Kekerasan Demokrasi Ekonomi
Oleh: Slamet Hendro Kusumo
Hirschman, menyatakan jika perdagangan berkontribusi memperkuat ketertiban politik, serta menghasilkan kesederhanaan, ekonomi, moderasi, kerja, kebijaksanaan serta ketenangan. Dalam buku Adam Smith The Wealth of Nations, memberikan dukungan kebebasan ekonomi kepada rakyat, yaitu yang disebut “kebebasan alamiah”. Maksudnya adalah kebebasan untuk melakukan apa keinginannya, tanpa tekanan dan campur tangan negara. Sebab ekonomi dikatakan bukan hanya persoalan hak material, akan tetapi juga hak asasi manusia. Pemikiran Smith tersebut, mempengaruhi pemikiran yang berkembang pada generasi selanjutnya. Yang terpenting adalah bahwa kebebasan alamiah tersebut, telah mengubah arah politik yang berpengaruh kepada pertumbuhan, dalam kepentingan-kepentingan demokrasi. Hal itu diterjemahkan secara, “bebas alamiah”, juga soal kebebasan, interes individu, dan tentu memunculkan persaingan bebas.
Keynes: pentingnya kebebasan individual, tapi hadirnya intervensi makro ekonomi, memberi dukungan terhadap investasi nasional.
Pola pemikiran Smith, untuk menciptakan masyarakat ideal, yang dilingkari oleh kedermawanan, kebaikan, serta diikat dengan larangan-larangan agar tidak mempraktikkan kejahatan, kecurangan serta bertumbuhnya kebermanfaatan, dengan standart moral, baik kepada pelaku-pelaku insitusi besar kapital. Dengan demikian Smith menyarankan serta memberikan dukungan terbentuknya sistem, kepedulian serta dukungan juga pada institusi sosial, pasar, hukum dan komunitas agama.
Smith memang bukan saja seorang ekonom. Namun juga seorang profesor yang menegaskan nilai-nilai moralitas, yang mendukung bahwa “setiap orang diperbolehkan secara bebas mengejar kepentingannya sendiri, sejauh tidak melanggar hukum etik, moral dan keadilan”. Dia juga menentang setiap agama yang dikuatkan oleh negara. Sebab penguatan yang tidak berdasarkan kebebasan alamiah, akan menimbulkan sikap intoleransi dan fanatisme buta. Smith juga mempercayai pemerintah yang kuat dan hemat dapat memberikan kontribusi dan mengangkat negara yang bar-bar, menuju nilai-nilai kemakmuran. Dengan catatan pajak ringan, regulasi yang adil, toleran, tentunya dengan cara damai.
Jefferson (Jhon Locke): kebebasan, kehidupan, kebahagiaan sebagai dasar kerangka hukum bagi bangsa, kelak menjadi kekuatan ekonomi terbesar di muka bumi dan hak-hak dasar konstitusional dari kebebasan.
Namun pada saat yang sama Smith dengan kritisnya mengutuk habis terhadap kekuasaan negara. Sebagai mana perilaku kaum politisi yang boros dan munafik. Memiliki potensi kuat untuk membuat jatuhnya kewibawaan pemerintah yang ideal, serta mencemaskan “manipulasi terhadap sistem moneter yang dilakukan pemerintah”. Menariknya walaupun Smith menolak gagasan tentang moneter sebagai satu-satunya kekayaan berbentuk emas dan perak. Namun juga memberikan dukungan sistem moneter, asal doktrin perbankan dilakukan dengan bebas. Serta memberikan padangan makro ekonomi, menjadi kunci penting bagi pertumbuhan ekonomi, bukan hanya sekadar kebijakan pemerintah, lingkungan usaha dalam kompetitif dan manajemen yang sehat. namun juga “penghematan, agar dapat menciptakan standart hidup masyarakat”.
Gibbon: panji-panji keyakinan terkait nalar sains, individualisme ekonomi telah menggantikan tahayul, fanatisme religius, serta kuasa aristokratik.
Hal tersebut masih dalam pandangan Smith memperoleh dukungan dari filsuf lainnya, seperti Sir James Steurt dan Montesquieu, di mana citra perdagangan dalam mencari uang dengan cara damai, tak bersalah (innocent), sangat berbeda dengan perilaku bajak laut untuk mendapatkan uang dengan cara memaksa bahkan membunuh. Oleh sebab itu dibutuhkan, kebijaksanaan, kesederhanaan ekonomi, moderasi ketenangan dan lapangan kerja. Sebagai wujud progresif masyarakat komersial yang membutuhkan dukungan. David Home, sahabat Smith juga menyangkal dan menentang, serta menganjurkan agar mendapatkan kemewahan serta tercapainya kehidupan untuk memperoleh standart ekonomi (material) yang cukup.
Distorsi, Demokrasi Ekonomi dalam Politik
Pandangan ideal yang diajukan Smith itu dapat dipertimbangkan sebagai rambu-rambu moral masyarakat moderen yang humanis. Akan tetapi ketika itu didekatkan dengan fakta politik, perebutan kekuasaan dan monopoli, maka akan menjadi berbeda dan tidak ideal lagi. Gejala-gejala itu, masih saja terus muncul. Sejumlah demo kaum buruh, pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh pabrik-pabrik membuang limbah sekenanya, terkait juga dengan ketidakpedulian pengelolaan limbah pasca produksi, yang telah ditangan konsumen. Terutama bahan-bahan kemasan yang berbahaya bagi kehidupan manusia. Pertanggungjawaban tersebut sudah ditempatkan sebagai tanggung jawab konsumen. Banyak sekali media-media kemasan, yang sulit diurai.
Bawerk: doktrin terpenting dari ekonom-ekonom klasik, sulit dipertahankan dan baru dapat dipertahankan jika dilakukan perubahan esensial serta penambahan.
Pemerintah dalam aturan yang berlapis-lapis juga sudah dibuat. Namun pemerintah belum cukup baik dalam menerapkan sejumlah pengawasan dan tindakan, mengalami distorsi riil di lapangan. Terbukti berbagai kasus limbah tersebut, menjadi gaduh jika ada masyarakat, atau ormas lingkungan yang memprotes dari kejadian tersebut. Belum lagi ditambah “limbah yang dihasilkan oleh limbah rumah tangga”. Sudah menjadi budaya baru, bahwa, “sungai sebagai tempat sampah”. Maka, kejadian tersebut tidak keseluruhan dapat diatasi dengan baik. Pemerintah, maupun masyarakat bar-bar lingkungan harus “berterima kasih kepada para pemulung”. Yang mau memisahkan berbagai jenis limbah produksi baik yang diproduksi pabrik maupun perilaku masyarakat dalam membuang sampah. Para pemulung itu perlu mendapatkan apresiasi seperti halnya pahlawan, walaupun semua itu sepenuhnya tidak digerakkan sebagai kesadaran moral. Ada tendensi ekonomi sebagai penggeraknya.
Carl Menger: nilai sepenuhnya tergantung pada kehendak produsen dan konsumen, sebab profit tergantung penilaian subjektif dari konsumen pengguna.
Dapat dipetakan antara kepentingan eksistensi pemerintah, dan penggerak kapital berbasis produk-produk kebutuhan masyarakat dan masyarakat itu sendiri, belumlah tersistem secara baik. karena, jumlah penduduk penggunan produk, yang membuat limbah. Khususnya yang non-organik, tidak seimbang dengan perbaikan-perbaikan sistem, dan penanganan pasca produksi. Artinya pemerintah kuwalahan dalam menaggulangi, terkait pengawasan dan tindakan saat terjadinya pelanggaran.
Situasi ini terkesan berbelit-belit, tidak efektif dalam penyelesaiannya. Sementara itu paa pabrik terus melalukukan negoisasi-negoisasi, agar lepas dari jeratan hukum. Memang, di sanalah terjadi manipulasi, permainan-permainan antar oknum aparat dan pabrik. Jika ada gerakan demontrasi masal maka, tindakan pelanggaran dari pabrik itu baru berhenti. Jika ada tekanan masa baru bertindak, tapi sudah terlambat karena akibat tindakan itu jarang diprediksi sejak awal, dan selalu berulang. Intinya perizinan-perizinan tersebut sering dilakukan tidak terbuka, sembunyi-sembunyi dengan dalih peningkatan PAD. Dampaknya manipulasi lingkungan tersebut sudah merambah ke wilayah-wilayah sensitif lingkungan. Seperti sumber air yang dieksploitasi.
Carl Menger: kebenaran ekonomi tak dapat ditolak, sebab ekonomi klasik punya teori yang keliru (teori nilai kerja)
Uraian sedikit persoalan ini, sebab masih banyak persoalan-persoalan lain yang sejenis, tapi beda objek mengalami masalah yang sama. Apa yang didapat dan dipetik dari peristiwa-peristiwa tersebut. Ternyata jika ditarik lebih jauh, dalam tata kelola wilayah adalah bisa berujung kepada demokrasi dan hak hidup usaha, yang membawa dampak besar bagi ekosistem dan ekokultural. Uraianya adalah bahwa “perselingkuhan kapital”, dengan pihak-pihak terkait, seperti oknum pemerintah dan masyarakat yang “terbelah”, dikonfrontasikan dengan oknum penegak hukum. Sama-sama “bisa kemasukan air”, bisa dibeli. Maka makna kebebasan dalam setiap individu dan perilaku kapital, tidak lagi “memakai kesadaran etik”.
G.E Moore, W.D Ross dan A.C Ewing: moralitas akhirnya didasarkan atas institusi yang sederhana dan segara ditempatkan sebagai moral, seperti kebaikan dan kebenaran.
Sehingga kegaduhan ini, dapat mengancam orang lain. Yang mengakibatkan berbagai tindakan-tindakan kontra produktif, seperti demo beruntun, saling menyalahkan, tidak adanya kepastian hukum. Tentu saja mengganggu ketertiban umum, tidak munculnya rasa aman dan nyaman bagi semua pihak. Tidak bisa bekerja dengan baik. kondisi psikologis ini akan memicu kejengkelan-kejengkelan yang masif dan akan membentuk kerumunan-kerumunan, yang bisa saja melakukan perbuatan yang tak terkendali. Gangguan ini bisa saja terjadi dalam masyarakat post liberalisme. Sebab hak-hak individu menjadi urgen dalam tuntutan hidup yang serba mahal. Keadaan itu tidak mudah dikondisikan dengan sistem kompetisi yang terbuka pula, karena semua pihak ada kecenderungan melanggar komitmen, baik hukum formal maupun hukum lingkungan.
Gould: landasan atau norma universal sebagai penetapan pertimbangan moral. Melainkan juga nilai-nilai moral yang berbeda, dari antar kebudayaan yang berbeda. Terkait indvidu yang berpegang pada norma-norma itu sendiri.
Demokrasi ideal, sangat sulit didapatkan atau diwujudkan. Benturan sosial ini, memang bisa saja menjadi model dan dapat dipolitisasi oleh pihak-pihak yang berebut kuasa. Seperti kuasa politik, ekonomi dan agama. Pihak-pihak itu dapat menggunakan argumen-argumen logikanya dengan etika norma-norma maupun moral dari masing-masing disiplin dan kepentingannya. Celah dan disorientasi demokrasi ini, ujungnya adalah mempertanyakan kaum akademisi, yang diharapkan bisa mengambil jalan tengah, termasuk budayawan, agamawan, pemikir, LSM dan sejumlah produk moral lainnya. Semakin hari menjadi tidak berdaya dengan sejumlah alasan.
Roubert A. Dahl: suatu negara yang memiliki komitmen terhadap tujuan-tujuan masyarakat demokratis, perlu memperlakukan demokrasi kea rah ekonomi.
Sementara itu gesekan-gesekan dengan bergeraknya populasi, gaya hidup, hak hidup, dapat menjadi picu efektif untuk terjadinya chaos negara bangsa. Memang sangat sulit, karena jika semua individu, kelompok yang tergabung dalam institusi atau masyarakat umum, tidak ada “rekontruksi dan rekonsiliasi moral”. Maka ketentraman itu sulit diwujudkan. Lalu siapa yang menjadi mentor atau katalisator untuk mewujudkan “kebersamaan, kebebasan”. Jika saja masing-masing pihak bertahan dengan egosentris dan egosektoralnya. Maka negara bangsa akan mendapat ancaman yang serius dan dapat mengganggu eksistensi negara itu sendiri. Utamanya demokrasi dalam menciptakan kepastian hukum. (*)