Lahirnya Arema dan Tragedi Sepakbola yang Tragis Menuju Prestasi
Oleh: Koordinator Persatuan Penulis Indonesia Satupena Jawa Timur – Akaha Taufan Aminudin
Masih teringat peristiwa yang terjadi, 35 tahun yang lalu saat saya berusia sekitar 24 tahun, masih mahasiswa Universitas Islam Malang dan aktif di TARUNA SIKAB (Sinau Karyo Agawe Becik) Kota Batu dan Himpunan Penulis Pengarang dan Penyair Nusantara (HP3N) mengadakan perjalanan keliling Jawa dan Bali selama empat bulan dan paling lama di Jakarta.
Perjalanan keliling Jawa Bali selama 4 bulan dengan mengunjungi 40-an kota dan mengunjungi seniman ibu kota membawa bendera kampus Unisma bertajuk ‘Unisma Getar Kehidupanku, Getar Kehidupan Negeriku’. Dan membawa bendera AREMA (Arek Malang).
Sekadar ilustrasi. Di Jakarta, terutama di dunia jalanan di kawasan Blok M, ada sebutan Arek untuk pemuda-pemuda perantau baik dari Malang maupun dari Surabaya. Anak-anak muda dari kedua kota ini dipanggil Arek, bukan Arek Malang atau Arek Suroboyo. Arek Suroboyo dengan Arek Ngalam menyatu dalam satu identitas ‘Arek’, untuk mencari rezeki di kawasan Blok M. Tidak ada perbedaan antara perantau dari Surabaya dan dari Malang, mereka saling membantu sebagai Arek, bukan sebagai Aremania atau Bonek.
Acub Zainal. almarhum, pernah bertugas di Papua jadi Gubernur Irian Barat (sekarang Papua) periode 1973-1975, sedang Ebes Soegiyono jadi Wakil Gubernur 1983-1987. Keduanya bikin klub sepak bola, memang prajurit yang sama-sama berjuang menjelang Kemerdekaan RI tahun 1945. Acub Zainal adalah seorang Jendral, Acub pernah jadi Pangdam Cendrawasih fokus pada rencana pendirian klub sepak bola di Kota Malang.
Kemudian, pada tahun 1987, berdirilah sebuah klub sepak bola bernama Arema.
Ebes Sugiono dan Pak Acub sama-sama tinggal dan memiliki rumah di Malang. Pak Acub di Jalan Letjen Sutoyo sedang rumah Ebes di Jalan Diponegoro. Keduanya sama-sama pernah berdinas cukup lama di Kota Surabaya. Karena itu sebenarnya keduanya sangat mencintai, bahkan menjadi fans Persebaya yang sudah berdiri sejak tahun 1927. Bahkan berdirinya Arema sebenarnya terinspirasi dari Persebaya. Bagi keduanya, Persebaya bukan lawan melainkan kakak kandung Arema. Arema adalah klub yang didirikan oleh suporter Persebaya.
Arema Persebaya Saudara
Karena itu proses berdirinya Arema, sangat tidak setuju apabila ada yang menyebut Persebaya dan Arema adalah musuh bebuyutan. Terlalu naif sebutan itu, dan sama sekali tidak benar. Yang betul, menurut saya Persebaya dan Arema adalah kakak beradik, yang usianya terpaut 60 tahun. Arema dan Persebaya Saudara Arek Jawa Timur.
Saya pikir, media massa juga harus ikut bertanggung jawab, karena sudah sejak lama menambahkan istilah ‘musuh bebuyutan’ apabila memberitakan atau menganalisa pertandingan antara Persebaya vs Arema. Hal itu dilakukan sejak lama. Istilah itu makin lama makin mengkristal di benak kedua suporter, dan secara psikologis akhirnya mempengaruhi sikap mereka.
Stadion Gajayana ke Kanjuruhan
Stadion Gajayana, di pusat Kota Malang. Pada saat Arema bertanding sebagai tuan rumah di Gajayana, penonton dengan mengajak keluarga lengkap, istri dan anak. Di stadion, kemudian bergabung bersama. Di stadion juga bertemu teman-teman lain yang juga membawa keluarga masing-masing. Nonton Arema bertanding, melawan klub manapun, adalah rekreasi keluarga, bersenang-senang dan silaturahmi. Demikian juga para suporter lain.
Sebagai penonton setia Arema, kami membaur dengan suporter lainnya dalam fanatisme sebagai Aremania. Semua bernyanyi bersama sebagai penyemangat para pemain. Semua rampak menari di tempat masing-masing, tanpa bergeser, yang menjadi ciri khas Aremania, dalam membentuk salam satu jiwa.
Suasana seduluran sangat kental terasa. Bagi yang tidak punya uang untuk membeli tiket masuk, saling membantu bahu membahu untuk memanjat dinding stadion. Aparat kepolisian menjaga dengan longgar, karena tahu anak-anak yang memanjat dinding stadion itu tidak punya uang, dan mereka hanya ingin menonton sepak bola, bukan yang lain. Bahkan sekitar 20 menit menjelang bubaran, pintu stadion dibuka lebar-lebar sehingga orang-orang yang tidak dapat masuk stadion karena tidak punya tiket, bisa bebas masuk. Syaratnya, mereka memakai kaos kaos Arema sebagai identitas Aremania.
Bertahun-tahun Stadion Gajayana menjadi kandang Arema, yang kemudian menjadi sejarah Aremania. Ciri khas stadion ini juga lama melekat, yaitu tabuhan genderang dan tarian rampak, termasuk makian-makian khas Arek, apabila wasitnya mereka nilai tidak netral dan dianggap merugikan para Arema. Makian adalah hal yang biasa, tidak perlu direaksi oleh penonton lainnya, apalagi direspon oleh pihak keamanan secara berlebihan.
Arema adalah kebanggan warga Malang Raya. Saat menjadi juara, semua warga berpesta-pora. Tetapi selanjutnya berpindah basecamp Arema berpindah di Stadion Kanjuruhan tidak di kota Malang. Itu di Kepanjen, jauh di selatan kota Malang. Di situlah sekarang ibu kota kabupaten Malang. Jarak dari Stadion Gajayana di kota Malang dengan Stadion Kanjuruhan di Kepanjen 25 km.
Kanjuruhan diambil dari nama kerajaan abad ke-6 di sekitar Malang. Raja Kanjuruhan yang terkenal adalah Gajayana.
Supporter Arema dan Petugas
Polisi sudah mengantisipasi apa yang rawan. Ini bukan pertandingan biasa. Ini Arema lawan Persebaya. Memulai pertandingan pukul 20.00 WIB sebenarnya ditentang se-Indonesia. Bonek juga demo ke PSSI soal jam seperti itu. Berhasil. Persebaya tidak pernah lagi main malam.
Antisipasi lainnya sudah dilakukan Arema: panitia tidak menyediakan tempat untuk suporter Persebaya. Langkah ini bagus. Sudah benar. Bisa mengurangi potensi ketegangan. Stadion Kanjuruhan pasti bisa dipenuhi oleh suporter Arema sendiri. Bahkan saksi mata menyebutkan penonton yang tidak bisa masuk stadion pun masih sekitar 20.000 orang.
Polisi sudah benar dengan analisisnya. Panitia sudah benar dengan suratnya ke LIB. Juga sudah benar tidak mengalokasikan jatah kursi untuk suporter Persebaya. Tapi toh terjadi bencana sepak bola yang demikian tragisnya: lebih 132 orang meninggal dunia. Itu angka terbesar kedua di dunia. Untuk sejarah kelam sepak bola. Itu mengalahkan tragedi Heysel ketika Liverpool bertemu Juventus di final Piala Champion. Di tahun 1985. Yang meninggal 39 orang. Tragedi Kanjuruhan juga jauh lebih besar dari tragedi Hillsborough 15 April 1989. Yang sampai sekarang, hampir 35 tahun kemudian, masih terasa ngerinya: yang meninggal 96 orang. Yakni saat final piala FA Inggris antara Liverpool vs Nottingham Forest di kota netral Sheffield. Hanya kalah oleh tragedi Estadio Nacional, Peru, pada 1964 yang menewaskan 328 orang.
Kalau saya lihat video-video peristiwa Kanjuruhan yang beredar, tidak seharusnya tragedi Kanjuruhan terjadi. Biar pun Arema kalah 2-3 oleh Persebaya. Tidak ada perang suporter, karena tidak ada supporter Persebaya. Bonek sendiri juga lagi kecewa dengan tim Persebaya kalah beruntun, pun dengan tim seperti Rans United FC milik artis Rafi Achmad.
Wasit malam itu juga tidak terlalu menimbulkan kekecewaan penonton. Saya melihat banyak sekali kemajuan di perwasitan Indonesia: setidaknya sudah bisa banyak tersenyum. Dulu ulah wasit sering jadi penyebab ketidakpuasan suporter. Kasus-kasus salah semprit memang masih terjadi tapi sudah jauh menurun. Penempatan wasit tambahan di dekat gawang juga bagus sekali.
Permainan tim Arema sendiri juga tidak mengecewakan. Memang, tumben, sempat kalah 0-2 di awal babak pertama, tapi segera menjadi 2-2 sebelum turun minum. Bahkan bisa mendominasi serangan di sepanjang babak ke-2.
Keberhasilan mengubah 0-2 menjadi 2-2 memang menimbulkan harapan besar untuk menang. Apalagi lantas mendominasi serangan. Bahkan boleh dikata, Arema sempat mengurung Persebaya. Dua kali tendangan pemain Arema nyaris menjebol gawang Persebaya. Sayang masih mengenai tiang gawang.
Mendominasi serangan, mengurung, mengenai gawang adalah suasana yang membuat dada siapa pun sesak: kok tidak masuk-masuk. Padahal harapan mereka harus menang.
Arema baru saja kalah di kandang sendiri: lawan Persib Bandung. Masak kalah lagi. Lawan Persebaya pula.
Maka gemes itu memuncak menjelang pertandingan selesai. Lemparan dari arah penonton mulai beterbangan, termasuk ke arah kubu Arema sendiri.
Kubu Persebaya menangkap apa yang akan terjadi bila tidak tahu diri. Maka, meski menang, tidak ada selebrasi di tengah lapangan. Para pemain langsung menuju lorong ke arah ruang ganti pakaian. Pun tidak mampir sekadar bersalaman ke tempat pelatih berada. Pemain cadangan dan ofisial Persebaya juga langsung menuju ruang ganti baju.
Sampai di sini belum terjadi kerusuhan. Hanya teriakan dan lemparan. Tapi suasana memang mulai mencekam. Rencana tim Persebaya melakukan selebrasi di ruang ganti pakaian pun dibatalkan. Pemain hanya diberi waktu 5 menit untuk ganti baju. Mereka harus segera menuju kendaraan taktis polisi. Mereka diamankan. Agar bisa keluar dari kompleks stadion dengan selamat. Empat kendaraan taktis sudah disiapkan di depan stadion. Cukup untuk semua tim Persebaya. Aman. Mereka berhasil bisa masuk rantis semua.
Di dalam stadion pemain dan ofisial Arema FC masih di tengah lapangan. Mereka akan melakukan apa yang biasa dilakukan setelah pertandingan: kumpul di tengah, membuat lingkaran dan menghormat ke penonton.
Tapi suasana tidak seperti biasanya. Stadion yang penuh dengan 40.000 penonton tidak segera longgar. Mereka tetap di stadion. Tidak banyak yang meninggalkan tempat untuk pulang. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Mereka masih belum mau beranjak.
Para pemain Persebaya menunggu di dalam rantis polisi: kapan kendaraan taktis itu bergerak meninggalkan stadion. Tapi kendaraan tidak kunjung bergerak. Tidak bisa bergerak. Jalan keluar dari stadion itu penuh oleh manusia. Para pemain Persebaya sempat selebrasi di dalam kendaraan polisi itu tapi hanya satu menit. Selebrasi mereka terhenti oleh kilatan nyala api tidak jauh dari mereka. Ada mobil yang terbakar. Ini berarti gawat. Apalagi kendaraan mereka masih tetap berhenti di tempat.
Di dalam stadion, para pemain yang berkumpul di tengah lapangan berinisiatif bersama-sama berjalan ke arah tribun penonton. Gestur tubuh mereka seperti ingin meminta maaf atas kekalahan itu. Mereka melangkah pelan ke arah tribun.
Tiba-tiba terlihat satu penonton meloncat pagar. Ia lari masuk lapangan. Ia menyongsong para pemain yang berjalan ke arah tribun. Penonton itu terlihat merangkul kiper. Lalu menyalami yang lain. Pihak keamanan terlihat berusaha mencegah penonton itu berada di tengah pemain. Tapi sesegera itu beberapa penonton lagi berhasil meloncati pagar. Mereka juga menuju pemain Arema. Kian banyak saja yang berhasil meloncati pagar. Lapangan pun mulai penuh dengan penonton.
Petugas keamanan bertindak. Terlihat di video ada petugas yang menghardik penonton dengan kasar. Menendang. Mementung. Memukul.
Adegan seperti itu dilihat dengan sangat jelas oleh penonton yang ada di tribun, yang posisi mereka lebih tinggi. Emosi penonton meledak. Solidaritas sesama penonton meluap. Begitulah psikologi penonton sepak bola. Mereka disatukan oleh emosi. Mereka tidak peduli suku, agama, ras, umur, dan gender. Mereka merasa satu keluarga, satu suku, satu bangsa, satu agama. Tidak ada persatuan bangsa melebihi persatuan bangsa sepak bola.
Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Bahasa Bola. Saya melihat, dari situlah tragedi itu meledak. Ini bukan Arema lawan Persebaya. Bukan Aremania lawan Bonek. Ini penonton lawan petugas.
Mengamankan tim Persebaya ke rantis sudahlah langkah yang jitu. Apalagi kalau bisa segera keluar dari kompleks stadion. Maka prioritas berikutnya, seharusnya, membuka jalan keluar dari stadion. Bukan saja untuk tim lawan, juga untuk mengurangi kepadatan stadion. Pasti banyak juga yang sudah ingin pulang. Sudah sangat malam. Tapi mereka tidak bisa keluar. Buntu.
Di dalam stadion sebenarnya sudah tidak ada lagi faktor penentu yang bisa memicu kerusuhan. Kalau pun mereka kecewa kepada tim Arema, itu kekecewaan orang yang mencinta. Tidak akan mencelakakan mereka. Sama dengan kekecewaan Bonek pada tim Persebaya 2022.
Maksimum yang akan terjadi adalah merusak stadion. Seperti yang dilakukan Bonek dua minggu lalu ketika Persebaya kalah oleh Rans United FC 1-2. Stadion Gelora Delta Sidoarjo dirusak. Itu pun hanya mampu merusak pagarnya. Persebaya segera memperbaiki: habis Rp 170 juta. Tidak ada yang luka. Apalagi meninggal dunia.
Maka yang terbaik dilakukan di dalam stadion Kanjuruhan malam itu adalah: mereka yang masuk ke lapangan itu jangan diusir. Jangan dihardik. Diminta saja untuk duduk. Di atas rumput. Seluruh pemain dan ofisial juga memulai duduk. Petugas juga duduk. Biarkan emosi tercurah dulu. Perlu waktu untuk meredakan emosi.
Sama sekali tidak ada faktor yang menakutkan malam itu. Mereka itu satu bangsa: bangsa bola. Tim lawan sudah diamankan. Cukup. Tim tuan rumah tidak akan diapa-apakan, maksimum dimaki-maki.
Tembakan Gas Air Mata Duka
Menghardik mereka hanya menambah emosi. Apalagi menendang dan memukul. Tambah lagi tembakan gas air mata. Tembakan Gas Air Mata Duka, yang bikin panik. Bikin sesak. Bikin berdesakan.
Kita begitu berduka. Kita juara dunia sepak bola di segi tragedinya. ‘Pembunuhan massal’.
Sujud Massal, Kapolresta Malang Kota: Permohonan Maaf dan Doa untuk Korban Tragedi Kanjuruhan. Apel pagi jajaran Polresta Malang Kota, pagi ini ada hal yang berbeda dan mengharukan di halaman Mapolresta Malang Kota, Senin (10/10/2022) pagi.
Secara spontan, Kapolresta Malang Kota Kombes Pol Budi Hermanto memimpin sujud massal bersama jajarannya.
Hal ini dilakukan untuk memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghaturkan maaf yang terdalam kepada korban dan keluarganya serta seluruh Aremania dan Aremanita atas tragedi Stadion Kanjuruhan Malang.
Mari rekan-rekan semua, kita berdoa agar saudara-saudari kita, Aremania dan Aremanita korban tragedi Kanjuruhan bisa diterima di sisi Nya dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan serta kita bersama-sama memohon ampun kepada Allah SWT agar peristiwa itu tidak terjadi lagi.
Presiden Joko Widodo minta Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur untuk dirobohkan. Hal itu merupakan buntut dari Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 133 orang.
Jokowi mengatakan pemerintah akan membangun ulang stadion tersebut. Dia telah menyampaikan gagasan itu ke Presiden FIFA Gianni Infantino.
Selain itu, Jokowi juga menyebutkan Stadion Kanjuruhan akan menjadi contoh standar stadion yang baik. Serta, keselamatan penonton dan pemain dalam stadion itu akan terjamin.
Usut Tuntas
Apakah kejadian ini ada yg mendesain, ada aktor intelektual di belakang kejadian ini faktor kesengajaan. Lantas Siapa yg paling di untungkan dan dirugikan dengan kejadian ini. Banyak sekali pertanyaan yg harus terjawab secara gamblang dan jelas atas Tragedi Kanjuruhan. Usut tuntas.
Al Fatihah untuk ratusan Aremania yang wafat pada Sabtu malam 1 Oktober 2022 lalu. Mereka semua adalah para pejuang. (Kota Batu 17 Oktober 2022)
Biografi Penulis:
Drs. Akaha Taufan Aminudin, lahir di Malang 26 April 1963, selaku Koordinator Persatuan Penulis Indonesia Satupena Jawa Timur.
Satupena Jawa Timur memiliki Sekretariat di Jalan Abdul Jalil 2 Sisir Kota Batu, Wisata Sastra Budaya 65314
Karya Akaha Taufan Aminudin ada dalam Buku:
-
Buku Puisi 49 Penyair Indonesia
‘Dari Negeri Poci 3’. Kata Pengantar Hendrawan Nadesul (Penerbit Tiara Jakarta,1996). -
Buku Puisi ‘Luka di Atas Luka’ Buku Puisi Tunggal karya Akaha Taufan Aminudin 99 judul puisi ISBN : 979-9483-91-3 Pencetak Pustaka Pelajar Offset (diterbitkan Studio Seni Sastra Batu S3B, Pustaka Pelajar Jogjakarta dan Averroes Press, Desember 2001)
-
Buku Puisi ‘Sepanjang Jalan Batu Tokyo’ Buku Puisi Tunggal karya Akaha Taufan Aminudin 99 judul puisi ISBN 978-602-17023-0-7 Diterbitkan oleh Shell – Jagat Tempurung Kompleks Mutiara Indah No.29 Padangbesi – Padang 25233 poetry@minangkabauonline.com 088807458663 Oktober 2012
-
Buku Fiksi Lerak, ISBN 978-602-7956-02-5, Diterbitkan FAM Publishing Pare, Kediri, Jawa Timur. Cetakan 1, Maret 2013
-
Puisi Menolak Korupsi Penyair Indonesia, ISBN 978-602-183-026-0
Penerbit Forum Sastra Surakarta 2013 -
Puisi Menolak Korupsi 2a Penyair Indonesia. ISBN 978-602-183-027-7
Penerbit Forum Sastra Surakarta 2013 -
Buku Puisi, “Jangan Biarkan Tanahku Hilang” Antologi Puisi Penyair Kota Batu
Pengantar Prof. Dr. H. Sam Abede Pareno., M.M. Budayawan ISBN 978-3924-13-6. (Penerbit Pustaka Kayu Tangan Malang ), Cetakan 1, Juni 2007 -
”Akulah Musi” Antologi Puisi Pertemuan Penyair Nusantara.V-Palembang (Penerbit Dewan Kesenian Sumatera Selatan),
-
Seri Dokumentasi Sastra Antologi Puisi Pendhapa 14 Requiem bagi Rocker ISBN 978-979-185-366-8. (diterbitkan Taman Budaya Jawa Tengah bekerjasama dengan Forum Sastra Surakarta) 2012.
-
Merindu Rasul dalam Sajak. ISBN 978-602-18155-7-1. (Penerbit Seruni, Pontianak Juni 2012).
-
Antologi Puisi – Prosa Liris 50 Penyair Indonesia. LANGIT TERBAKAR SAAT ANAK – ANAK ITU LAPAR ISBN 978-602-99907-7-5. Penerbit Kendi Aksara Bantul Yogyakarta 2013
-
Antologi Puisi – Prosa Liris 50 Penyair Indonesia. NEGERI SEMBILAN MATAHARI ISBN 978-602-99907-6-8
Penerbit Kendi Aksara Bantul Yogyakarta 2013 -
Buku 115 Resensi Puisi Esai, Dari Aceh hingga Papua (Penerbit: Cerah Budaya Indonesia, Jakarta Februari 2019)
-
Antologi Puisi Penyair Malang Raya
SAJAK DWIWANGGA DUNIA TAK LAGI DINGIN ISBN 978-623-6521-38-0
Penerbit Garudhawaca Yogyakarta 2020 -
Perahu Perak Bunga Rampai Puisi
Pengantar Dr. Tengsoe Tjahjono
ISBN 978-623-96145-1-5
Rumah Budaya Kalimasada, Blitar
Penerbit CV Delima Sidoarjo 2021.
Terima Kasih suhu
Semangat Sepanjang Masa Succesfull Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN sepanjang masa Succesfull Sedulur