JAVASATU.COM- Isu kedaulatan pangan kembali mengemuka di Kota Malang. Sejumlah budayawan, akademisi, dan pegiat masyarakat menggelar diskusi bertajuk “Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan dari Perspektif Kebudayaan” di Kedai Kali Metro, Jumat (7/11/2025).

Forum tersebut menyoroti persoalan pangan bukan hanya sebagai urusan ekonomi dan produksi, tetapi juga sebagai cermin peradaban dan martabat manusia. Para pembicara sepakat bahwa kedaulatan pangan harus berakar pada kebudayaan lokal dan keselarasan alam.
Budayawan sekaligus penyanyi legendaris Trie Utami menegaskan perbedaan antara ketahanan pangan dan kedaulatan pangan.
“Ketahanan pangan bisa dicapai lewat impor atau bantuan. Tapi kedaulatan pangan lebih dalam, tentang kesadaran tubuh terhadap apa yang kita makan,” ujarnya.
Trie menilai masyarakat kini terjebak dalam “bentang bisnis” yang menomorsatukan keuntungan dan efisiensi, tetapi mengabaikan keberlanjutan. Ia mencontohkan komunitas adat seperti Ciptagelar dan Baduy yang menjaga kemandirian pangan melalui sistem lumbung adat dan benih lokal.
Sementara itu, dosen Universitas Brawijaya Dr. Redy Eko Prastyo menilai kosmologi Nusantara menempatkan pangan pada posisi mulia.
“Di Jawa, padi bahkan diwujudkan sebagai Dewi Sri. Ini menunjukkan penghormatan terhadap pangan sebagai sumber kehidupan,” katanya.
Pandangan tersebut diperkuat pegiat budaya Bachtiar Djanan, yang menyebut konsep keseimbangan dalam budaya Nusantara melampaui nilai individualisme Barat.
“Keselarasan di sini mencakup hubungan manusia dengan alam, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat,” ungkapnya.
Sejarawan M. Dwi Cahyono menambahkan, bukti arkeologis menunjukkan bahwa kedaulatan pangan sudah menjadi bagian dari peradaban Nusantara sejak abad ke-9 Masehi.
“Prasasti Turriyan dan Ngandang menyebut luku (bajak) sebagai alat bertani, sementara Candi Badut dan Kidal menggambarkan aktivitas pertanian,” jelasnya.
Ia juga menyoroti beras Krayan dari Kalimantan Utara sebagai contoh warisan budaya pertanian organik yang lestari selama berabad-abad.
Menutup diskusi, Prof. Mangku Purnomo, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, menegaskan pentingnya aksi nyata.
“Berdaulat pangan bisa dimulai dari rumah: menanam sayuran, memelihara ikan, atau ayam sendiri,” katanya.
Para narasumber yang tergabung dalam Jaringan Kampung Nusantara sepakat bahwa kedaulatan pangan harus dimulai dari kesadaran individu, dihidupkan lewat komunitas, dan diwujudkan dalam tindakan konkret.
Menurut mereka, kedaulatan pangan bukan sekadar isu pertanian, tetapi bentuk diplomasi kebudayaan, yakni cara bangsa menegaskan jati dirinya melalui pangan dan tradisi. (saf)