JAVASATU.COM- Karya eksperimental Indonesia bertajuk PANJAGO: Body-Sound-Improvisation sukses tampil dan mencuri perhatian dalam ajang musik elektroakustik dunia, BEAST FEaST 2025, yang digelar di University of Birmingham, Inggris, Jumat (2/5/2025).

Dibawakan oleh pasangan seniman Indonesia, Hario Efenur dan Rani Jambak, bersama pakar elektroakustik Prof. Scott Wilson, karya ini mengusung pendekatan lintas disiplin yang mengeksplorasi tubuh manusia, tradisi Minangkabau, dan teknologi suara mutakhir.
“Di PANJAGO, tubuh bukan sekadar objek pertunjukan, tapi menjadi instrumen utama. Kami ingin menghidupkan kembali tubuh sebagai sumber pengetahuan dan spiritualitas,” ujar Hario Efenur, seniman asal Sumatera Barat yang tengah menempuh studi doktoral di ISI Surakarta.
Melalui gerak silek Minangkabau, termasuk napas dan hentakan kaki, PANJAGO menghadirkan pengalaman audio spasial berbasis improvisasi dan teknologi. Penampilan mereka berlangsung di ruang The Dome dengan sistem suara 32 kanal BEAST (Birmingham ElectroAcoustic Sound Theatre), memungkinkan penonton mendengar suara secara 360 derajat.
Gerakan tubuh Hario dipantau oleh kamera sensor dan diubah menjadi elemen suara, yang kemudian dikombinasikan dengan musik digital oleh Rani Jambak dan improvisasi live coding oleh Prof. Scott Wilson.
“Tubuh, tradisi, dan teknologi berpadu dalam satu bahasa musikal. Ini bukan sekadar eksperimen teknologi, tapi juga upaya menghidupkan kembali filosofi silek dalam ruang kontemporer,” jelas Rani Jambak.
Karya ini dibagi dalam tiga fase: pengenalan tubuh sebagai sumber bunyi, dialog dengan teknologi, hingga improvisasi kolektif antarmedia, semuanya disusun berdasarkan filosofi silek yang menekankan harmoni dan pelepasan ego.
Penampilan PANJAGO menjadi salah satu sorotan di BEAST FEaST 2025 yang bertema Southeast/Northwest, mempertemukan 42 seniman dari Asia Tenggara dan Eropa Barat Laut. Selain PANJAGO, juga tampil seniman Indonesia Otto Sidharta, Patrick Hartono, dan Hery Kristian Buana Tanjung.
Lewat PANJAGO, Indonesia menunjukkan bahwa warisan budaya dapat hadir dalam format seni masa depan, yakni hidup, dinamis, dan terbuka terhadap dialog teknologi global.
“Budaya tak seharusnya dibekukan. Lewat karya ini, kami ajak warisan leluhur berdialog dengan masa depan,” tutup Rani. (Saf)