JAVASATU-BLITAR- Jejak masa lalu Tambangan Selokajang ternyata lintas masa dan melampui peradaban modern. Bagi warga Blitar dan Tulungagung, tambangan adalah nama lain untuk kapal penyeberangan. Tak kurang ada tiga tambangan di wilayah Selokajang. Pertama di bawah Jembatan KA Nguri, kedua tambangan Pandawa Putra Selokajang-Rejotangan dan tambangan di dekat Goa Tumpuk.
Menurut M. Dwi Cahyono, arkeolog Universitas Negeri Malang (UM), tambangan di daerah aliran sungai Brantas punya sejarah panjang. Khususnya Dermaga Tambangan Pandawa Putra di kawasan Selokajang Kecamatan Srengat Blitar. Tambangan ini menghubungkan Kabupaten Blitar dan Kecamatan Rejotangan di Tulungagung.
“Punya jejak sejarah yang amat tua, di Selokajang kita tahu ada situs Hindu Budha, bisa dari era kapan, masa Singhasari hingga Majapahit. Ada situs Islam, Ki Ageng Sengguruh di seberangnya juga,” ungkap tim ahli dari kliktimes.com partner dari javasatu.com ini, Kamis (29/7/2021).
Jika di kawasan Selokajang ada Situs Hindu-Buddha, maka di sisi seberang sungai ada Makam Ki Ageng Sengguruh. Di makam, ini kata Dwi, batu-batunya terlihat adalah tinggalan pra Islam ke Islam. Artinya sebagai suatu areal seberang sungai dan Selokajang adalah areal historis. Sudah ada sejak sebelum masa Hindhu Buddha lalu perkembangan Islam hingga sekarang.
“Tambangan sudah ada sejak ada permukiman kuno di daerah itu. Kalau pemukiman kuno sejak Hindu Buddha maka berarti sudah ada tambangan di sana,” ungkap dia.
Secara tekstual atau susastra, menurut Dwi, tambangan dulu sebutannya panambangan. Istilah itu tertulis dalam sumber data tekstual sejak Majapahit bahkan sebelumnya. Sekarang memang tambangan sudah agak modern, tapi tetap terhubung dengan kata tambang. Yakni tali yang terbentang di seberang sungai.
“Jadi tambangan, menunjuk pada perahu penyeberangan yang menyambungkan tambang dari seberang kiri dan kanan. Bukan aliran dari hulu ke hilir,” imbuhnya.
Perahu tambangan ini menyeberangkan dengan tali bentang tambang, maka disebut tambangan. Ciri tambangan ada tali bentang supaya perahu tak hanyut. Dwi memperkirakan, aliran Sungai Brantas berarti sangat besar ketika itu.
“Jangan bayangkan aliran sekarang, sekarang mungkin 1/3 dari aliran yang dulu. Sehingga lebih panjang bentangnya. Jika sekarang 10 meter, maka dulu bisa 30 meter hingga 50 meter,” urainya.
Perahu tambangan seperti di Selokajang memang ciri khas di Sungai Brantas. Di Bengawan Solo seperti hilir sungai kawasan Lamongan, sudah tak memakai bentangan melainkan mesin. Di Lamongan perahu penyeberangan sudah pakai mesin, namun kata Dwi, di Brantas juga ada yang pakai mesin ada juga.
Sementara itu, kliktimes.com melihat langsung tambangan Pandawa Putra yang menghubungkan Selokajang-Rejotangan. Ini adalah salah satu tambangan terbesar penghubung Blitar-Tulungagung. Sebab bisa menampung mobil dan kendaraan dengan roda hingga enam.
Baca Juga:
Tarif di tambangan Pandawa Putra ini memakai sistem satu kali jalan. Dengan tariff mulai dari roda dua Rp 3.000, roda tiga Rp 5.000, roda empat kosong Rp 12.000, roda empat bermuatan Rp 15.000, elf engkel Rp 15 ribu, elf/engkel bermuatan Rp 20 ribu dan termasal roda enam Rp 25 ribu.
“Selama masa PPKM ini sepi yang nyeberangan, namun keberadaan Jembatan Baru Ngujang tak mempengaruhi kendaraan yang lewat tambangan ini,” aku Hari salah satu pekerja tambangan kepada javasatu.com, Kamis (29/7/2021). (Ary)
Comments 2