JAVASATU.COM-MALANG- Aksi demonstrasi yang kerap menjurus anarkis menjadi sorotan kalangan akademisi. Guru Besar Hukum Universitas Brawijaya (UB) Prof. I Nyoman Nurjaya menegaskan, penyampaian pendapat di muka umum adalah hak konstitusional, namun tidak bersifat mutlak. Ada batas hukum dan tanggung jawab sosial yang mengikat.

“Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 bukan cuma memberi hak, tapi juga menetapkan rambu-rambu. Ada larangan, sanksi, dan mekanisme administratif yang harus ditaati,” ujar Prof. Nyoman, Rabu (14/5/2025) dalam keterangan tertulis.
Ia menyebut aksi unjuk rasa wajib mengikuti ketentuan hukum, termasuk lokasi dan waktu pelaksanaan. Demonstrasi dilarang dilakukan di area strategis seperti istana negara, rumah ibadah, rumah sakit, hingga fasilitas publik yang mengganggu ketertiban. Aksi juga sebaiknya tidak digelar saat hari libur nasional atau hari besar keagamaan.
“Kalau demonstrasi berubah jadi destruktif (merusak, red), negara wajib hadir menegakkan hukum. Polisi bukan cuma pengawal, tapi penjamin ketertiban,” tegasnya.
Ia menambahkan, tindakan anarkis seperti perusakan, bentrokan, atau provokasi digital bisa dijerat berlapis dengan KUHP, UU Lalu Lintas, hingga UU ITE.

Senada, Guru Besar dan tokoh pendidikan Prof. Maskuri menekankan pentingnya etika dalam menyampaikan aspirasi. Menurutnya, Pasal 6 UU No. 9 Tahun 1998 mengamanatkan penghormatan terhadap hak orang lain, ketertiban umum, dan persatuan bangsa.
“Aspirasi tidak harus turun ke jalan. Audiensi dengan DPRD atau pemerintah bisa lebih efektif dan tidak mengganggu masyarakat,” kata Prof. Maskuri.
Keduanya menegaskan, menjaga ruang demokrasi tetap terbuka harus dibarengi dengan kepatuhan hukum. Aparat, kata mereka, tak hanya bertugas mengamankan, tapi juga memfasilitasi ekspresi warga agar berjalan damai dan tidak keluar dari jalur konstitusi. (Arf)