
Sampah Sosial dan Salah Tempat
(Percik Kehidupan Manusia)
Oleh: Slamet Hendro Kusumo
Kesukaan membaca buku, memiliki kesamaan dengan menikmati candu. Maka salah satu kegiatannya adalah berburu buku. Semua jenis buku, memang menarik, tak terkecuali buku-buku bermakna berat dan mendalam. Pilihan buku utama, sasarannya adalah buku-buku sosial, politik, antropologi dan yang paling spesial adalah buku filsafat. Kegiatan membaca dan berburu buku baru hingga yang second hand alias rombengan, oke-oke saja. Walaupun hanya ada sedikit uang. Tentunya perlu menggunakan strategi, untuk mengurangi “jatah belanja istri” dengan modal bonek, perilaku ini sudah berjalan puluhan tahun. Sehingga sebagaian ruangan rumah, berderet-deret rak dan sejumlah buku-buku “bacaan berat”. Meliputi seni rupa juga. Kadang ada sumbangan dari teman antara lain buku-buku sastra dan buku-buku populer. Diperkirakan sekitar hamper 7000 buku. Wow, tidak terasa. Akhirnya pembaca merupakan “sebuah kebutuhan primer”, seperti makan dan minum. Kebutuhan makan ini, ternyata juga dilakukan oleh para rayap. Puluhan buku langka, ludes pindah ke perut “sang rayap”. Walaupun penempatannya sudah ditata dengan baik. Menyadari hidup di dunia ini, salah satunya bersanding dengan rayap. Apa boleh buat berbagi uang dengan mereka.
Maslow: sifat manusia mudah dibentuk, pengertiannya pengaruh lingkungan dan budaya, untuk membentuk, mematikan sekaligus, mengurangi potensi genetisnya. Sekalipun tidak dapat mencipta atau meningkatkan potensinya.
Pagi sekitar jam 08.30, habis membuat esai yang dikirim ke media online, terasa lega sekali. Ini adalah kegiatan baru yang amat menyenangkan, dapat tempat untuk berbagi pikiran. Perjalanan untuk menuju terminal Landungsari dari Batu. Aman-aman saja, namun cukup lama menunggu line LG. namun keinginan itu segera terwujud juga. Seperti biasa, kesukaan duduk didekat sopir menjadi kebutuhan primer. Bisa dengan leluasa melihat aktifitas dan lalu-lalang kendaraan. Terkadang juga memancing otak, untuk merenung, mengeryitkan dahi. Kadang-kadang ada hal yang lucu, namun juga menjengkelkan. Sepanjang ruas jalan itu, dihuni manusia-manusia yang sedang mencari makan, dengan segala cara untuk mendapatkannya.
Jalur LG menuju jalan Wilis, tempat bedak-bedak aneka buku menjadi kegiatan rutin. Di tempat tersebut banyak buku baru hingga yang rombengan bertabur diseluruh bedak-bedak favorit. Namanya toko buku Wilis, nama yang sangat terkenal di Malang, bagi penyuka baca buku. Namun pagi itu terpaksa harus duduk dibelakang sopir LG. Suasana dalam angkot cukup padat penumpang. Namun pada bagian duduk dekat pintu masuk sebelah kanan belakang samping angkot, dihuni oleh seorang ibu dan anak hampir remaja, berumur kisaran 8 tahunan. Tidur berselonjor dengan pulas. Seperempat perjalanan dari Landungsari ke toko buku Wilis, tiba-tiba anak kecil itu bangun dan marah-marah tanpa sebab. Mungkin ada sesuatu yang diinginkan tak terpenuhi. Ibunya yang semula tenang, terlihat panik dan juga ikut marah-marah. Suasana yang tenang dalam angkot itu sontak menjadi tegang dan ketidaknyamanan, juga gelisah. Mau turun tidak mungkin. Sebab sang sopir tiba-tiba juga ikut marah dan panik juga.
Maslow: perlu diketahui, sifat manusia bila dapat menanggalkan impian kebahagiaan abadi, menerima kebahagiaan singkat, dan mendapatkan kepuasan, selanjutnya akan menginginkan yang lebih.
Ternyata mereka adalah keluarga kecil. Suami istri dan anak. Ketiganya berbadan subur dan tidak terlalu tinggi badannya. Dari percekcokan keluarga kecil itu, rupanya sudah terjadi sejak pagi tadi. Inti dari percekcokan tersebut, seputar anaknya sedang “rewel berat”, berganti-ganti permintaan. Semuanya tidak ada yang cocok walaupun itu permintaannya. Kedua orang tuanya dibuat jengkel, marah tanpa daya. Sehingga sepanjang jalan suami istri itu, terlihat saling menyalahkan. Saling serang. Suami menyelahkan rewelnya anak itu sangat menganggu kerjanya. Sementara sang istri, tidak mau disalahkan, bukankah ini tanggung jawab bersama. Jangan asal menyalahkan, upayanya juga harus dihargai. Suasana ribut itu menjadikan para penumpang sama-sama bengong, tanpa tahu apa yang akan dilakukan. Mau turun dari angkot, persoalan waktu jadi pertimbangan apalagi dalam menuju jalur LG, selalu sangat lama. Baru terasa lega sekali, “plong”, anak kecil itu tiba-tiba minta turun, dengan jaminan uang sepuluh ribu rupiah, minta ke tempat neneknya. Jarak ke jalan Wilis tempat toko buku sudah dekat, namun pasca ibu anak itu turun, kejengkelan suami masih berlangsung. Menggurutu dan tidak jelas arah gerutuannya. Selesai, harus turun dilokasi toko buku Wilis. Beberapa bedak sebagian besar sudah buka.
Maslow: masyarakat yang baik, dapat saja dihancurkan oleh lingkungan yang buruk.
Namun peristiwa dalam angkot itu, menggiring otak, mencoba untuk memahami bahwa peristiwa kecil itu berdampak sangat besar jika ditelaah lebih jauh. Ada hikmah di dalamnya, tentang pertengkaran keluarga kecil itu. Dari status sosial, tampak mereka dari lingkungan tradisi dan gaya hidup kebanyakan masyarakat yang tertekan oleh ekonomi dan keterbatasan SDM. Sehingga melihat hidupnya menjadi rutin, menjenuhkan. Oleh karena emosi-emosi itu dapat terjadi di semua tempat, di mana pun. Maka ruang privat, etika dapat meledak kapan saja, serta bisa menjadi konsumsi publik. Ini potret sosial ketidakadilan, kemiskinan, kurang kreatif, sehingga benteng-benteng ruang privat yang harus dijaga, menjadi kabur karena ketidakberdayaan.
Tradisi Lingkungan Lama
Tradisi adalah sebuah kebiasaan, cara berpikir masyarakat lokal. Dalam tradisi, tidak saja sesuatu yang baik-baik saja, namun juga sebaliknya. Tradisi memuat hal-hal warisan luhur para leluhur. Lebih dikenal sebagai moral dan etik, peninggalan masa lalu yang diagungkan. Sedangkan tradisi kekinian adalah hasil interaksi, koneksitas serta silang tradisi bawaan antar nilai-nilai lama dan nilai-nilai kebiasaan urban. Atau disebut alkulturasi (hybrid culture).
Nilai-nilai dan kekuatan tradisi lama yang lebih menekankan hadirnya etik dan moral, tidak saja menjadi cermin, tuntunan, namun dianggap sebagai pedoman hidup dalam melestarikan, “pranata luhur sosial lokal”. Oleh sebab itu ada hal-hal yang diperbolehkan, namun ada hal-hal yang ditabukan. Sehingga menjadi jelas sekali pemilahannya, yang diperbolehkan, tentunya bersifat umum. Yaitu moral dan etika bagi sesama. Misal, diatur oleh undang-undang produk adat dan aturan-aturan umum masyarakat setempat. Bentuk semacam ini sebagai konvensi-konvensi sosial adat. Tujuannya untuk membentuk “sistem keselarasan dan keadilan”, demi tercapainya tujuan bersama.
Wilde: tragedi dapat saja terjadi, saat keinginan sudah terkabul. Tentunya pada setiap tingkatan motivasi, baik sifatnya materiel, inter personal atau transendental.
Sedangkan yang ditabukan, misalkan pelanggaran-pelanggaran yang mengandung asusila, pencurian, atau unsur-unsur lainnya yang menyentuh persoalan-persoalan bersifat pribadi, yang punya potensi menganggu atau menista moral umum. Oleh karenanya lahirlah sanksi-sanksi sosial, bentuknya sesuai kesepakatan lokal. Hukuman sosial ini sangat ditakutkan bagi para pelanggarnya.
Dicontohkan persoalan perselingkuhan “ditangkap basah”, dalam hukuman adatnya ada yang dikenakan denda berupa material, sesuai tradisi. Hasil denda tersebut dipakai untuk membangun infrastruktur desa. Ini saja sudah berat, sebab jika ditotal, nominal uangnya bisa berjumlah jutaan rupiah. Hukuman mendadak tersebut untuk pelaku perselingkuhan, biasanya tidak siap soal materinya. Lebih berat lagi sebelum putusan itu terjadi, pelaku perselingkuhan, “diarak keliling Dusun atau Desa” dengan memakai pengeras suara. Sepanjang jalan dicemooh masyarakat. Kepala Desa didampingi oleh RT dan RW, juga Kamituwo, jadi eksekutornya. Keputusan-keputusan ini didasarkan musyawarah kekeluargaan. Jika pelaku masih sama-sama bujang akan dikawinkan saat itu juga. Peristiwa itu sering diberi stigma “kawin hansip”. Yaitu kawin yang terjadi karena tertangkap keamanan Desa (hansip). Jika sudah suami istri, keputusan cerai atau rujuk juga dimusyawarahkan.
Maslow: perlunya kesiapan diri dalam menghadapi dampak pembiaran terhadap dalih ketidakadilan sosial.
Ranah pribadi yang lain, seperti kejadian dalam angkot tersebut, termasuk ranah pribadi. Tidak ada denda. Jika taraf pertengkarannya yang tidak ada atau belum terjadi kekerasan fisik, perdamaian dalam keluarga dapat diatur. Caranya yaitu diberi pitutur-pitutur tentang moralitas. Namun jika keluarga tersebut, berbentuk kebisingan dari pertengkaran itu tidak bisa reda, maka akan dibawa ke RT, RW hingga Kepala Desa, secara berjenjang. Jika upaya ini belum juga menyelesaikan, maka masyarakat sekitar akan “membiarkan dan dikucilkan dalam hubungan sosial”. Ini hukuman sangat berat, sebab keluarga itu, sudah kehilangan “hak rasa hormatnya”. Oleh sebab itu hukuman sosial, sangat dihindari oleh pelaku. Sebab rasa malu, rasa hormat menjadi bagian identitas moral setempat. Dipersonifikasikan sebagai simbol keluhuran wilayah. Jika terjadi pelanggaran maka dianggap sebagai “aib Desa”. Semua penduduk, saling mengingatkan dengan cara bertahap dan humanis. Jika dibandingkan dengan situasi saat ini, hukuman sosial menjadi terasa aneh. Sebab masyarakat hari ini sudah tidak punya rasa malu lagi.
Moral Baru, Efek Regulasi Sosial
Perubahan adalah sebuah keniscayaan, salah satunya adalah benturan dalam populasi penduduk. Dari sekian puluh orang, pasti ada yang tertinggal untuk menghadapi berbagai kendala hambatan serta kualitas hidup lebih baik. Bagi yang memiliki SDM cukup mumpuni, tentu perubahan tersebut tidaklah berpengaruh besar. Namun cerita hidup sopir angkot tadi adalah salah satu contoh dari bagian masyarakat, yang tidak memiliki kemampuan hidup dan kualitas seperti lainnya.
Tidak ada satupun manusia yang mau menghadapi kesusahan hidup. Namun apakah semua manusia “memiliki keberuntungan yang sama”, satu dengan yang lainnya. Baik dibidang Pendidikan, ekonomi serta lingkungan yang sehat. Indikator-indikator bagi sebagian warga, yang terbawa arus tersebut, rata-rata menganggap itu sebagai “hukuman hidup, takdir”, harus diterima dengan lapang dada. Karena disebabkan kekurangan-kekurangan itulah, kapan saja dapat “meledak”, ekspresi-ekspresi bisa terjadi tak terduga. Bagian ini juga akibat terjadinya, bisa saja dari akibat silang tradisi lokal, bercampur dengan tradisi urban atau tradisi mendatang yang bermuatan buruk.
Maslow: psikologi kejahatan, ialah memberi harapan dengan pembahasan jeli sebagai salah satu aspeknya, serta menunjukkan bahwa seluruh masalah bisa diatur secara empiris dan ilmiah.
Dalam tradisi urban, jika dapat menekan lebih dominan, bisa saja terjadi alkulturasi atau bahkan menghapus tradisi lama. Sudah terjadi dengan bentuk, salah satunya alih fungsi lahan seperti, sumber dan punden. Lokasi objeknya banyak terdesak oleh pemukiman-pemukiman kumuh. Bahkan tak sedikit batu-batu andesit candi, dipakai buat pondasi rumah penduduk setempat. Jika itu dibongkar akan terbukti. Situasi bertemunya Tindakan-tindakan kepentingan, dapat melahirkan banalisasi. Apalagi jika menganggap bahwa artefak masa lalu, sudah dianggap sebagai ancaman bagi ideologi keagamaan. Maka hapuslah kebenaran masa lalu.
Maslow: agresi tidak bisa disalahkan seluruhnya dalam masyarakat atau sifat dasar manusia. Sebab kejahatan secara umum, bukanlah produk sosial, atau produk politik.
Hal inilah menjadi kerugian-kerugian terbesar dalam kehidupan negara bangsa. Ketika dipertanyakan kembali terkait dengan identitas yang substansial. Sedangkan kekuatan regulasi pemerintah yang diharapkan menjadi penyemibang moral, etik dan ideologis. Berhenti hanya sebatas aturan-aturan pasif, jargon-jargon, seremonial tanpa daya. Bahkan terlihat keraguan bertindak, tatkala yang melakukan penghancuran situs, pencurian situs adalah tokoh-tokoh yang berpengaruh.
Potret masyarakat yang tertinggal, tidak beruntung dalam pertarungan hidup. Akan menjadi bulan-bulanan politik identitas, korban kekerasan psiko hierarki. Individu-individu yang gamang dalam hidup dan harus bertahan hidup ini, jika diorganisir oleh kelompok-kelompok jahat, maka bisa saja menjadi teroris, tukang demo bayaran. Hal tersebut terbukti, jika ditilik lebih jauh, korban-korban teroris, demo bayaran, ciri-ciri mereka pasti ekonominya kacau. Setidaknya tidak secara baik dalam memakai ilmu pengetahuannya yang di bawah rata-rata. Intinya adalah tidak bis menggunakan akal sehatnya. Ini mayoritas korban-korban aksi di bawah aktor-aktor teroris intelektual. Yang selalu mengatasnamakan jihat, ketidakadilan, bahkan mengatasnamakan membela Tuhan. Lagi-lagi ini politisasi kuasa terselubung.
Sampah Sosial Tanggung Jawab Siapa?
Sampah masyarakat, sampah sosial, stigma ini sangat menyakitkan, ada kesan marjinalisasi dan psikososial. Seolah-olah masyarakat yang kurang beruntung dianggap hina oleh kelompok masyarakat yang status sosialnya lebih mapan. Kaum proletar ini selalu dijadikan objek “kaum jahat”. Sekali lagi sangat menyakitkan. Untuk memenuhi kelayakan hidup, tidak cukup hanya persoalan terpenuhinya urusan pendidikan, pangan, sandang dan papan. Namun rasa hormat, dihargai, eksistensi, aktualisasi bagi manusia itu sendiri, sangat penting. Perlindungan negara bangsa juga bagian tak terpisahkan. Memang tidak mudah mengelola kepentingan dan hasrat kuasa. Benturan-benturan kepentingan ini jika tidak dikelola dengan baik, berpotensi saling menghancurkan, pasti terjadi.
Maslow: jika semua tidak sempurna, itu didefinisikan sebagai kejahatan. Maka semua menjadi jahat karena hakikatnya segala sesuatu itu tidak sempurna.
Pada sejarah bangsa, beberapa kali terjadi pemberontakan, bahkan hingga sampai sekarang. kudeta, dendam politik, revolusi seakan-akan sudah menjadi rutinitas. Serta selalu berulang, penyebabnya adalah ketidakpuasan baik individu maupun kelompok elit. Mereka ini tidak pernah berhenti membuat gaduh. Apapun alasannya, termasuk alasan-alasan kemanusiaan. Semua itu patut diduga sebagai “alasan bohong”. Patut dicurigai hasrat semua kaum elitis, saat mereka masih menjadi kaum proletar, selalu mengklaim demi memperjuangkan hak asasi manusia.
Namun tatkala sudah mendapat posisi empuk, mayoritas lupa akan tujuan awal. Sementara kaum proletar, yang tidak beruntung serta tidak ditarik diujung kekuasaan, akan menguatkan tekat menjadi oposan. Ada yang tersisa, yaitu individu-individu “tidak melek politik”, menggerutu, mengumpat dengan seribu sumpah serapah. Karena terima hasutan, mereka menjauh dan menjadi korban dari kebodohannya. Sisa korban lainnya, ada yang memutuskan bermain-main menjadi preman kampung. Kelompok inilah membentuk semacam “entertain”¸ sesuai pesanan atau order kaum elit partai politik. Jika sepi pesanan mereka datang ke dinas-dinas untuk meminta proyek. Dijual lagi kepada orang lain, semacam “makelar proyek”. Proyek yang sudah dipotong ke sana kemari, dampaknya proyek-proyek PL (penunjukkan langsung), sulit diukur kualitasnya.
Pengaruh benturan sosial ini, menjadi trend baru, antara masyarakat awam politik, secara tidak langsung maupun langsung, terpengaruh. Masyarakat awam ada juga yang mencoba peruntungan untuk mencari uang dengan jalan tercela itu. Akhirnya memperkuat kegaduhan, bisa saja itu bibit yang mengubah nilai-nilai etik luhur menjadi semakin kabur. Kejahatan yang diulang, berulang kali, sangat dimungkinkan menjadi kebenaran baru. Betapa berbahayanya, jika tindakan ini terjadi pada semua struktur sosial dan struktur formal pemerintah. Maka akan sulit untuk mencapai ketentraman lingkungan. Di sinilah “akar permasalahan sosial”. Jangan-jangan kisah sopir angkot, yang tak berdaya adalah korban sistemik, dari tekanan kaum elit dalam hal kuasa-menguasai. Balutan efektifnya adalah memerankan uang sebagai “tuhan kecil”. Ada guyonan, bukankah aturan diciptakan untuk dilanggar. Dampaknya adalah muncul keluarga-keluarga “broken home”, frustasi, menjadi korban keadaan. Ujungnya masyarakat semacam ini, dalam ukuran moral dan etik disebut maaf “sampah masyarakat”.
Maslow: menentukan pemimpin sempurna, masyarakat sempurna maka menjadi sulit memilih mana yang baik dan yang buruk.
Ciri-ciri dari sampah masyarakat ini, bisa terjadi pada semua kalangan, baik kaum proletar, penganut agama, bahkan partai politik maupun pejabat negara. Setiap hari terjadi terus peristiwa yang melawan moral dan etik. Sasaran lokasi paling bebas adalah media sosial dalam dunia maya. Tergambarlah dengan jelas dari berbagai kejadian-kejadian yang menjatuhkan nurani kemanusiaan. Hingga penipuan, kebohongan, manipulatif dan kejahatan regulasi dalam politisasi kehidupan. Dapat dibayangkan kalau ini terjadi di semua tempat, lapisan status sosial masyarakat, maka stigma “sampah masyarakat”, menjadi “sampah negara bangsa”. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, semoga semua dibukakan pintu taubat. (Tancep kayon, Bumiaji, 1 November 2022)
Selamat Succesfull Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN sepanjang masa Succesfull Sedulur