JAVASATU.COM- Festival Puisi Esai ASEAN ke-4 resmi digelar di Sabah, Malaysia, dengan membawa pesan kuat: puisi bukan hanya karya sastra, tapi medium perlawanan dan kesaksian atas luka kemanusiaan. Delegasi Indonesia turut ambil bagian dalam perhelatan ini, membawa karya-karya yang menggugah, termasuk puisi esai bertema terorisme, pelecehan, hingga bencana.

Salah satu yang mencuri perhatian adalah puisi karya Mila Muzakkar dalam buku Karena Perempuan, Aku di-Cancel. Karya ini merangkai kisah seorang istri yang hidupnya hancur saat sang suami ditangkap atas tuduhan terorisme. Dari trauma personal, Mila menjahitnya menjadi kesaksian puitis yang sarat empati.
Festival yang kini memasuki tahun keempat ini sepenuhnya didukung oleh Pemerintah Sabah, sebuah bentuk komitmen negara terhadap seni yang tidak biasa di era algoritma.
“Puisi masih punya kekuatan menyentuh ruang yang tak bisa dijangkau teknologi: nurani manusia,” ujar pendiri gerakan Puisi Esai, Denny JA.
Festival ini juga meluncurkan antologi puisi esai terbaru yang menghimpun 63 penulis dari berbagai latar belakang. Di antaranya nama-nama seperti Okky Madasari, Gol A Gong, dan jurnalis Ahmadie Thaha yang untuk pertama kali menjajal genre unik ini, yakni perpaduan puisi, cerpen, dan reportase.
Puisi-puisi yang ditampilkan tak segan menyentuh isu sensitif: anak tenggelam, korban pelecehan di pesantren, hingga ibu yang menjual ginjal demi sekolah anak. Dalam puisi esai, fakta-fakta ini tak hanya diungkap, tapi dihidupkan kembali secara estetis.
Menurut Denny JA, setidaknya ada tiga alasan kenapa Festival Puisi Esai ASEAN layak diapresiasi. Pertama, ia memberi suara pada yang tak terdengar. Kedua, memperkuat solidaritas antarbangsa dalam ikatan kemanusiaan. Ketiga, membuka panggung bagi generasi muda untuk menyuarakan keresahan zamannya melalui karya yang bermakna.
Salah satu suara muda itu datang dari Aqilah Mumtanzah, penulis puisi esai tentang gempa Yogyakarta 2006. Ia tak sekadar menulis angka kematian, tapi suara-suara tangis dan harapan yang terpendam di balik puing.
Festival ini juga mencerminkan kolaborasi manusia dan teknologi. Beberapa penulis, termasuk Mila, mengolah puisinya bersama kecerdasan buatan. Bukan untuk menggantikan kreativitas, melainkan memperluas kemungkinan artistik.
Lomba Puisi Esai: Ajak Masyarakat Tulis Kisah Kemanusiaan
Sebagai bagian dari festival, panitia membuka lomba puisi esai bertema kemanusiaan. Terbuka untuk semua kalangan, karya maksimal 500 kata ini akan dipilih 10 pemenang utama dengan total hadiah Rp38 juta. Selain itu, 90 karya terbaik lainnya akan dibukukan dalam antologi digital.
Batas akhir pengiriman karya: 31 Mei 2025
Email: bahasasabah2022@gmail.com
WhatsApp: +6016-8115593
“Ini bukan sekadar lomba. Ini ajakan untuk menyuarakan yang bisu, menyembuhkan yang terluka. Dalam 500 kata, bisa jadi kita menyelamatkan satu jiwa dari kesepian,” tulis Denny JA dalam pengantarnya.
Festival Puisi Esai ASEAN membuktikan bahwa di tengah hiruk-pikuk dunia digital, kata-kata yang ditulis dari hati masih mampu menjangkau yang paling dalam: kemanusiaan kita sendiri.
Ketua Satupena Jawa Timur, Akaha Taufan Aminudin, turut mengapresiasi konsistensi festival ini.
“Puisi esai membuka ruang dialog yang tak dimediasi oleh kekuasaan atau sensasi. Ia menawarkan cara baru menyampaikan realitas, yakni dengan empati, kedalaman, dan keberanian. Inilah bentuk sastra yang paling relevan di zaman yang gaduh,” ujarnya. (Arf)