasus seorang penutur sastra lisan bernama Salun yang dituduh PKI (Partai Komunis Indonesia) melalui jalinan kisahnya “Suara-suara yang Dibungkam.” Lalu Anto Narasoma menyajikan derita batinnya ketika seorang karyawan bernama Husin, yang harus berhenti bekerja karena terkena PHK dalam puisi esainya “Orang-orang Kecil di Tikungan.” Seterusnya Eko Sulistianto dengan tokohnya Uzuro seakan ingin membuka kembali ingatan kepada kita (pembaca) tentang peristiwa kerusuhan Mei 1998. Lain halnya dengan Linny Oktovianny yang mengangkat persoalan kehidupan seorang Duta Kayuagung yang sangat fenomenal itu, melalui “Lagu Seorang Duta” dia merangkumnya dalam rangkaian bunga kata yang indah. Sedangkan Tarech Rasyid turut menjalin rintihan hatinya terhadap konflik lahan serta perjuangan Petani Desa Rengas dan PTPN VII Cinta Manis, bagaimana dia membangun peristiwa bersulam kata-kata puitis dengan tokohnya Wak Singa. Tampilan gejolak sosial yang sangat menyentuh relung batin terdalam ini terkait erat dengan pencideraan harkat dan martabat manusia dan sekaligus nilai-nilai kemanusiaan.
“Pandawa Lima“ sastrawan Sumatra Selatan ini serentak ke luar dari “pertapaan” mereka Pengantar Prof. Dr. Jalaluddin dosen di Universitas Islam Negeri Raden Fattah Palembang ini, dengan menggunakan kata “Pandawa Lima“ artinya lima saudara laki-laki atau lima penyair pria maksudnya, tapi setelah saya baca kenyataannya ada 4 penyair pria dan satu perempuan. Maka istilah “Pandawa Lima“ dalam puisi esai ‘Suara-Suara yang Terbungkam’ (Seri Puisi Esai Indonesia Provinsi Sumatra Selatan) kurang tepat harus direvisi, biar tidak membingungkan atau menyesatkan salah arti pembaca.
Sejarah kesusastraan Indonesia akan mencatat perkembangannya dari masa ke masa. puisi esai ‘Suara-Suara yang Terbungkam’ (Seri Puisi Esai Indonesia Provinsi Sumatra Selatan) , memiliki kelemahan puisi esai tingkat kesulitan simbol-simbol dan metafora. Dan tingkat kesulitan menyatukan bentuk dan isi secara organis. Maka proses kreatif penyair harus terus di asah di latih secara maksimal, untuk melahirkan karya karya puisi esai yang baik dan mengesankan.
Puisi esai ‘Suara-Suara yang Terbungkam’ (Seri Puisi Esai Indonesia Provinsi Sumatra Selatan) akan terbawa merasakan kebenaran sejarah yang membawa hikmah :Tema-tema gugatan atas kasus yang diangkat dalam buku ini sebelumnya lebih sering dibaca secara sangat berat dalam konteks konflik sosial antara mereka yang menyebut diri sebagai pembela dan mereka yang dikatakan sebagai biang kerok. Kritik dan narasi dalam buku ini terasa sejuk dan cerdas.melalui puisi esai dalam memotret realitas sosial, kritik-kritik dapat disampaikan dengan tegas atau tetap dapat mengalir deras tetapi tidak membuat pikiran dan perasan terbakar karena dipaparkan secara puitis.. Dalam puisi esai kritik meluncur tajam tetapi tetap enak nyaman dibaca dan renyah gurih..
Pemilihan pola ungkap melalui Puisi esai ‘Suara-Suara yang Terbungkam’ (Seri Puisi Esai Indonesia Provinsi Sumatra Selatan) , ini membuat isu yang diangkat menjadi lebih mudah dikomunikasikan kepada khalayak pembaca Apalagi diksi yang digunakan bersifat umum. Kalaupun ada istilah dan penamaan khusus yang bersifat lokal penulis sudah mencoba memberikan penjelasan atau rujukan lain pada bagian catatan kaki. Hal ini membuat puisi-puisi dalam kumpulan ini lebih mudah dipahami, termasuk oleh para pembaca pemula. Karena, sastra pada dasarnya memang sepanjang waktu berada dalam pertentangan antara tradisi dan modernitas, antara satu genre dan genre yang lain, sesuai dengan situasi dan perkembangan budaya, teknologi, dan pengaruh dari berbagai faktor lain di luar karya itu sendiri. Dalam proses penulisan teks, pengarang menggunakan berbagai rujukan atau kutipan dari teks-teks yang telah ia baca. Di samping itu, sebuah teks baru tersedia melalui proses pencarian materi yang hendak ditulis. Puisi esai mengawinkan fakta dan fiksi, suara sejati.
Hal ini membuat Puisi esai ‘Suara-Suara yang Terbungkam’ (Seri Puisi Esai Indonesia Provinsi Sumatra Selatan) ini menjadi menarik untuk dibaca, apalagi bagi generasi muda yang tidak mengalami secara langsung suasana konflik tersebut. Sebuah genre baru untuk generasi milenial Semoga karya ini dapat memberikan pencerahan bagi para pembaca dan menjadi sumber alternatif lain untuk pembelajaran sastra bagi generasi yang akan datang.
Puisi esai ‘Suara-Suara yang Terbungkam’ (Seri Puisi Esai Indonesia Provinsi Sumatra Selatan) sangat cocok untuk dijadikan referensi para pegiat literasi, terutama untuk siswa dan mahasiswa, karena isi didalamnya bukan hanya puisi esai, tetapi mempunyai konten yang lebih, seperti catatan-catatan kejadian alam, penjabaran kalimat yang tertuang dalam catatan kaki (dengan sumber referensi yang terpercaya), sehingga sangat layak untuk dibaca karena kaya dengan sumber referensi. Antologi puisi esai ini sangat cocok juga untuk dijadikan referensi para guru, dosen dan para pejabat pembuat kebijakan, apalagi bagi anggota dewan perwakilan rakyat. Bahkan karya-karya puisi esai pun sudah merambah ke dunia akademis, baik sebagai bahan kajian ilmiah maupun sebagai bagian dari materi ajar di sekolah menengah dan perguruan tinggi.
Semangat Sepanjang Masa Succesfull Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN sepanjang masa Succesfull Sedulur