Toko Ini Milik Haji Munir
Oleh: Denny JA
(Kiriman: Akaha Taufan Aminudin, Koordinator Persatuan Penulis Indonesia, Satupena Jawa Timur Indonesia)
Hujan baru saja reda di kota Jakarta.
Pelangi merayap perlahan di langit.
Menyinari yang gelap.
Membuka yang rahasia.
Sore itu,
hati mereka berdebar keras.
Duduk berdua saja di ruang tertutup.
kakak adik membuka surat wasiat.
Mata saling menatap.
Notaris berpesan, surat hanya dibuka tiga hari setelah pemakaman Ayah.
Orang-orang memanggil Ayah mereka: Koh Oskar.
“Ini apa isinya, ya Dik?” Tanya Lian, tak minta dijawab.
Kaili adiknya hanya menggelengkan kepala.
“Aku tak tahu kak.
Gelap.”
Surat ini tulisan tangan Ayah.
Mulailah Lian dan Kaili membaca surat pelan-pelan.
“Anakku sayang: Lian dan Kaili.
“Semua harta Ayah untuk kalian berdua. Silahkan dimusyawarahkan bersama cara membaginya.”
“Tapi toko yang Ayah miliki di Jalan Jembatan Lima, Jakarta Barat, mohon diberikan untuk Harto Yakub.” Tertera di sana nomor KTP lengkap dari Harto Yakub.
Lalu surat ini ditanda tangani Ayah. Juga ada tanda tangan notaris dan cap kantornya. Juga ada tanda tangan Paman, yang mengetahui.
Seketika Lian menelepon notaris itu. “Pak, Harto Yakub ini siapa? Kok saya tak pernah dengar.”
“Ini surat asli? Yakin?”
Notaris hanya jawab singkat saja.
“Itu asli, Lian. Mana saya berani buat surat palsu. Dipenjara saya.”
Kaili bertanya juga. “Harto Yakub itu kok istimewa sekali. Itu anak ayah dari istri lain?”
Notaris menjawab: “Bukan. Ayahmu tak punya istri lain. Tak punya anak selain kalian berdua.”
“Itu ada hubungannya dengan kerusuhan di Jakarta, Mei 1998. Usia kalian saat itu masih 2 tahun dan 1 tahun.”
“Untuk info lengkap, kalian tanya Pamanmu ya. Saya hanya melegalkannya saja.”
Tambah bingung Lian dan Kaili. “Kerusuhan Mei 98? Wah, apa pula ini?.”
Seketika mereka ke rumah Paman.
Bertiga saja mereka bercakap di beranda.
Angin sore menerpa keras.
Ranting dan daun bergoyang cepat.
Beberapa kali paman menarik nafas panjang.
“Maafkan Paman ya, Lian dan Kaili. Paman tak pernah cerita ini. Ayahmu yang minta. Ini perkara yang sensitif.”
“Sebulan Ayahmu sakit.
Pucat.
Tak enak hati.
Merasa bersalah.
Ingin melupakan peristiwa ini.”
Lian dan Kaili kembali saling menatap.
Tambah bingung mereka.
“Apa yang sesungguhnya terjadi?” tanya Lian dalam hati.
Paman mulai bercerita.
“13-15 Mei 1998 terjadi kerusuhan di Jakarta.
Sebanyak 4000 gedung terbakar.
1190 orang mati.
52 orang diperkosa.” (1)
Saat itu,
Ayah dan Ibumu sedang dagang di toko milik sendiri, di Jembatan Lima.”
“Karena rusuh,
Ayah dan Ibumu tutup toko.
Pulang ke rumah.”
“Belum jauh berjalan, Ayah dan Ibumu dihadang kerumunan lima orang.”
Mereka teriak:
“Hei teman-teman. Ini ada perempuan cina.”
Mereka bawa golok, parang, linggis.
Lalu Paman menangis.
“Ampuun, ampun,
di depan Ayahmu sendiri.
Ayahmu hanya bisa meronta dan teriak.”
“Kenapa Paman?,” tanya Lian.
Paman terus menangis.
Ia hanya geleng-geleng kepala.
“Ibu dibunuh di sana?,” tanya Kaili penasaran. “Tak apa paman. Ceritakan saja. Kami sudah dewasa.”
“Ibumu diperkosa. Karena ibumu melawan. Ia dipukul. Disiksa.”
Itu dilakukan di tempat umum.
“Ha!” Lian melompat dari kursinya. Kaili menutup wajahnya dengan tangan: “Ya, Tuhan, Ya, Tuhan…”
Paman meneruskan cerita:
“Saat itulah datang Pak Yakub. Ia teman Ayahmu. Ia membela Ayah dan Ibu.
“Hei minggir kalian. Ini saudara saya.”
Yakub jago silat. Ia juga bawa parang. Awalnya satu dua orang melawan. Tapi dijatuhkan oleh Yakub. Lalu semua berlari.
Yakub membawa Ayah dan Ibumu kembali ke toko.
Pendarahan diderita ibumu.
Ibumu selamat.
Tapi guncangan batinnya terlalu keras.
Berulang-ulang Ibumu sakit.
Lima tahun kemudian Ibumu wafat.
Tiga hari toko Ayahmu dijaga siang malam oleh Yakub.
Ia cat toko itu dengan tulisan:
“Toko Ini Milik Haji Munir.”
Saat itu banyak toko Cina dicat serupa.
“Ini toko milik pribumi.”
“Gedung milik Muslim.”
“Punya Haji Mansyur.”
Ayahmu kembali ke toko.
Ia ingin ikut menjaga toko.
“Hanya ini yang aku punya, Yakub.
Anakku masih kecil.
Semua hartaku kupertaruhkan di toko ini.”
“Aku juga harus menjaga tokoku sendiri.
Dengan nyawaku.”
Yakub melarang.
“Kau bisa terbunuh, Koh.
Jika toko ini juga dicurigai milikmu,
toko ini dijarah.”
“Jika kau terbunuh,
siapa yang membesarkan dua anakmu?”
“Ayahmu terpana.
Nasib kalian berdua menjadi pertimbangan Ayah.”
Ujar Yakub:
“Kau harus percaya.
Biar aku yang jaga.
Ini kau lihat,
“Milik Haji Munir.”
Ayahmu sangat berterima kasih pada Yakub.
Ayahmu pulang.
Sejak masa SMA, mereka bersahabat.
Saling bantu.
Sebelumnya, usaha Yakub bangkrut.
Ayahmu membantu agar bangkit lagi.
Terdengar kabar,
Yakub akhirnya terbunuh dalam kerusuhan.
Entah siapa yang membunuh.
Entah gara-gara apa.
Pak Yakub menjadi satu korban dari total 1190 manusia yang mati karena peristiwa Mei 1998.
“Itulah ceritanya.”
Bom meledak di hati Lian.
Granat berdentum di jantung Kaili.
“Astaga!”
Tak mereka sangka.
Ayah dan Ibu melewati horor seperti ini.
Lian menangis.
Kaili menangis.
Paman menghela nafas.
Angin bertiup kencang.
Lian bertanya:
“Apakah Pak Yakub punya istri dan anak?
Mengapa Ayah tak pernah kenalkan kami pada mereka?
Kan Ayah mereka, Pak Yakub, berjasa pada kita?”
“Pak Yakub punya istri dan anak.
Juga anaknya sebaya denganmu, Lian.”
“Tapi istri pak Yakub marah.
Sangat marah.
Ujarnya: Ini gara-gara Koh Oskar, Suami saya mati.”
Ayahmu datang berkabung ke rumahnya.
Tapi Ayahmu diusir oleh istrinya.
Diusir di depan orang banyak.
“Jangan pernah kamu injak rumah saya lagi.
Keluaaaaar dari sini.”
“Apakah Ayah menyerah saja?
Tak mencoba datang lagi dan lagi? Atau membantu anaknya pak Yakub?” Tanya Kaili.
“Oh, Ayah kalian tahu balas budi. Ia kerjakan aneka cara. Berkali- kali.”
“Kan dari toko di Jembatan Lima itu, kini kalian kaya raya.”
“Jika saat itu, toko di sana dibakar, habis dijarah, belum tentu kalian kini makmur.”
“Setelah Anak Pak Yakub bersekolah SD, SMP, Ayahmu membantu.
Beberapa kali, Ayah kirim uang untuk menolong.
Tapi uang Ayahmu dipulangkan.”
Istrinya katakan:
“Jangan sampai keluarga saya berhubungan dengan keluargamu lagi.”
Lian dan Kaili selama ini hanya mendengar sepintas.
Kisah kerusuhan Mei 1998 hanya berlalu saja dari perhatian mereka.
Sejak Paman bercerita,
mereka berdua menggali peristiwa itu.
Terutama kisah penjarahan toko milik Cina.
Mereka ingin mengerti,
bagaimana suasana ketika Pak Yakub membantu Ayah dan Ibu.
Lian dan Kaili mendengar banyak kesaksian.
Justru dari mereka yang dulu ikut menjarah toko.
Ada yang bersaksi.
“Saya waktu itu masih usia 16 tahun.
Sekitar seratus orang.
Kami berjalan ke pusat belanja di Tomang.”
“Padahal Jakarta panas sekali.
Tapi lebih kuat bayangan kami.
Banyak barang bisa kami ambil secara gratis.
Wow.”
Yang lain bersaksi:
“Saya awalnya tak minat.
Tapi tetangga saya membawa pulang TV. Bawa pulang radio, walkman, kasur.”
“Akhirnya saya dan tetangga lain, ikut-ikutan.”
Ada yang bersaksi:
“Tiga kilo kami jalan kaki.
Kami pun sampai ke Roxy Mas. Juga ke Topas.”
“Saya berteriak. Inilah hari kebebasan. Kita bebas ambil apa saja.
Kita bebas bawa pulang apapun.
Kita bebas pilih barang.
Tanpa bayar. Itu toko ditinggalkan begitu saja oleh penjaganya.”
Yang lain bersaksi:
“Memang ada provokatornya.
Mereka yang mulai.
Badan mereka tegap.
Terlatih.
Ada yang bawa bom molotov.”
“Provokator ini duluan melempar toko.
Lalu berteriak: serbu.
Ambil itu milik Cina.
Gratis.”
Ada yang bersaksi.
“Nasib saya agak sial.
Di tempat saya, banyak polisi dan tentara.
Mereka melindungi toko.
Melepas gas air mata.”
Yang lain bersaksi:
“Situasi jalan saat itu sepi.
Orang-orang mulai takut keluar rumah.
Asap mengepul di banyak tempat.
Dari Plaza Orion.
Dari Harco Glodok.
Terdengar di kejauhan.
letupan peluru karet.
Banyak orang berlarian.
“Puluhan orang masuk ke Plaza Orion.
Mereka saling lempar barang elektronik.
Ada TV tabung 32 inch.
Ada barang elektronik walkman.
Yang lain bersaksi.
“Saya lewat Jembatan Lima.
Banyak toko bertuliskan milik haji A, milik haji B, milik haji C.”
Lian dan Kaili berdebar mendengarnya.
Salah satu toko itu mungkin milik Ayahnya.
“Kak,” lapor Kaili.
“Aku lihat iklan. Toko sebesar punya kita di Jembatan Lima, harganya 18 miliar rupiah.”
“Kakak ikhlas memberi toko ini ke anaknya pak Yakub?”
Lian menenanglan Kaili.
“Kan warisan kita berdua jauh lebih besar.”
“Ayah kan berhutang budi ke Pak Yakub. Kita ikhlaskan ya, Dik.”
Hari itu paman mengatur perjumpaan Lian, Kaili dengan Harto anak Pak Yakub.
Ketika jumpa, Harto datang dengan pamannya juga, Pak Seno. Ibu dari Harto juga sudah wafat lima tahun lalu.
Sudah lama Harto bertanya.
“Paman Seno memberi saya uang sudah banyak sekali.
Uang untuk sekolah.
Uang untuk sehari-hari.
Padahal hidup Pak Seno susah.”
“Harto,” ujar Pak Seno.
“Kau kan sering tanya.
“Sekarang Paman jawab.”
“Sesuai kesepakatan, baru hari ini paman bisa cerita. Itu setelah diizinkan keluarga Koh Oskar.”
“Uang sekolahmu dan uang harianmu itu bukan uang Paman.”
“Paman hanya menyampaikannya. Uang itu dari keluarga Koh Oskar.”
Kepada Harto, Paman menceritakan semua kisah.
Itu juga kisah yang diceritakan kepada Lian dan Kaili sebelumnya.
Harto berlinang air mata.
“Terima kasih banyak atas bantuannya. Sungguh saya tak tahu semua cerita.”
“Bantuan untuk sekolah ini sudah cukup,” respon Harto.
“Pemberian toko ini berlebihan buat saya.
Mungkin Ayah saya layak menerimanya.
Tapi jelas saya tak layak.”
“Tak ada jasa saya untuk keluarga Koh Oskar.”
Tapi Lian dan Kaili mendesak.
“Ini sudah menjadi amanah Ayah saya.
Ini bentuk terima kasih Ayah saya.”
“Mohon diterima toko ini.
Jika tak diterima, kasihan arwah Ayah saya.”
Akhirnya disepakati.
Toko itu dikelola bersama.
Hasil keuntungannya untuk dana sosial. Untuk membantu gerakan anti diskriminasi.
Baik keluarga Koh Oskar ataupun keluarga Mohammad Yakub, keduanya korban politik diskriminasi.
Di ruang utama toko itu, mereka juga sepakat.
Akan dipasang foto Koh Oskar dan Mohammad Yakub.
Di bawah foto ditulis kata-kata yang besar sekali, di dinding.
Kata-kata itu menjadi pengikat persahabatan dua keluarga. Ini kata yang dicat oleh Pak Yakub di toko Koh Oskar ketika rusuh Mei 1998:
CATATAN:
1. TPGF melaporakan jumlah korban yang mati, perkosaan dan kerugian material
https://id.m.wikisource.org/wiki/Laporan_Tim_Gabungan_Pencari_Fakta_(TGPF)_Peristiwa_Tanggal_13-15_Mei_1998
2. penjarah bersaksi aksi mereka dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998.
https://www.vice.com/amp/id/article/a3av7e/pengakuan-para-pelaku-penjarahan-mei-98-korban-operasi-kerusuhan-sistematis
Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).
Ini kumpulan drama di seputar konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku Dayak versus Madura di Sampit (2001), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), Konflik Rasial di Jakarta (Mei 1998), dan konflik pendatang Bali dan penduduk asli di Lampung (2012).
Selamat Succesfull Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN sepanjang masa Succesfull Sedulur