Kapan Indonesia dan Asia Tenggara Mendapatkan Nobel Sastra?
Oleh: Denny JA
Tahun ini, 2022, baru saja panitia Nobel memilih sastrawan Perancis, Annie Ernaux mendapatkan Nobel Sastra. Kapankah sastrawan Indonesia, bahkan Asia Tenggara, mendapatkan hadiah Nobel itu?
Sejak hadiah itu pertama kali diberikan di tahun 1901, 121 tahun lalu, tak pernah sekalipun sastrawan Indonesia, dan Asia Tenggara menerimanya.
Terlepas dari aneka kontroversi, hadiah Nobel Sastra tetap penting untuk mendinamisasi dunia sastra sebuah bangsa.
Mimpi agar ada warga negara Indonesia, atau Asia Tenggara suatu saat memperolehnya, itu mimpi yang sehat, untuk mutu sastra.
Banyak kasus sastrawan itu dinominasikan berkali- kali untuk nobel sastra.
Robert Frost, penyair terkenal dan berpengaruh itu, bahkan sudah dinominasikan Nobel sastra hingga 31 kali. Ini nominasi paling banyak dalam sejarah. Namun tetap saja Frost tak pernah mendapatkan Nobel Sastra.
William Buttler Yeats dinominasikan nobel sastra tujuh kali (1902, 1914, 1915, 1918, 1921, 1922, 1923). Ia mendapatkan nobel sastra pada pencalonannya yang ketujuh (1)
Karena itu pula, saya pribadi menyambut gembira ketika panitia nobel Swedia mengundang komunitas puisi esai untuk ikut mencalonkan pemenang Nobel Sastra dari Indonesia di tahun 2021.
Ketika para penyair komunitas puisi esai bertemu dari Aceh hingga Sulawesi Utara di awal tahun 2022, semua mereka bersama melihat surat fisik undangan dari panitia nobel Swedia itu.
Ketika saya yang dicalonkan oleh komunitas puisi esai untuk nobel sastra itu, saya menyambutnya dengan lebih gembira lagi.
Itu bukan karena saya yakin akan menang, tapi ini cara mendinamisasi sastra Indonesia ke tingkat internasional.
Bahkan saya pun tak keberatan dinominasikan berkali- kali hingga 31 kali seperti Robert Frost, namun tak pernah menang sekalipun. Atau dinominasikan 7 kali seperti WB Yeats dan baru menang untuk nominasi yang ketujuh.
Juga dengan gembira mendorong sastrawan Indonesia dan Asia Tenggara lain untuk ditampilkan.
Sekali lagi, nominasi itu disambut gembira karena meyakini ia memberi efek bagi dinamisasi sastra sebuah bangsa.
Media Guardian, di tahun 2010, mengumpulkan para ahli sastra. Mereka berdiskusi siapakah novelis terbesar sepanjang masa?
Siapakah penulis yang tak hanya tinggi pencapaian estetik nya, tapi juga karyanya dibaca sangat luas dan berpengaruh? (2)
Para ahli bersepakat dengan satu nama: Leo Tolstoy (1828-1910).
Pengaruh Tolstoy tak hanya di dunia sastra, terutama genre historical fiction. Gaya hidupnya yang non- kekerasan bahkan mempengaruhi Mahatma Gandhi, Martin Luther King, dan banyak lagi.
Tapi Tolstoy tak pernah menerima hadiah Nobel Sastra. Tolstoy memang pernah dicalonkan di tahun 1902, 1903, 1904, 1905, hingga 1906. Tapi ia diabaikan oleh panitia Nobel Sastra.
Tak ada yang salah di sini. Fakta ini menunjukan satu soal saja: subyektivitas panitia Nobel Sastra dan soal selera sastra.
Yang menang Nobel sastra memang belum tentu yang terbaik, atau yang paling berpengaruh.
Yang menang adalah mereka yang sesuai dengan selera juri panitia Nobel Sastra.
Tapi tetap saja, hadiah Nobel sastra itu penting, dihormati, dan tak perlu digugat pilihannya.
Hadiah Nobel Sastra itu baik untuk mendinamisasi sastra sebuah bangsa, terutama Indonesia dan Asia Tenggara, yang belum pernah memperolehnya.(***)
Minggu 9 Oktober 2022, dikirim oleh: Akaha Taufan Aminudin, Koordinator Persatuan Penulis Indonesia Satupena Jawa Timur.
Sekretariat Satupena Jawa Timur: Jalan Abdul Jalil 2 Sisir Kota Batu Wisata Sastra Budaya.